Tulisan ini sebenarnya dipublikasikan pada tanggal 30 Oktober 2008 di blog Friendster saya. Blog tersebut kini sudah lenyap bersama dengan hilangnya Friendster, dan tulisan ini adalah satu dari sedikit tulisan di sana yang masih terselamatkan. Namun demi alasan romantisme, maka saya tetap menggunakan tanggal tersebut sebagai tanggal posting di blog recovery saya ini. For the sake of more nostalgic feelings...
26 Oktober 2008. Minggu jam 8 malam. Seperti malam senin yang
sebelum-sebelumnya, saya udah megang remote untuk nyari channel yang nyiarin
pertandingan bola. Kebetulan minggu ini adalah saatnya kuis besar 2 di UMC, inilah saatnya
melepas sedikit kepenatan dan rasa jenuh.
Tadi sore sempat nonton pertandingan
ISL: Deltras vs Persitara. Bukannya terhibur, tapi tambah jenuh. Dua tim tersebut
bermain dengan kacau, nggak karuan. Umpan tidak terarah. Shooting asal. Drible
payah dan sering terpeleset. Lapangannya juga dalam kondisi jelek. Terburuk
dari semuanya: cuaca sedang hujan. Wah, klop sudah. Bener-bener menyesal saya menonton
pertandingan tersebut.
Maka dari itu, untuk mengobati rasa kecewa yang begitu
mendalam, malam itu saya ingin begadang nonton bola, sambil nyicil belajar DRPL.
Jam 8, setelah siaran MotoGP, ada pertandingan Internazionale vs Genoa. Lumayan
lah, seenggaknya bakal jadi tontonan yang bermutu daripada ISL. Maka stay
tune-lah saya di Trans 7.
Melihat pertandingan dari awal ternyata jauh lebih seru
daripada yang saya bayangkan. Pertandingan ini berlangsung dalam tempo tinggi,
kedua tim bermain cepat dan saling serang. Bahkan Genoa, yang di atas kertas
harusnya dibawah Inter, lebih mendominasi pertandingan. Memang sih, Inter
tampil tanpa beberapa pemain inti seperti Walter Samuel, Amantino Mancini,
Esteban Cambiasso, dan Patrick Vieira. Tapi Inter tetaplah Inter, tim besar
yang sudah 2 musim juara berturut-turut (tanpa menghitung gelar gratisan dari
Juventus). Mereka masih punya Sulley Muntari, Javier Zanetti, dan Dejan
Stankovic di poros tengah. Di lini belakang juga Julio Cesar dilindungi oleh
kuartet bek papan atas seperti Maicon-Cordoba-Burdisso-Chivu. Dengan tridente Quaresma, Adriano, dan Ibra “Kadabra” di depan, seharusnya mereka bisa mengatasi
Genoa dengan mudah, bukan malah tertekan.
Yang saya salut dari Genoa adalah keberanian dan determinasi
mereka. Mereka bermain benar-benar lepas, full determinasi,dan “lupa”
segalanya. “Lupa” kalau mereka sedang menghadapi Inter. “Lupa” kalau mereka
sedang bermain di Giuseppe Meazza. “Lupa” dengan kesenjangan materi yang mereka
miliki. Mereka seolah melupakan semua realita dan menggempur habis Inter,
garang dari lini belakang sampai depan. Tidak heran AC Milan bisa dihabisi 2-0
di giornata ke-2.
Padahal musim ini kekuatan mereka tereduksi dengan pindahnya
Marco Boriello dan Ibrahima Konko ke Milan dan Sevilla. Tapi lihat, jalannya
babak pertama sepenuhnya ada di tangan mereka. Diego Milito, striker Timnas
Argentina yang juga saudara dari defender Barcelona Gabriel Milito, acapkali
membuat pertahanan Inter berantakan dengan kolaborasinya bersama Giuseppe
Sculli. Milito layak jadi bintang di pertandingan tersebut, berulang kali bikin
Julio Cesar jungkir balik. Belum lagi tekanan dari lini kedua Genoa yang
bermain keras, lugas, dan mengalirkan bola dengan cepat. Kedatangan Thiago
Motta dari Atletico Madrid benar-benar berdampak besar. Mantan pemain Barcelona
yang sering didera cedera ini membuat lini kedua Genoa menjadi solid. Bersama
Marco Rossi, Ivan Juric, dan Giandomenico Mesto, Lini tengah Inter dibuat kalah
kelas. Bahkan Mesto harusnya mencetak gol cantik, seandainya bola tendangannya
nggak menerpa mistar atas Inter. Kondisi saling serang berlangsung dengan skor
0-0 sampai turun minum.
