Friday, October 31, 2008

Pelajaran “Lupa” dari Genoa

Tulisan ini sebenarnya dipublikasikan pada tanggal 30 Oktober 2008 di blog Friendster saya. Blog tersebut kini sudah lenyap bersama dengan hilangnya Friendster, dan tulisan ini adalah satu dari sedikit tulisan di sana yang masih terselamatkan. Namun demi alasan romantisme, maka saya tetap menggunakan tanggal tersebut sebagai tanggal posting di blog recovery saya ini. For the sake of more nostalgic feelings...


********
Adriano menghadapi double marking Giuseppe Biava & Matteo Ferrari

26 Oktober 2008. Minggu jam 8 malam. Seperti malam senin yang sebelum-sebelumnya, saya udah megang remote untuk nyari channel yang nyiarin pertandingan bola. Kebetulan minggu ini adalah saatnya kuis besar 2 di UMC, inilah saatnya melepas sedikit kepenatan dan rasa jenuh. 

Tadi sore sempat nonton pertandingan ISL: Deltras vs Persitara. Bukannya terhibur, tapi tambah jenuh. Dua tim tersebut bermain dengan kacau, nggak karuan. Umpan tidak terarah. Shooting asal. Drible payah dan sering terpeleset. Lapangannya juga dalam kondisi jelek. Terburuk dari semuanya: cuaca sedang hujan. Wah, klop sudah. Bener-bener menyesal saya menonton pertandingan tersebut.

Maka dari itu, untuk mengobati rasa kecewa yang begitu mendalam, malam itu saya ingin begadang nonton bola, sambil nyicil belajar DRPL. Jam 8, setelah siaran MotoGP, ada pertandingan Internazionale vs Genoa. Lumayan lah, seenggaknya bakal jadi tontonan yang bermutu daripada ISL. Maka stay tune-lah saya di Trans 7.

Melihat pertandingan dari awal ternyata jauh lebih seru daripada yang saya bayangkan. Pertandingan ini berlangsung dalam tempo tinggi, kedua tim bermain cepat dan saling serang. Bahkan Genoa, yang di atas kertas harusnya dibawah Inter, lebih mendominasi pertandingan. Memang sih, Inter tampil tanpa beberapa pemain inti seperti Walter Samuel, Amantino Mancini, Esteban Cambiasso, dan Patrick Vieira. Tapi Inter tetaplah Inter, tim besar yang sudah 2 musim juara berturut-turut (tanpa menghitung gelar gratisan dari Juventus). Mereka masih punya Sulley Muntari, Javier Zanetti, dan Dejan Stankovic di poros tengah. Di lini belakang juga Julio Cesar dilindungi oleh kuartet bek papan atas seperti Maicon-Cordoba-Burdisso-Chivu. Dengan tridente Quaresma, Adriano, dan Ibra “Kadabra” di depan, seharusnya mereka bisa mengatasi Genoa dengan mudah, bukan malah tertekan.


Yang saya salut dari Genoa adalah keberanian dan determinasi mereka. Mereka bermain benar-benar lepas, full determinasi,dan “lupa” segalanya. “Lupa” kalau mereka sedang menghadapi Inter. “Lupa” kalau mereka sedang bermain di Giuseppe Meazza. “Lupa” dengan kesenjangan materi yang mereka miliki. Mereka seolah melupakan semua realita dan menggempur habis Inter, garang dari lini belakang sampai depan. Tidak heran AC Milan bisa dihabisi 2-0 di giornata ke-2.

Padahal musim ini kekuatan mereka tereduksi dengan pindahnya Marco Boriello dan Ibrahima Konko ke Milan dan Sevilla. Tapi lihat, jalannya babak pertama sepenuhnya ada di tangan mereka. Diego Milito, striker Timnas Argentina yang juga saudara dari defender Barcelona Gabriel Milito, acapkali membuat pertahanan Inter berantakan dengan kolaborasinya bersama Giuseppe Sculli. Milito layak jadi bintang di pertandingan tersebut, berulang kali bikin Julio Cesar jungkir balik. Belum lagi tekanan dari lini kedua Genoa yang bermain keras, lugas, dan mengalirkan bola dengan cepat. Kedatangan Thiago Motta dari Atletico Madrid benar-benar berdampak besar. Mantan pemain Barcelona yang sering didera cedera ini membuat lini kedua Genoa menjadi solid. Bersama Marco Rossi, Ivan Juric, dan Giandomenico Mesto, Lini tengah Inter dibuat kalah kelas. Bahkan Mesto harusnya mencetak gol cantik, seandainya bola tendangannya nggak menerpa mistar atas Inter. Kondisi saling serang berlangsung dengan skor 0-0 sampai turun minum.

