Tuesday, March 12, 2013

Still A Long Way To Go, Samir!

Samir Handanovic, Image by ESPNFC


Tulisan ini pertama kali saya publikasikan di footballfandom.net

Jika anda menyaksikan Derby Della Madonnina yang dihelat pada weekend kemarin, tentu anda akan mengerti kenapa Samir Handanovic disebut-sebut layak menjadi man of the match di pertandingan tersebut. Aksi heroiknya di bawah mistar dalam menahan gempuran-gempuran AC Milan—termasuk memenangkan serangkaian one on one contest melawan Mario Balotelli—menjadi faktor penting yang membuat Nerazzuri berhasil mengamankan hasil seri.

Bagi anda yang rutin mengikuti perkembangan Serie A, nama Handanovic cukup dikenal sebagai kiper jempolan sejak bermain di Udinese. Salah satu temuan brilian lainnya dari jaringan scouting Le Zebrette yang rutin merekrut talenta berkualitas dari negara-negara non mainstream untuk kemudian diasah dan dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi. Dalam urusan scout dan margin keuntungan dari penjualan pemain, Udinese mungkin hanya kalah dari  FC Porto.

Direkrut dari Domzale dengan free transfer dan sempat disekolahkan 2 musim di Serie B, Handanovic naik menjadi kiper utama Udinese sejak tahun 2007 menggantikan Morgan De Sanctis. Keberadaannya sangat vital bagi skuat hitam putih dalam konsistensi mereka sebagai kuda hitam di Serie A dan menjadi penghuni tetap Zona Eropa. Handanovic juga menjadi pilihan utama di bawah mistar Timnas Slovenia dan bermain di putaran final World Cup 2010.


Handanovic dikenal sebagai penjaga gawang berpostur tinggi dan kokoh yang juga memiliki reflek bagus. Salah satu pencapaian yang mentereng dari Handanovic dalam curriculum vitaenya adalah saved penalty rate-nya yang tinggi: 39,29%. Sebagai perbandingan, saved penalty rate Gianluigi Buffon hanya 26,42% dan Iker Casillas 22,06% (transfermarkt).

Pemain yang mendapatkan penghargaan Serie A Goalkeeper of the Year pada tahun 2011 ini didatangkan Inter Milan pada awal musim untuk dipersiapkan sebagai pengganti Julio Cesar. Tentu menjadi beban tersendiri bagi Handanovic untuk menggantikan kiper tangguh asal Brazil yang berperan sangat penting dalam raihan treble winner pada tahun 2010 tersebut. 11 juta Euro yang dikeluarkan Moratti untuk menebus dirinya dari Udinese, cukup mahal untuk ukuran penjaga gawang. Inter jelas menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap Handanovic.

Namun apakah sejauh ini Handanovic berhasil memenuhi harapan tersebut?

Terlepas dari penampilan luar biasa pada derby kemarin yang membuatnya dihujani pujian di seantero bumi, dalam perjalanannya mengawal gawang Inter musim ini terlihat satu kekurangan fatal dari Handanovic yang berkali-kali dieksploitasi menjadi gol oleh lawan-lawannya: Handanovic memiliki kelemahan dalam hal footwork.

Footwork adalah salah satu skill dasar kiper yang harus dikuasai. Kiper harus memiliki kaki yang cepat untuk melangkah ke arah yang tepat agar memudahkan mereka mengantisipasi bola di luar jangkauan normal. Kombinasi footwork dan timing yang sesuai juga sangat diperlukan ketika seorang kiper ingin maju untuk menutup ruang tembak lawan maupun memotong umpan silang. Sebegitu pentingnya, footwork yang bagus bahkan bisa menutupi kekurangan kiper dalam hal postur dan jangkauan tangan.

Apa yang terjadi ketika seorang kiper memiliki footwork yang tidak begitu baik? Contoh terbaru, simaklah bagaimana cara Handanovic kebobolan oleh gol pertama Stefan Jovetic dan gol kedua Adem Ljajic saat Inter dihancurkan 1-4 oleh Fiorentina tiga pekan lalu. Handanovic hanya berdiri kaku di tempat, termenung dalam diam saat menyaksikan duo Balkan tersebut menembakkan bola ke arah far post dari mulut kotak penalti.