Babak kedua, Mourinho “The Special One” membuat perubahan
formasi, dari 4-3-3 menjadi 4-4-2. Dia memasukkan Cruz, Balotelli, dan Obinna.
Pertandingan jadi lebih seru lagi. Balotelli dan Obinna punya kecepatan dan
dribling diatas rata-rata. Di awal babak Obinna melakukan manuver cantik
melewati Criscito, tapi finishing-nya awful tidak merubah keadaan. Demikian
juga Milito di kubu Genoa, skill dan insting membunuhnya yang diatas rata-rata membuat
bikin pertahanan Inter kacau.
Momen terseru terjadi di menit 60. Bola tendangan Maicon
ter-deflect salah satu pemain Genoa dan melayang menuju gawang sementara kiper
Rubinho sudah mati langkah. Amazingly, bola membentur mistar dan terpental lagi
ke area penalti. Bola muntah tersebut langsung di-fastbreak oleh Genoa, secepat
kilat umpan jauh Motta udah sampai ke Milito yang berada di area penalti Inter.
Namun sayang sekali placing Milito masih bisa diblok dengan reflek super Julio
Cesar. Bola kembali ke pihak inter yang melakukan counter. Obinna membawa bola
dengan cepat di sisi kanan, memaksa Juric melsayakan pelanggaran two-footed
tackle. Tanpa ampun, kartu kuning kedua diberikan wasit kepada Juric. Genoa
bermain dengan sepuluh pemain.
Kekurangan pemain dan bermain di kandang lawan seperti tidak
ada pengaruhnya buat Genoa. Mereka tetap bermain terbuka walau kehilangan
kendali permainan. Milito yang bermain sebagai striker tunggal bermain luar
biasa dengan daya jelajah yang luas. Sayangnya, ancaman Milito masih bisa
berkali-kali digagalkan Julio Cesar. Milito yang akhirnya kelelahan terpaksa
digantikan oleh Bosko jankovic. Sejak saat itulah, Genoa bermain defensif dan Inter
memegang penuh kendali permainan.
Tapi pertandingan justru makin seru. Kiper
Genoa, Rubinho bermain gemilang dengan timing luar biasa untuk memotong
bola-bola crossing dari pemain Inter. Seluruh cross selalu bisa di intercept.
Tambah lagi koordinasi lini belakang yang digalang Domenico Criscito yang eks
Juventus dan Sokratis Papasthopoulos sangat solid dan sulit ditembus. Mereka
bermain tanpa rasa takut dan penuh semangat. Jose Mourinho sampai frustasi di
pinggir lapangan. Zlatan Ibrahimovic sudah kehabisan cara, bergerak di kanan
atau di kiri sama nihilnya. Diakhir pertandingan, Genoa justru mendapat
tendangan bebas di area berbahaya Inter. Untungnya, eksekusi kaki kiri Thiago
Motta yang meluncur keras lagi-lagi bisa dihentikan Julio Cesar. Pertandingan
berakhir 0-0 pada akhirnya. Menahan imbang Inter di kandanganya, bagi Genoa ini
sama saja dengan menang.
Saya sama sekali tidak menyesal menonton pertandingan ini. Pertandingan
berjalan seru walau tak ada gol yang tercipta. Pertandingan dengan kualitas
permainan setinggi ini sungguh jarang terjadi. Bahkan, banyak pertandingan
penting di Piala Dunia atau Piala Eropa tidak berjalan seseru ini. Saya belajar
cukup banyak dari pertandingan ini. Pertama, gol memang menyenangkan untuk
diliat, tapi tanpa gol pun suatu pertandingan bisa menyuguhkan kualitas yang
menggiurkan. Kedua, belajar dari cara bermain Genoa, kita tak boleh takut atau
merasa kalah sebelum berperang saat menghadapi sesuatu yang terlihat gak mungkin.
Kalau perlu, jadilah “lupa” akan segalanya. Lupakan kalau hal itu sulit,
lupakan seperti apa batas kemampuanmu.
Lupa memang sifat alami manusia yang konotasinya buruk. Tapi
sengaja “lupa” untuk meraih kesuksesan, kenapa tidak?

No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.