![]() |
| Momen ketika Sergio Ramos menyundul bola yang membuyarkan kemenangan Atletico Madrid di injury time final Liga Champions 2014 (c) Bleacherreport |
15 Mei 1974 akan selalu dikenang sebagai hari paling kelam dalam sejarah Atletico Madrid. Kala itu, Los Colchoneros menjalani laga final European Cup pertama dalam sejarah klub dengan menghadapi raksasa Jerman, Bayern Munich. Malam itu Atletico berpeluang mencatatkan tinta emas dalam sejarah klub, yang sayangnya justru berakhir dengan sebuah tragedi kelam dan 'melahirkan' kutukan yang terus menghantui mereka sampai puluhan tahun berselang.
Dalam laga tersebut, Atletico yang tampil sebagai underdog secara luar biasa mampu mengimbangi permainan Die Roten dalam 90 menit laga normal. Puncaknya adalah saat babak tambahan waktu tinggal menyisakan enam menit, tendangan bebas sang legenda, Luis Aragones melengkung mulus melewati pagar betis Bayern dan bersarang ke gawang kiper Sepp Maier yang sudah mati langkah.
Atletico pun larut dalam euforia juara, sebaliknya, kondisi mental Bayern sudah hancur berantakan mengingat mepetnya waktu yang tersisa. Saking desperate-nya Bayern, pelatih Udo Lattek hanya menjawab "Tak ada." saat salah seorang pemainnya bertanya apa yang harus dilakukan untuk mengejar ketinggalan.
Namun mimpi indah Atletico tersebut sirna hanya beberapa saat sebelum laga berakhir. 20 detik jelang peluit panjang, defender Bayern, Hans-Georg Schwarzenbeck dengan kikuk melepaskan tendangan keras menyusur tanah dari jarak 40 meter yang di luar dugaan sukses membobol gawang Atletico.
Pria kelahiran Munich ini memang tak memiliki catatan mencetak gol yang mumpuni, sepanjang karirnya ia hanya membukukan 21 gol dalam lebih dari 400 laga bersama Bayern. Karena itulah, tak ada seorangpun yang mengira Schwarzenbeck akan mampu mencetak gol penyeimbang. Bek Bayern lainnya, Paul Breitner bahkan mengaku ia sempat berharap agar Schwarzenbeck tak melepas tembakan yang berpotensi membuang peluang terakhir Bayern.
Karena sistem adu penalti belum diterapkan kala itu, hasil imbang memaksa laga final diulang di tempat yang sama, dua hari kemudian. Bayern tak melakukan kesalahan yang sama di pertandingan replay dan keluar sebagai juara dengan skor empat gol tanpa balas.
Begitu menyakitkannya gol tersebut, tak heran jika gol Schwarzenbeck menimbulkan luka mendalam di hati para penggawa Atletico. Presiden klub kala itu, Vicente Calderon, mengutuk gol tersebut dan menjuluki timnya sendiri dengan sebutan El Pupas, atau Yang Tersial. Julukan yang ternyata membawa dampak buruk untuk Atletico dalam jangka waktu yang sangat lama.
El Pupas, Trauma Menahun Atletico
Kisah tragis El Pupas pun dilengkapi dengan beberapa filler memilukan sebagai pelengkap drama. Salah satunya satunya adalah saat pelatih Atletico asal Argentina, Juan Carlos Lorenzo menyalahkan kesalahan konyol kiper Miguel Reina atas terjadinya gol balasan Bayern.
Miguel, yang merupakan ayah kandung dari kiper Napoli Pepe Reina, dituding sembrono dengan melepas sarung tangannya sesaat sebelum Schwarzenbeck melepaskan tendangannya. Sarung tangan tersebut konon diberikan Miguel kepada fotografer Marca yang berdiri di dekat gawang sebagai kenang-kenangan. Alasan konyol tersebut membuat Lorenzo menyebut 'dosa' Miguel tak akan termaafkan sampai kapanpun.
Usai laga, Miguel dikabarkan sempat bersembunyi di ruangan wasit untuk menghindari amuk rekan-rekannya. Tentu saja keseluruhan cerita ini dibantah keras oleh kiper kelahiran Cordoba ini, namun ia tak menampik bahwa tendangan Schwarzenbeck seharusnya bisa diamankan dengan mudah. "Itu adalah jenis tendangan yang mestinya selalu bisa ditepis oleh penjaga gawang," sesal Miguel.
