Sunday, November 8, 2015

Mengenang Niccolo Galli, Benteng Azzurri Arsenal Yang Gugur Sebelum Berkembang

Penghormatan Arsenal terhadap Niccolo Galli (c) Arsenal FC
Tulisan ini sebelumnya pertama kali saya publikasikan melalui Bola.net.

Tanggal 10 Februari akan selalu dikenang sebagai salah satu hari yang memilukan dalam sejarah sepakbola Italia. Hari ini tepat 14 tahun yang lalu, salah satu defender berbakat yang digadang-gadang akan menjadi benteng masa depan Timnas Italia dan juga Arsenal, Niccolo Galli, meregang nyawa pada usia 17 tahun akibat kecelakaan lalu lintas.

Tak banyak memang saat ini yang mengenal nama Niccolo, karena karir pemuda yang lahir pada tanggal 22 Mei 1983 ini padam saat masih belum sepenuhnya berkembang. Niccolo sendiri lahir dengan mewarisi darah sepakbola dari sang ayah, Giovanni Galli, yang merupakan eks kiper Timnas Italia pada dekade 80-an.

Karena harus mengikuti karir ayahnya yang berpindah-pindah klub, Niccolo juga berulang kali berganti kostum semasa masih junior. Tercatat ia pernah menimba ilmu di tim junior Torino, Parma, sebelum akhirnya menunjukkan sinarnya bersama Fiorentina.

Talenta luar biasa Niccolo bersama Fiorentina membuat salah satu klub besar Inggris, Arsenal, kepincut. Niccolo pun akhirnya diboyong ke Highbury atas prakarsa Direktur Akademi Arsenal, Liam Brady pada tahun 1999. Brady memuji pemain bertinggi 188 cm ini sebagai 'seorang defender yang cerdas dan punya skill bagus'.

Pindah ke Inggris dengan usia yang baru genap 16 tahun, adaptasi Niccolo di London tidaklah mudah. Apa lagi saat itu skuat Arsenal saat itu belum se-plural sekarang, toleransi terhadap pemain asing belum terlalu tinggi.

Thursday, September 24, 2015

Sepucuk Pledoi Untuk Héctor Moreno dan Nicola Rizzoli

Momen ketika tekel Héctor Moreno mencederai kaki Luke Shaw (c) AFP


Tulisan ini telah saya publikasikan dengan sedikit perubahan melalui PanditFootball.

Cedera parah yang dialami oleh fullback Manchester United, Luke Shaw menjadi insiden yang paling disorot pada matchday perdana fase grup Liga Champions musim ini. Cedera tersebut didapatkan Shaw usai mendapatkan tekel keras dari defender PSV Eindhoven, Héctor Moreno kala keduanya tengah membela klub masing-masing dalam duel yang berlangsung di Philips Stadion, Eindhoven (15/09).

 Akibat insiden yang terjadi saat laga baru berjalan 15 menit tersebut, Shaw mengalami patah tulang fibia dan tibula sekaligus. Jika berkaca pada kasus cedera sejenis yang dialami pemain lain sebelumnya, Shaw diprediksi harus menepi dari lapangan minimal selama enam bulan. Kemungkinan terburuk, Shaw bisa jadi akan melewatkan kesempatan untuk tampil di putaran final Piala Eropa 2016 bersama Inggris akibat cedera fatal ini.

Nasib buruk yang menimpa Shaw ini langsung menuai simpati dari pemerhati sepakbola di seluruh dunia, apalagi video dan foto yang menunjukkan betapa mengerikannya cedera pemain 20 tahun ini tersebar begitu cepat di dunia maya. Tentu saja fans United menjadi pihak yang paling terpukul akibat cedera Shaw tersebut, mengingat musim ini pemain bernomor punggung 23 tersebut merupakan pemain kesayangan publik Old Trafford.

Delapan kali memimpin pasukannya menjalani laga resmi musim ini, sebanyak itu pula Manajer Louis Van Gaal selalu menjadikan Shaw sebagai starter. Semua kepercayaan yang diberikan pelatih asal Belanda tersebut dibayar tuntas dengan penampilan konsisten oleh Shaw, sebelum akhirnya prahara di Eindhoven terjadi.

