Thursday, February 21, 2013

Juventus ‘Il Gigante Buono’, Bek Sekaligus Penyerang Kelas Dunia



My tribute to John Charles
Remembrance of his 9th death anniversary
21 February 2004 – 21 February 2013
All hail The Gentle Giant, The Real Example of Fairplay

Ketika anda sedang bermain game sepakbola seperti Football Manager, Pro Evolution Soccer, ataupun FIFA, pasti ada masanya ketika anda mencapai titik jenuh untuk bermain normal dan menuruti bisikan setan untuk menciptakan pemain “sempurna” di menu edit player. Jangkung dan kekar, unggul dalam bola atas tapi sekaligus lincah dalam pergerakan. Pemain allround yang tidak hanya memiliki shooting mematikan, tapi juga jitu merebut bola dengan tackling. Sama baiknya dalam atribut menyerang dan bertahan, sehingga skill di spider diagram-nya akan terlihat penuh ke sampai sudut-sudut. 

Anda akan terus memperhatikan bagaimana pemain sintetis tersebut menjadi pahlawan yang menghancurkan tim-tim lawan dalam tiap pertandingan. Sampai pada suatu ketika anda merasa semuanya menjadi terlalu mudah dan membosankan, anda kembali ke realita bahwa pemain sesempurna itu hanya eksis dalam dunia khayalan.

Tapi tahukah anda, di sepakbola pernah memiliki satu pemain abnormal yang memiliki skill kelas dunia dalam dua posisi, bertahan & menyerang sekaligus?


Pemain tersebut bernama John Charles, legenda bagi Wales, Leeds United, dan juga Juventus.  Charles adalah anomali dalam sepakbola, karena dia diakui sebagai salah satu penyerang kelas dunia sekaligus palang pintu terbaik di jamannya. Kelihaian bermain di dua posisi yang bertolak belakang ini menunjukkan kemampuan membaca permainan di atas rata-rata. Posturnya yang jangkung berotot dan teknik melompat yang unik membuat Charles sulit dikalahkan dalam duel bola atas.

Mitos yang beredar tentang Charles ketika melakukan heading adalah dia selalu bisa melompat lebih tinggi dari lawannya dan melakukan hang on, “melayang” di udara lebih lama layaknya adegan slow motion, memudahkannya untuk memilih ke mana bola akan diarahkan. Headingnya juga terkenal sangat powerful, padahal bola yang dipakai saat itu jauh lebih berat daripada sekarang dan bersifat menyerap air. Bayangkan, dengan bola konon bisa membuat pemain linglung setelah melakukan heading itu pun Charles pernah mencetak gol dengan sundulan dari jarak 30 yards.

Ketika anda mencari foto ataupun video rekaman permainan Charles di internet, kemungkinan besar yang akan anda temukan berisi gambaran superioritasnya dalam duel udara. Tak heran defender legendaris Inggris sekaligus rekan setim Charles di Leeds, Jack Charlton, menyebut Charles sebagai 'Penyundul terbaik yang pernah kulihat seumur hidupku. Kekuatannya dalam duel udara sangat fenomenal.’


Best header in the world

Meskipun begitu superior di udara, namun jangan remehkan kedua kakinya yang sama-sama hidup, efektif dalam melakukan first touch dan shooting. Charles juga memiliki dribble yang lincah, kuat, dan susah dihentikan.

Kisah tak lazim lain yang kerap terdengar adalah bahwa Charles seringkali diturunkan sebagai penyerang di awal pertandingan untuk mencuri gol, lalu berubah posisi menjadi pemain belakang ketika tim hendak mengamankan hasil pertandingan. Tak heran memang, Charles mengawali karir sebagai seorang pemain bertahan sebelum akhirnya mampu beradaptasi dengan baik di posisi penyerang.

Seperti pengakuan Charlton lainnya, ‘John adalah 90% dari kekuatan tim. Dia mencetak gol sekaligus menjaga pertahanan. Dia adalah bintang tim.’

Selain dua kali menjadi topskor liga bersama Leeds United, Charles juga merupakan pemain Inggris Raya paling sukses yang pernah merumput di Italia. Membentuk trisula maut ‘Trio Magico’ bersama dua legenda Juventus lainnya, Omar Sivori dan Giampiero Boniperti, Charles  mengantarkan Juve meraih 3 gelar scudetti serta 2 gelar Coppa Italia hanya dalam 4 musim. Charles juga menyabet gelar capocannoniere sekaligus pemain terbaik Serie A pada tahun pertamanya. Sebuah pencapaian yang luar biasa, mengingat begitu banyaknya pemain asal Britania yang melempem ketika bermain di Italia.

Di Juventus pula Charles mendapatkan julukan ‘Il Gigante Buono’ atau ‘The Gentle Giant’. Julukan ini berasal dari posturnya yang tinggi besar dan juga sikapnya yang sangat sportif di lapangan. Tak sekalipun Charles mendapatkan kartu ataupun peringatan dari wasit sepanjang karirnya, padahal dia sempat bermain di Italia yang pada periode itu terkenal sangat kasar dan brutal.

