Tulisan ini sebenarnya dipublikasikan pada tanggal 8 Juli 2006 di blog Friendster saya. Blog tersebut kini sudah lenyap bersama dengan hilangnya Friendster, dan tulisan ini adalah satu dari sedikit tulisan di sana yang masih terselamatkan. Namun demi alasan romantisme, maka saya tetap menggunakan tanggal tersebut sebagai tanggal posting di blog recovery saya ini. For the sake of more nostalgic feelings...
***********
Akhirnya, tanggal 9 Juli
2006 datang juga. Hari yang ditunggu-tunggu penggila bola di seluruh dunia
telah tiba!!! inilah klimaks dari perjuangan seluruh negara di lima benua,
selama kurang lebih 2 tahun merangkak dari kualifikasi sampai saat ini, Final
menyongsong di depan mata… Battle Royal of The Blues, Il Azzuri Italia versus
Les Blues Prancis.
Sebenarnya sih partai
final ini sedikit di luar harapan saya. Pertandingan yang cocok untuk menutup
pagelaran akbar ini menurut saya adalah Italia melawan Albiceleste, Argentina.
Sayang, Mr. Pekerman dan anak buahnya sudah kalah duluan lewat adu penalti lawan
tuan rumah Der Panzer Jerman. Well, kesalahan pergantian pemain menurut saya
menjadi penyebabnya. Dalam hati saya mengumpat gara-gara 3 pergantian yang kurang
penting dari Argentina. Yang pertama adalah keluarnya Roberto “Pato”
Abbondanzieri, digantkan oleh kiper gugup Leonardo Franco. Tidak bisa dicegah
memang, Pato cedera setelah berjibaku dengan Miroslav Klose. Saya cukup yakin,
kalau yang berdiri di bawah mistar sebagai pengganti adalah Oscar Ustari, atau
bahkan German Lux, Jerman akan menangis duluan dan tidak mencapai babak
semifinal.
Yang kedua, Juan Roman
Riquelme ditarik keluar digantikan pemain klimis Esteban Cambiasso. Pekerman… You
just had one goal advantage against Klinsmann! Too early to switch your team into
defensive mode. Saya bertanya-tanya, kenapa bukan Pablo Aimar? Atau Javier
Saviola? Atau wonderkid Lionel Messi? Memasukkan pemain bernaluri menyerang
sebagai second striker tentu lebih menjamin keamanan dan menambah gol, karena
pada saat itu Argentina berada di atas angin. Mereka punya skill tapi masih mau
bagi bola, jauh lebih baik daripada Carlitos Tevez yg mainnya seradak-seruduk
semau hati, nyaris tidak pernah peduli dengan keberadaan rekannya.
Pergantian ketiga tidak
buruk sebenarnya, tapi juga tidak membawa perubahan yang lebih baik… Julio Cruz.
Adalah misteri mengapa seorang post player keluar, digantkan oleh post player
lainnya? Tipe pemain yang bermain sebagai tembok pantul dan kurang aktif
bergerak. Sebenarnya sih ada Rodrigo Palacio yang berpotensi membawa nuansa
baru dalam penyerangan. Entah kalau masalah mental yang jadi pertimbangan.
Kembali ke final nanti
malam, saya lebih mengunggulkan Italia. Marcello Lippi udah terbukti jago meracik
strategi. 21 dari 23 pemain yang dibawa sudah pernah dimainkan semua dalam sistem
rotasi dan hasilnya Italia melaju ke final. Hanya 2 pemain yg belum pernah
turun, Marco Amelia dan kiper bongsor Angelo Peruzzi. Yang paling mengejutkan
jelas Fabio Grosso. Italia berhutang dua kali kepada pemain ini. Yang pertama
ketika lawan Australia di perdelapan final, aktingnya yang memukau membuat
wasit terpesona dan menunjuk titik putih di detik akhir pertandingan! Kedua
adalah semifinal kemaren. Saya berteriak sendiri di depan televise ketika
tendangan pemain Palermo yang akan pindah ke inter ini melengkung indah,
melewati jangkauan Jens Lehmann yang sepanjang turnamen bermain beringas mengamankan
gawang. Gol yang mencabut nyawa Jerman, sebelum Alessandro Del Piero mencetak
gol berikutnya yang mengubur mereka… Adios!
Sedangkan Prancis cukup
meragukan dalam perjalanannya di turnamen. Skuad Raymond Domenech sudah sport
jantung sejak laga pertama, ketika mereka ditahan imbang oleh Swiss. Andai saja
sontekan Alexander Frei tidak menerpa tiang, entah mau ditaruh mana wajah
Prancis. Begitu juga saat lawan Korsel. Saya pribadi berpikir Korsel lebih
layak menang karena bermain lebih bagus. Sedangkan Togo? Dengan segala hormat,
menang adalah suatu kewajaran bagi Prancis.
Melawan Spanyol di fase
knock-out, Prancis mengalami peningkatan. Saya bertanya-tanya apa yang
dilakukan Iker Casillas ama Carles Puyol saat mereka dibobol 3 kali oleh sebuah
tim yang bermain tidak efektif sepanjang turnamen dengan menggunakan lone
striker. Sungguh diluar nalar akal sehat, walau harus diakui Zinedine Zidane
bermain sangat gemilang. Sedangkan Brazil memang bermain sebagai tim yang pantes
kalah. Puncaknya adalah Portugal yang dikalahkan berkat gol penalti. Manuver
beraroma diving dari Thierry Henry membuyarkan mimpi Selecao. Portugal lebih mendominasi,
termasuk peluang emas Luis Figo yang gagal menceploskan bola ketika Fabien
Barthez sudah melongo kaku, kehilangan posisi.
Menurut saya, Prancis
mempunyai kelemahan di sektor bek sayap, dimana Italia bereksplorasi di sana.
Willy Sagnol sering tidak konsisten. Dia bakal kesulitan ngadepin Francesco
Totti yang beroperasi melebar ke sisi kiri, belum lagi kalo Fabio Grosso ikut naik.
Saya bertanya-tanya mengapa Domenech tidak memainkan Pascal Chimbonda yang
bermain impresif di Liga Inggris, dan mengingat juga bahwa dia lebih kuat berduel
jika dibandingkan dengan Sagnol. Di sisi kiri, ada Eric Abidal.bek tangguh dari
Lyon yang melakukan berbagai cara untuk menghentikan berbagai musuh. Berhadapan
dengan Mauro Camoranesi, Abidal bakal kelabakan, seandainya Gianluca Zambrotta
juga ikut maju menekan.
Prediksi saya, gol yang
lahir sepertinya akan diawali crossing. Sulit bagi kedua tim untuk mengembangkan
serangan dari tengah. Akan ada deadlock kalau Zidane, Vieira, Makalele,
Gattuso, Pirlo, atau sesekali Totti berduel di sana memperebutkan bola.
Oke, segitu saja
analisis saya!!! Semoga bermanfaat!!!
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.