Ya, long shoot ke arah tiang jauh adalah nemesis bagi kiper dengan footwork yang ‘malas’ seperti Handanovic. Statistik mencatat pada musim ini Handanovic telah kebobolan 41 gol dari 34 pertandingan di segala ajang. Faktanya, 15 gol atau 36,5% diantaranya terjadi dengan Handanovic berada dalam posisi mati langkah tanpa ada usaha penyelamatan ketika bola masuk ke gawangnya. Jumlah sebanyak itu tentu bukanlah hal yang bisa dimaklumi sebagai sebuah kebetulan.

Untuk lebih spesifik lagi, Handanovic gagal bereaksi dalam 11 gol diantaranya yang terjadi ketika bola diarahkan ke arah far post. Dengan kata lain, Handanovic bertendensi untuk mematung tanpa reaksi ketika bola mengarah sedikit di luar jangkauannya. Seolah tanah di depan gawang Inter berubah menjadi pasir isap yang menahan kakinya dengan kuat.

Dalam melakukan save, Handanovic memiliki kebiasaan untuk langsung melompat dalam sekali gerakan dari tempatnya berdiri, tanpa melakukan positioning adjustment terlebih dahulu dengan footwork. Maka ketika bola mengarah ke far post yang notabene berada di luar jangkauan lompatan normalnya, dia berada dalam kesulitan besar.

Kelemahan ini sangat rawan dieksploitasi oleh lawan-lawan yang memiliki sniper ulung, seperti apa yang diperlihatkan oleh Fiorentina melalui Jovetic dan Ljajic. Posisi penempatan bola yang kurang lebih sama juga telah berhasil diterapkan oleh Ivan Vukovic, Alessandro Diamanti, Alessio Sestu, Alessandro Florenzi, dan Giacomo Bonaventura. Nama-nama tersebut di atas berhasil membuat Handanovic kaku di tempat melihat bola masuk ke pojok atas gawang Inter pada musim ini.

Sedangkan Nemanja Tomic, Simone Vergassola, Marco Sau, Riccardo Meggiorini, dan Manolo Gabbiadini juga berhasil memanfaatkan langkah berat Handanovic dengan tendangan menyusur tanah, juga ke arah far post.

Contoh kiper lain yang bermasalah dengan footwork adalah Wojciech Sczcesny. Wayne Veysey, chief correspondent Goal.com, pernah berpendapat bahwa sudah saatnya Arsenal mencari kiper baru. Versey menilai kelemahan footwork yang membuat Szczesny vulnerable terhadap tendangan jarak jauh sudah terlalu sulit untuk diperbaiki. Pendapat ini dikemukakan setelah drive Marouane Fellaini dari luar kotak penalti berhasil menggagalkan kemenangan Arsenal pada November tahun lalu.

Padahal menurut pengamatan saya—mohon koreksinya apabila saya salah—seburuk-buruk footwork Szczesny, dia tidak sesering Handanovic tertangkap kamera kebobolan tanpa melakukan reaksi.

Handanovic memang sebaiknya segera membenahi kelemahannya yang telah cukup kasat mata tersebut. Sudah cukup banyak masalah yang menggelayuti Inter Milan musim ini, mulai dari pertahanan rapuh jika Samuel absen, penyerangan yang terancam tumpul karena cederanya Milito, inkonsistensi performa dan taktik, serta mulai munculnya rumor pergantian Stramaccioni. Keberadaan Handanovic memang meyakinkan, tapi belum memberikan garansi rasa aman yang sama seperti yang ditunjukkan Julio Cesar.

Saya tidak pernah melihat Dino Zoff bermain sebelumnya, tapi sejujurnya saya menilai komparasi yang dilakukan Mazzola terhadapnya dan Handanovic agak sedikit berlebihan. Apakah Zoff pernah kebobolan 15 gol dengan posisi helpless hanya dalam setengah musim seperti Handanovic? Jangankan Zoff, kiper top era sekarang seperti Buffon, Casillas, Neuer, atau Hart pun saya ragu pernah mengalaminya.

Namun percayalah, apabila Handanovic mampu mengatasi kelemahan jangka panjangnya ini, mungkin dia akan menjadi salah satu penjaga gawang terbaik di Serie A. Still a long way to go, Samir!

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.