Meski demikian, defender Jose Luis Capon memberikan pembelaan terhadap Miguel. Peraih tiga gelar La Liga bersama Atletico tersebut menilai bahwa gol fatal itu merupakan kesalahan kolektif dari seluruh tim, "Bukan salah siapapun kami ditahan imbang, yang perlu disayangkan adalah kami saat itu sebenarnya bisa dikatakan sudah menggenggam trofi European Cup di tangan kami."
Striker Atletico 40 tahun silam, Jose Eulogio Garate, mengungkapkan penyesalan dan menganggap bahwa hasil tersebut telah mengubah sejarah kedua tim. Trofi edisi 1974 adalah yang pertama dalam sejarah Bayern, yang mengawali hattrick juara mereka dua tahun setelahnya. "Sejarah Atletico akan jauh berbeda seandainya kami memenangkan titel tersebut. Pada akhirnya trofi tersebut malah menjadi koleksi pertama bagi Bayern," ungkap Garate.
Penyesalan paling memilukan yang mewakili perasaan seluruh suporter Atletico saat itu mungkin telah diungkapkan oleh sang kapten, Adelardo Rodriguez. Sang gelandang mengaku bahwa di menit-menit terakhir laga ia lebih sibuk mengamati tribun Heysel untuk mencari di manakah letak podium penganugerahan piala. Pada akhirnya Adelardo ditampar kenyataan pahit, setelah laga berakhir ia dan rekan-rekannya kembali masuk ruang ganti alih-alih podium juara dengan menanggung beban berat menjalani laga replay.
Usai laga, konon baik seluruh pemain dan fans Atletico sama-sama susah memejamkan mata akibat kegagalan tersebut. Meskipun masih ada harapan di laga replay, namun mereka telah mengalami pukulan berat secara mental dan emosional. Kekalahan telak yang dialami 48 jam berselang hanya menjadi trigger dari lahirnya trauma terbesar dalam sejarah klub. Memori buruk gol Schwarzenbeck terus menghantui Atletico sampai puluhan tahun kemudian. Setiap kali Los Rojiblancos kebobolan gol di menit akhir yang mengubah hasil pertandingan, para suporter akan selalu mengangkat kembali topik El Pupas.
Highlight laga final pertama European Cup 1974 antara Atletico Madrid vs Bayern Munich
Kisah tragis El Pupas pun dilengkapi dengan beberapa filler memilukan sebagai pelengkap drama. Salah satunya satunya adalah saat pelatih Atletico asal Argentina, Juan Carlos Lorenzo menyalahkan kesalahan konyol kiper Miguel Reina atas terjadinya gol balasan Bayern.
Miguel, yang merupakan ayah kandung dari kiper Napoli Pepe Reina, dituding sembrono dengan melepas sarung tangannya sesaat sebelum Schwarzenbeck melepaskan tendangannya. Sarung tangan tersebut konon diberikan Miguel kepada fotografer Marca yang berdiri di dekat gawang sebagai kenang-kenangan. Alasan konyol tersebut membuat Lorenzo menyebut 'dosa' Miguel tak akan termaafkan sampai kapanpun.
Usai laga, Miguel dikabarkan sempat bersembunyi di ruangan wasit untuk menghindari amuk rekan-rekannya. Tentu saja keseluruhan cerita ini dibantah keras oleh kiper kelahiran Cordoba ini, namun ia tak menampik bahwa tendangan Schwarzenbeck seharusnya bisa diamankan dengan mudah. "Itu adalah jenis tendangan yang mestinya selalu bisa ditepis oleh penjaga gawang," sesal Miguel.
Meski demikian, defender Jose Luis Capon memberikan pembelaan terhadap Miguel. Peraih tiga gelar La Liga bersama Atletico tersebut menilai bahwa gol fatal itu merupakan kesalahan kolektif dari seluruh tim, "Bukan salah siapapun kami ditahan imbang, yang perlu disayangkan adalah kami saat itu sebenarnya bisa dikatakan sudah menggenggam trofi European Cup di tangan kami."
Striker Atletico 40 tahun silam, Jose Eulogio Garate, mengungkapkan penyesalan dan menganggap bahwa hasil tersebut telah mengubah sejarah kedua tim. Trofi edisi 1974 adalah yang pertama dalam sejarah Bayern, yang mengawali hattrick juara mereka dua tahun setelahnya. "Sejarah Atletico akan jauh berbeda seandainya kami memenangkan titel tersebut. Pada akhirnya trofi tersebut malah menjadi koleksi pertama bagi Bayern," ungkap Garate.
