Wednesday, December 31, 2008

Vietnam Bisa, Kapan Indonesia?

Tulisan ini sebenarnya dipublikasikan pada tanggal 30 Desember 2008 di blog Friendster saya. Blog tersebut kini sudah lenyap bersama dengan hilangnya Friendster, dan tulisan ini adalah satu dari sedikit tulisan di sana yang masih terselamatkan. Namun demi alasan romantisme, maka saya tetap menggunakan tanggal tersebut sebagai tanggal posting di blog recovery saya ini. For the sake of more nostalgic feelings...


**********

Stadion Phuket. Injury time menit ke-2, untuk sementara Thailand unggul 1-0 atas Vietnam lewat sundulan Teerasil Dangda. Saat ini Vietnam mendapatkan tendangan bebas dalam posisi menguntungkan, beberapa meter diluar kotak penalti Thailand. Kedua pelatih, baik Peter Reid di kubu Thailand maupun Henrique Callisto di pihak Vietnam sudah menghitung kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam perpanjangan waktu karena secara agregat keduanya bermain imbang. Sementara di lapangan, Van Thai Phan menghadapi tendangan bebas sambil memberi kode ke arah rekan-rekannya. Sejurus kemudian umpan lambung berbahaya dilepas ke kotak penalti Thailand, mengarah ke kepala Le Cong Vinh. Dengan posisi yang kurang menguntungkan karena terjaga ketat dan kepala yang terlalu rendah, dia memaksakan diri untuk menyambu umpan itu dengan bagian belakang kepala. Bola berubah arah secara tidak terduga, memperdayai kiper Kosin Hathairatanakool dan mulus menembus gawang Thailand. Gol. Le Cong Vinh mempermalukan Thailand di hadapan pendukungnya sendiri.

Ini adalah sebuah klimaks yang sempurna dari sebuah pementasan yang sangat dramatis. Vietnam tampil menjadi juara piala AFF untuk pertama kalinya, muncul sebagai kekuatan baru yang mematahkan dominasi dari Thailand dan Singapura yang telah sama-sama mengoleksi 3 gelar juara. Uniknya, dalam perjalanan meraih gelar juara Vietnam juga berhasil mengalahkan Thailand dan Singapura. Vietnam berhasil menjadi juara sejati di Asia Tenggara. Perjuangan heroik mereka akan terus dibicarakan sampai bertahun tahun ke depan.

Friday, October 31, 2008

Pelajaran “Lupa” dari Genoa

Tulisan ini sebenarnya dipublikasikan pada tanggal 30 Oktober 2008 di blog Friendster saya. Blog tersebut kini sudah lenyap bersama dengan hilangnya Friendster, dan tulisan ini adalah satu dari sedikit tulisan di sana yang masih terselamatkan. Namun demi alasan romantisme, maka saya tetap menggunakan tanggal tersebut sebagai tanggal posting di blog recovery saya ini. For the sake of more nostalgic feelings...


********
Adriano menghadapi double marking Giuseppe Biava & Matteo Ferrari

26 Oktober 2008. Minggu jam 8 malam. Seperti malam senin yang sebelum-sebelumnya, saya udah megang remote untuk nyari channel yang nyiarin pertandingan bola. Kebetulan minggu ini adalah saatnya kuis besar 2 di UMC, inilah saatnya melepas sedikit kepenatan dan rasa jenuh. 

Tadi sore sempat nonton pertandingan ISL: Deltras vs Persitara. Bukannya terhibur, tapi tambah jenuh. Dua tim tersebut bermain dengan kacau, nggak karuan. Umpan tidak terarah. Shooting asal. Drible payah dan sering terpeleset. Lapangannya juga dalam kondisi jelek. Terburuk dari semuanya: cuaca sedang hujan. Wah, klop sudah. Bener-bener menyesal saya menonton pertandingan tersebut.

Maka dari itu, untuk mengobati rasa kecewa yang begitu mendalam, malam itu saya ingin begadang nonton bola, sambil nyicil belajar DRPL. Jam 8, setelah siaran MotoGP, ada pertandingan Internazionale vs Genoa. Lumayan lah, seenggaknya bakal jadi tontonan yang bermutu daripada ISL. Maka stay tune-lah saya di Trans 7.

Melihat pertandingan dari awal ternyata jauh lebih seru daripada yang saya bayangkan. Pertandingan ini berlangsung dalam tempo tinggi, kedua tim bermain cepat dan saling serang. Bahkan Genoa, yang di atas kertas harusnya dibawah Inter, lebih mendominasi pertandingan. Memang sih, Inter tampil tanpa beberapa pemain inti seperti Walter Samuel, Amantino Mancini, Esteban Cambiasso, dan Patrick Vieira. Tapi Inter tetaplah Inter, tim besar yang sudah 2 musim juara berturut-turut (tanpa menghitung gelar gratisan dari Juventus). Mereka masih punya Sulley Muntari, Javier Zanetti, dan Dejan Stankovic di poros tengah. Di lini belakang juga Julio Cesar dilindungi oleh kuartet bek papan atas seperti Maicon-Cordoba-Burdisso-Chivu. Dengan tridente Quaresma, Adriano, dan Ibra “Kadabra” di depan, seharusnya mereka bisa mengatasi Genoa dengan mudah, bukan malah tertekan.