Babak kedua, Mourinho “The Special One” membuat perubahan formasi, dari 4-3-3 menjadi 4-4-2. Dia memasukkan Cruz, Balotelli, dan Obinna. Pertandingan jadi lebih seru lagi. Balotelli dan Obinna punya kecepatan dan dribling diatas rata-rata. Di awal babak Obinna melakukan manuver cantik melewati Criscito, tapi finishing-nya awful tidak merubah keadaan. Demikian juga Milito di kubu Genoa, skill dan insting membunuhnya yang diatas rata-rata membuat bikin pertahanan Inter kacau.

Momen terseru terjadi di menit 60. Bola tendangan Maicon ter-deflect salah satu pemain Genoa dan melayang menuju gawang sementara kiper Rubinho sudah mati langkah. Amazingly, bola membentur mistar dan terpental lagi ke area penalti. Bola muntah tersebut langsung di-fastbreak oleh Genoa, secepat kilat umpan jauh Motta udah sampai ke Milito yang berada di area penalti Inter. Namun sayang sekali placing Milito masih bisa diblok dengan reflek super Julio Cesar. Bola kembali ke pihak inter yang melakukan counter. Obinna membawa bola dengan cepat di sisi kanan, memaksa Juric melsayakan pelanggaran two-footed tackle. Tanpa ampun, kartu kuning kedua diberikan wasit kepada Juric. Genoa bermain dengan sepuluh pemain.

Kekurangan pemain dan bermain di kandang lawan seperti tidak ada pengaruhnya buat Genoa. Mereka tetap bermain terbuka walau kehilangan kendali permainan. Milito yang bermain sebagai striker tunggal bermain luar biasa dengan daya jelajah yang luas. Sayangnya, ancaman Milito masih bisa berkali-kali digagalkan Julio Cesar. Milito yang akhirnya kelelahan terpaksa digantikan oleh Bosko jankovic. Sejak saat itulah, Genoa bermain defensif dan Inter memegang penuh kendali permainan. 

Tapi pertandingan justru makin seru. Kiper Genoa, Rubinho bermain gemilang dengan timing luar biasa untuk memotong bola-bola crossing dari pemain Inter. Seluruh cross selalu bisa di intercept. Tambah lagi koordinasi lini belakang yang digalang Domenico Criscito yang eks Juventus dan Sokratis Papasthopoulos sangat solid dan sulit ditembus. Mereka bermain tanpa rasa takut dan penuh semangat. Jose Mourinho sampai frustasi di pinggir lapangan. Zlatan Ibrahimovic sudah kehabisan cara, bergerak di kanan atau di kiri sama nihilnya. Diakhir pertandingan, Genoa justru mendapat tendangan bebas di area berbahaya Inter. Untungnya, eksekusi kaki kiri Thiago Motta yang meluncur keras lagi-lagi bisa dihentikan Julio Cesar. Pertandingan berakhir 0-0 pada akhirnya. Menahan imbang Inter di kandanganya, bagi Genoa ini sama saja dengan menang.

Saya sama sekali tidak menyesal menonton pertandingan ini. Pertandingan berjalan seru walau tak ada gol yang tercipta. Pertandingan dengan kualitas permainan setinggi ini sungguh jarang terjadi. Bahkan, banyak pertandingan penting di Piala Dunia atau Piala Eropa tidak berjalan seseru ini. Saya belajar cukup banyak dari pertandingan ini. Pertama, gol memang menyenangkan untuk diliat, tapi tanpa gol pun suatu pertandingan bisa menyuguhkan kualitas yang menggiurkan. Kedua, belajar dari cara bermain Genoa, kita tak boleh takut atau merasa kalah sebelum berperang saat menghadapi sesuatu yang terlihat gak mungkin. Kalau perlu, jadilah “lupa” akan segalanya. Lupakan kalau hal itu sulit, lupakan seperti apa batas kemampuanmu.

Lupa memang sifat alami manusia yang konotasinya buruk. Tapi sengaja “lupa” untuk meraih kesuksesan, kenapa tidak?

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.