Penyesalan paling memilukan yang mewakili perasaan seluruh suporter Atletico saat itu mungkin telah diungkapkan oleh sang kapten, Adelardo Rodriguez. Sang gelandang mengaku bahwa di menit-menit terakhir laga ia lebih sibuk mengamati tribun Heysel untuk mencari di manakah letak podium penganugerahan piala. Pada akhirnya Adelardo ditampar kenyataan pahit, setelah laga berakhir ia dan rekan-rekannya kembali masuk ruang ganti alih-alih podium juara dengan menanggung beban berat menjalani laga replay.
Usai laga, konon baik seluruh pemain dan fans Atletico sama-sama susah memejamkan mata akibat kegagalan tersebut. Meskipun masih ada harapan di laga replay, namun mereka telah mengalami pukulan berat secara mental dan emosional. Kekalahan telak yang dialami 48 jam berselang hanya menjadi trigger dari lahirnya trauma terbesar dalam sejarah klub. Memori buruk gol Schwarzenbeck terus menghantui Atletico sampai puluhan tahun kemudian. Setiap kali Los Rojiblancos kebobolan gol di menit akhir yang mengubah hasil pertandingan, para suporter akan selalu mengangkat kembali topik El Pupas.
Adanya ‘kutukan’ tersebut mempengaruhi alam bawah sadar
mereka untuk menjadi lebih permisif akan kekalahan akibat gol telat, seolah hal
itu menjadi sesuatu yang wajar dan akan terus berulang. El Pupas semakin
melengkapi mentalitas inferior mereka yang kerap disebut dengan sentimiento de rebeldía, atau naluri seorang pemberontak. Sebutan tersebut muncul dari latar
belakang Los Rojiblancos sebagai klub milik kelas pekerja yang akan selalu
berada di posisi underdog saat berhadapan dengan sang rival sekota, klub kaya Real
Madrid.
Simeone Sang Penangkal Kutukan
Sebagai sosok yang pernah lima musim membela Atletico dan
menjadi kapten saat timnya meraih double winner di tahun 1996, Diego Simeone
paham betul betapa besar dampak negatif El Pupas terhadap Colchonero. Salah
satu misi utama yang diusung oleh Simeone saat diangkat sebagai pelatih
Atletico pada tahun 2011 silam adalah membenahi mental para pemain untuk tak
lagi terpengaruh dengan 'kutukan' tersebut. Sejak awal, ia telah menolak
percaya pada eksistensi laknat El Pupas.
Upaya Simeone untuk memberantas mindset inferior Atletico
cukup beragam. Mulai dari mengganti warna jaring di Estadio Vicente Calderon
menjadi merah putih khas Atletico, sampai memotivasi para pemain satu per satu
dalam pertemuan empat mata. Kapten klub, Gabi, mengatakan bahwa Simeone kerap
berbicara satu persatu dengan para pemain sesaat sebelum mereka tidur. Simeone
menganggap bahwa malam jelang pertandingan adalah waktu yang tepat untuk masuk
ke dalam pikiran para pemain dan mendongkrak motivasi mereka.
Efek cuci otak tersebut ternyata cukup berhasil untuk
mengubah para pemain Atletico menjadi petarung buas. Simak saja pengakuan yang
diberikan oleh gelandang Tiago, “Dia mengubah segalanya. Simeone layaknya
seorang dewa. Apapun yang dia katakan seolah menjadi kenyataan. Jika ia meminta
kami terjun dari jembatan, maka kami akan benar-benar melompat.”
Dalam tiga musim kepemimpinannya, El Cholo secara perlahan mampu membangun mental juara Atletico dengan meraih empat gelar berbeda. Prestasi tersebut membuat Simeone disanjung oleh Presiden Enrique Cerezo sebagai juru selamat yang mampu menghapus rasa trauma terhadap kutukan El Pupas.
"Sudah sekian tahun lamanya kutukan El Pupas tak lagi menghantui kami. Segalanya dimulai saat Presiden Calderon memberikan julukan tersebut, namun mulai saat ini sebaiknya mereka menjuluki kami sebagai 'Yang Beruntung'," kata Cerezo, sesaat telah Atletico menahan imbang Barcelona 1-1 di Camp Nou dan memastikan gelar juara La Liga musim ini.
Sebuah pemuas dahaga gelar di kompetisi domestik setelah 18
tahun lamanya, membuat mereka optimis bisa balas dendam dan mengubur mimpi
buruk El Pupas dalam laga final Liga Champions yang digelar sepekan setelahnya.