Karena itulah, bisa dimaklumi bila fans United begitu kesal terhadap cedera yang dialami oleh Shaw. Imbasnya, Moreno sebagai sosok antagonis yang membuat Shaw harus ditandu ke luar lapangan dengan mengenakan masker oksigen menjadi sasaran kebencian. Di dunia maya, fans United beramai-ramai menghujat pemain asal Meksiko tersebut atas tekel yang dilakukannya terhadap Shaw.

Salah satu sasaran mereka adalah akun Twitter @HectorMorenoH milik pemain jebolan akademi UNAM tersebut. Beragam caci maki dan kata-kata kasar ditujukan kepada Moreno yang dianggap sebagai villain yang telah mematahkan kaki dan mengancam kelanjutan karir Shaw secara sengaja.

Lantas menjadi pertanyaan tersendiri, layakkah Moreno dihujat sedemikian rupa dan diperlakukan seolah pemain bengis yang memang ingin mematahkan kaki Shaw?

Sunday, May 25, 2014

Kisah Pilu Atletico dan 40 Tahun Kutukan El Pupas

Momen ketika Sergio Ramos menyundul bola yang membuyarkan kemenangan Atletico Madrid di injury time final Liga Champions 2014 (c) Bleacherreport
Tulisan ini juga saya (M. Rizqi) publikasikan melalui Bola.Net

15 Mei 1974 akan selalu dikenang sebagai hari paling kelam dalam sejarah Atletico Madrid. Kala itu, Los Colchoneros menjalani laga final European Cup pertama dalam sejarah klub dengan menghadapi raksasa Jerman, Bayern Munich. Malam itu Atletico berpeluang mencatatkan tinta emas dalam sejarah klub, yang sayangnya justru berakhir dengan sebuah tragedi kelam dan 'melahirkan' kutukan yang terus menghantui mereka sampai puluhan tahun berselang.

Dalam laga tersebut, Atletico yang tampil sebagai underdog secara luar biasa mampu mengimbangi permainan Die Roten dalam 90 menit laga normal. Puncaknya adalah saat babak tambahan waktu tinggal menyisakan enam menit, tendangan bebas sang legenda, Luis Aragones melengkung mulus melewati pagar betis Bayern dan bersarang ke gawang kiper Sepp Maier yang sudah mati langkah.

Atletico pun larut dalam euforia juara, sebaliknya, kondisi mental Bayern sudah hancur berantakan mengingat mepetnya waktu yang tersisa. Saking desperate-nya Bayern, pelatih Udo Lattek hanya menjawab "Tak ada." saat salah seorang pemainnya bertanya apa yang harus dilakukan untuk mengejar ketinggalan.

Namun mimpi indah Atletico tersebut sirna hanya beberapa saat sebelum laga berakhir. 20 detik jelang peluit panjang, defender Bayern, Hans-Georg Schwarzenbeck dengan kikuk melepaskan tendangan keras menyusur tanah dari jarak 40 meter yang di luar dugaan sukses membobol gawang Atletico.

Pria kelahiran Munich ini memang tak memiliki catatan mencetak gol yang mumpuni, sepanjang karirnya ia hanya membukukan 21 gol dalam lebih dari 400 laga bersama Bayern. Karena itulah, tak ada seorangpun yang mengira Schwarzenbeck akan mampu mencetak gol penyeimbang. Bek Bayern lainnya, Paul Breitner bahkan mengaku ia sempat berharap agar Schwarzenbeck tak melepas tembakan yang berpotensi membuang peluang terakhir Bayern.

Karena sistem adu penalti belum diterapkan kala itu, hasil imbang memaksa laga final diulang di tempat yang sama, dua hari kemudian. Bayern tak melakukan kesalahan yang sama di pertandingan replay dan keluar sebagai juara dengan skor empat gol tanpa balas.

Begitu menyakitkannya gol tersebut, tak heran jika gol Schwarzenbeck menimbulkan luka mendalam di hati para penggawa Atletico. Presiden klub kala itu, Vicente Calderon, mengutuk gol tersebut dan menjuluki timnya sendiri dengan sebutan El Pupas, atau Yang Tersial. Julukan yang ternyata membawa dampak buruk untuk Atletico dalam jangka waktu yang sangat lama.

Saturday, January 25, 2014

Mohamed Salah, Anelka, dan Laten Kontroversi Anti Yahudi

Mohamed Salah, punya reputasi anti Yahudi di masa lalu

Tulisan ini juga saya (M. Rizqi) publikasikan melalui Bola.Net

Pengumuman resmi yang dikeluarkan Chelsea terkait kesepakatan yang dicapai dengan attacker Basel, Mohamed Salah, telah memantik reaksi yang beragam di kalangan pemerhati sepakbola. Kedatangan pemain asal Mesir ini bisa dibilang memiliki efek domino karena turut berpengaruh terhadap beberapa isu penting sekaligus.

Sebut saja soal pergerakan transfer Liverpool yang cukup lambat sehingga Salah menambah panjang daftar incaran mereka yang ditelikung oleh tim lain, atau selentingan bahwa datangnya Salah telah membuka pintu keluar bagi Juan Mata ke Old Trafford.

Dengan mengabaikan filler-filler tersebut, sebenarnya pembelian Salah dengan nominal yang disinyalir tak sampai 15 juta Pounds ini harus diakui adalah sebuah transfer yang cerdas. Meskipun bertubuh mungil, namun pemain berkaki kidal ini mampu tampil apik sebagai inverted winger di sisi kanan. Ia juga tak canggung ditempatkan di sisi kiri ataupun tepat di belakang striker.

Kecepatan, penempatan posisi, dan kualitas umpan silang yang mumpuni merupakan senjata andalannya. Menilik statistiknya bersama Basel, Salah membukukan 20 gol dan 17 assist dalam 79 penampilan di segala kompetisi. Tentu bukan tanpa alasan ia dijuluki sebagai 'Lionel Messi dari Mesir'.

Meski demikian, Salah juga memiliki sisi lain yang berpotensi merugikan Chelsea. Adalah sentimen anti-semitisme, atau sikap antipati terhadap komunitas Yahudi, yang menjadi bom waktu dalam diri Salah dan bisa meledak sewaktu-waktu di masa yang akan datang.

Friday, November 1, 2013

Suffaco Borriello, Keberadaan Yang Seperti Angin

Marco Borriello, unsung hero bagi Roma


Tulisan ini juga saya publikasikan melalui situs Bola.Net (M. Rizqi)

AS Roma berhasil mencatatkan rekor sensasional dengan meraih 10 kemenangan beruntun di awal kompetisi berkat kemenangan 1-0 atas Chievo pada kamis malam lalu (31/10). Adalah attacante gaek, Marco Borriello yang menjadi penentu kemenangan setelah sundulan terarahnya di menit ke 67 gagal diantisipasi dengan baik oleh kiper Christian Puggioni.

Itu adalah gol pertama Borriello bagi Roma musim ini. Untuk pertama kalinya dalam 10 giornata, pria 31 tahun ini mendapatkan penghargaan yang layak dari suporter Giallorossi yang mayoritas sejak awal musim mempertanyakan ketajaman Borriello.

Namun satu hal yang seringkali luput dari perhatian penonton bahwa terlepas dari predikatnya sebagai striker mandul, sebenarnya selama ini Borriello memiliki peranan yang cukup penting dalam skema permainan Roma. Jebolan akademi AC Milan ini menjalankan tugasnya sebagai suffaco dalam taktik kreasi allenatore Rudi Garcia.

Thursday, October 10, 2013

Delusi Publik Inggris Terhadap Adnan Januzaj

Adnan Januzaj, Image by AFP
Tulisan ini pernah saya publikasikan juga melalui Bola.net

Adnan Januzaj menjadi nama yang paling ramai diperbincangkan di jagat sepakbola Eropa belakangan ini. Mulai mencuri perhatian publik berkat penampilan apiknya saat mengikuti tur Manchester United ke timur jauh, pemain yang baru berumur 18 tahun ini semakin mendapat sorotan saat bermain cemerlang di ajang Premier League.