Kutukan El Pupas Terulang Kembali di Lisbon
![]() |
| Duo Real Madrid, Iker Casillas dan Marcelo, merayakan kemenangan timnya pada final Liga Champions 2014 di depan penggawa Atletico Madrid |
Namun kutukan tersebut ternyata tak benar-benar musnah dari kubu Atletico. Simeone, yang secara kebetulan juga berasal dari Argentina sama seperti Lorenzo yang menjadi pelatih di tahun 1974, merasakan pahitnya kutukan El Pupas yang terulang dalam laga final Liga Champions di Estadio Da Luz, Lisbon semalam (24/05).
Atletico menjalani laga final kedua mereka di turnamen yang sudah berganti nama menjadi Liga Champions dengan menghadapi sang rival sekota, Real Madrid. Pertandingan krusial tersebut dihelat 40 tahun lewat sembilan hari sejak gol tragis Schwarzenbeck di Heysel.
Gabi dan kawan-kawan menjalani laga dengan optimisme tinggi dan unggul terlebih dahulu di menit ke 36 melalui Diego Godin. Pasukan Simeone mampu bermain disiplin sepanjang laga untuk menjaga keunggulan dan mampu membuat trio maut Gareth Bale, Karim Benzema, dan Cristiano Ronaldo tak banyak membuat peluang berbahaya.
Saat euforia juara sudah begitu terasa di kubu Atletico, hantu El Pupas dari 40 tahun silam seolah kembali menampakkan wujudnya. Sergio Ramos berhasil membelokkan tendangan sudut Luka Modric untuk membobol gawang Thibaut Courtois di injury time menit ketiga. Ironisnya, sama seperti gol Schwarzenbeck empat dekade silam, bola sundulan Ramos juga mengarah ke pojok kanan bawah gawang Atletico.
“Kami adalah juara sampai menit 93. Kami bermain luar biasa
selama 90 menit, sungguh memalukan kami tak bisa mencegah gol Ramos,” sesal
striker Atletico, Adrian. Ucapan ini seolah bagaikan rekaman kaset dari
penyesalan penggawa Atletico di tahun 1974 yang terputar kembali.
Sekali lagi, impian trofi paling bergengsi Eropa yang tinggal hitungan detik berada dalam genggaman Atletico terlepas gara-gara gol di akhir laga. Mengalami pukulan mental yang berat dan juga dilanda kelelahan fisik, pertahanan Atletico tak kuasa membendung tiga gol tambahan Los Blancos.
Bekas luka yang ditorehkan oleh Bayern dalam 90 menit laga replay di Heysel kembali dikoyak oleh Real hanya dalam setengah jam babak tambahan. Kekalahan ini semakin menyakitkan karena berujung pada keberhasilan sang rival sekota mewujudkan titel ambisius La Decima.
Sekali lagi, impian trofi paling bergengsi Eropa yang tinggal hitungan detik berada dalam genggaman Atletico terlepas gara-gara gol di akhir laga. Mengalami pukulan mental yang berat dan juga dilanda kelelahan fisik, pertahanan Atletico tak kuasa membendung tiga gol tambahan Los Blancos.
Bekas luka yang ditorehkan oleh Bayern dalam 90 menit laga replay di Heysel kembali dikoyak oleh Real hanya dalam setengah jam babak tambahan. Kekalahan ini semakin menyakitkan karena berujung pada keberhasilan sang rival sekota mewujudkan titel ambisius La Decima.
Usai laga, Simeone tetap pada pendiriannya untuk tidak mengkambing hitamkan kekalahan pada El Pupas. Ia lebih memilih membesarkan hati anak buahnya dan secara halus mencoba menghindarkan mereka untuk tidak kembali terbebani akan keberadaan kutukan tersebut. “Laga ini tak layak ditangisi. Ketika anda sudah memberikan segalanya, anda tak bisa meminta lebih lagi. Selalu ada tim lain yang lebih kuat di luar sana, itulah sepakbola.”
Ibarat pepatah klasik Prancis yang berbunyi L'Histoire se répète, sejarah pahit dengan pola yang sama kembali terulang untuk Atletico di era yang berbeda. Terulangnya kutukan El Pupas ini tak hanya terasa terasa berkali lipat lebih sakit ketimbang 40 tahun lalu, namun bisa jadi juga akan terus membenamkan Atletico lebih dalam dalam rasa trauma yang mengakar, sampai entah berapa dekade lagi ke depan.



No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.