Euforia terhadap youngster yang wajahnya sekilas mirip artis Holywood, Macaulay Culkin ini akhirnya benar-benar meledak akhir pekan lalu. Bertempat di Stadium of Light, dua gol melalui tendangan first time yang dibenamkan Januzaj ke gawang Kieren Westwood berhasil menyelamatkan tiga angka krusial bagi United sekaligus membuka mata dunia terhadap talenta yang dimiliki si pemain kidal.

Segera usai pertandingan tersebut, beragam berita mulai dari pujian dari berbagai pihak hingga rumor ketertarikan klub-klub besar Eropa terhadap eks penggawa Anderlecht tersebut beredar di media.

Namun kabar yang paling menyita perhatian adalah rencana FA untuk menarik Januzaj agar bisa tampil membela The Three Lions. Wacana ini menghiasi headline berbagai surat kabar Inggris dan memantik berbagai reaksi dari tokoh-tokoh sepakbola terkemuka di negeri tersebut. Sebut saja Roy Hodgson, David Moyes, Wayne Rooney, dan Jack Wilshere telah mengungkapkan pendapat mereka mengenai kemungkinan Januzaj membela panji Inggris.

Sah-sah saja memang publik Inggris memiliki harapan tinggi untuk 'membajak' Januzaj. Di tengah gersangnya talenta muda lokal berkualitas, serta compang-campingnya prestasi tim nasional usia muda, munculnya seorang wonderkid di Premier League yang belum pernah bermain bagi negara manapun tentu terlalu menggairahkan untuk dilewatkan.

Pemain bernomor punggung 44 ini memiliki latar belakang yang luar biasa kompleks, memungkinkannya untuk bermain bagi setengah lusin negara Eropa sekaligus. Ia saat ini mengantongi paspor Belgia karena lahir di Brussels.

Melalui riwayat orang tuanya, ia bisa memperkuat Albania dan juga Kosovo. Bahkan jika dirunut ke belakang lagi, Januzaj juga berpotensi untuk membela timnas Serbia, Kroasia, dan Turki berdasarkan darah keturunan kakeknya.

Kembali ke topik awal, yang jadi permasalahan sekarang adalah, apakah benar Januzaj bisa bermain untuk Inggris? Apakah hanya dengan bermukim di Inggris selama lima tahun, lantas Januzaj bisa bermain bagi The Three Lions? Apakah harapan Inggris untuk memiliki Januzaj hanyalah delusi semata?

Mari kita bahas satu per satu.


Tuesday, March 12, 2013

Still A Long Way To Go, Samir!

Samir Handanovic, Image by ESPNFC


Tulisan ini pertama kali saya publikasikan di footballfandom.net

Jika anda menyaksikan Derby Della Madonnina yang dihelat pada weekend kemarin, tentu anda akan mengerti kenapa Samir Handanovic disebut-sebut layak menjadi man of the match di pertandingan tersebut. Aksi heroiknya di bawah mistar dalam menahan gempuran-gempuran AC Milan—termasuk memenangkan serangkaian one on one contest melawan Mario Balotelli—menjadi faktor penting yang membuat Nerazzuri berhasil mengamankan hasil seri.

Bagi anda yang rutin mengikuti perkembangan Serie A, nama Handanovic cukup dikenal sebagai kiper jempolan sejak bermain di Udinese. Salah satu temuan brilian lainnya dari jaringan scouting Le Zebrette yang rutin merekrut talenta berkualitas dari negara-negara non mainstream untuk kemudian diasah dan dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi. Dalam urusan scout dan margin keuntungan dari penjualan pemain, Udinese mungkin hanya kalah dari  FC Porto.

Direkrut dari Domzale dengan free transfer dan sempat disekolahkan 2 musim di Serie B, Handanovic naik menjadi kiper utama Udinese sejak tahun 2007 menggantikan Morgan De Sanctis. Keberadaannya sangat vital bagi skuat hitam putih dalam konsistensi mereka sebagai kuda hitam di Serie A dan menjadi penghuni tetap Zona Eropa. Handanovic juga menjadi pilihan utama di bawah mistar Timnas Slovenia dan bermain di putaran final World Cup 2010.