Charles tidak pernah terpancing emosinya untuk meladeni provokasi dan pelanggaran keras dari pemain lawan, sebaliknya dia juga tidak pernah menggunakan keunggulan posturnya untuk melakukan hal illegal yang berpotensi mencederai lawan. Prinsipnya permainannya adalah "If I have to knock them down to play well, then I don't want to play the game at all."

Contoh nyatanya adalah kisah monumental yang terjadi dalam Derby Della Mole yang sarat emosi antara Juventus dan Torino. Sikut Charles secara tidak sengaja menghantam defender Torino hingga terkapar, pada saat yang sama dia sedang dalam posisi terbuka untuk membuat gol. Alih-alih mencetak angka, Charles memutuskan untuk membuang bola untuk kemudian memastikan pemain tersebut tidak mengalami luka serius. Setelah kejadian tersebut, Charles yang notabene pemain Juventus mendapatkan respek tinggi dari supporter Il Toro sang musuh bebuyutan. Charles adalah contoh sejati bagaimana fairplay seharusnya dilakukan, jauh sebelum Paolo Di Canio dan FIFA mengkampanyekan hal tersebut.

Mantan wasit internasional Clive Thomas memiliki pendapat tentang sikap fairplay Charles, “Jika anda memiliki 22 pemain di lapangan dengan karakter seperti John, maka anda tidak membutuhkan wasit. Anda hanya perlu menghitung waktu pertandingan.”

Dengan segala keistimewaannya tersebut, publik sepakbola Italia menghargainya sangat tinggi. Gol flying header ikonik dari Charles ke gawang AC Milan pada tahun 1958 masih dipakai untuk opening highlight mingguan di televisi Italia sampai 20 tahun kemudian. Charles juga menjadi pemain asing pertama yang masuk dalam Italian Football Hall of Fame pada tahun 2001. 

Sebuah pencapaian fenomenal mengingat Charles menyisihkan stranieri termasyhur lainnya seperti Gunnar Nordahl, Kurt Hamrin, Luis Vinicio, Jose Altafini, Falcao, Michel Platini, Marco van Basten, dan tentu saja Diego “Hand of God” Maradona. Juventus sendiri mencantumkan Charles ke dalam daftar 50 legenda yang namanya diabadikan di Juventus Stadium. Charles juga terpilih sebagai pemain asing terbaik yang pernah membela Juve dalam rangka perayaan centenary klub tersebut.

Adalah sebuah ketidak adilan mengapa nama Charles pada era sekarang relatif jarang dibicarakan bahkan oleh sebagian Juventini sendiri, terutama di luar Italia. Dengan segala kelebihannya yang skill serta kepribadian yang unik, dia adalah legenda sepakbola sesungguhnya, one of a kind.

Pelatih kawakan Sir Bobby Robson sendiri dalam autobiografinya melabeli Charles sebagai pemain sepakbola terbaik sepanjang masa, setara dengan Pele, Maradona, dan George Best. Tapi yang jelas tak ada satupun pemain yang mampu menyaingi Charles dalam hal kepribadian, fairplay, dan kualitas bermain di dua posisi berbeda. Siapa lagi yang bisa bermain sebagai penyerang haus gol sekaligus palang pintu kokoh dengan level worldclass sama baiknya?

Well, jika anda mengajukan nama Franz Beckenbauer sebagai pembanding, perlu diingat bahwa Der Kaizer bermain sebagai attacking defender, tidak pernah benar-benar menjadi penyerang.


Awal Perjalanan Sang Legenda

William John Charles lahir di distrik Cwmbwrla, Swansea, pada 27 Desember 1931. Bersama dengan adiknya Mel—yang kelak juga meraih kesuksesan bersama Swansea, Arsenal, Cardiff, dan juga Timnas Wales— John menghabiskan waktu kecil mereka dengan bermain bola di lapangan dekat rumah mereka. Ayah mereka, Edward Charles yang merupakan seorang tukang besi yang dulunya juga pemain bola sebelum pensiun akibat cedera.


John, Mel, dan kedua orang tua mereka
Charles pernah memperkuat Swansea junior sebelum memilih drop-out dari sekolah pada tahun 1945. John muda memutuskan bergabung menjadi staff lapangan bagi Swansea Town di usianya yang kelima belas. Charles memiliki kenangan tersendiri tentang masa remajanya di Swansea.

“Pada saat itu, kebanyakan klub merekrut pemain muda menjanjikan sebanyak yang mereka bisa untuk dipekerjakan di lapangan. Mustahil untuk mengontrak mereka sebagai pemain professional sebelum usia 17 tahun, jadi para youngster tersebut menghabiskan waktu melakukan pekerjaan-pekerjaan aneh di sekitar lapangan. Mereka menyiangi lapangan, menyapu teras, membersihkan ruang ganti, menyikat sepatu pemain senior, atau apapun yang membuat mereka terlihat berguna.” Kenang Charles.

“Benar-benar sebuah kerja keras, tapi untuk remaja yang memiliki minat yang tinggi pada sepakbola, semuanya dikerjakan dengan senang hati. Pekerjaan seremeh apapun akan terasa menyenangkan apabila membuat kita bermimpi tentang masa depan—menjadi pemain professional yang bermain untuk Swansea dan Timnas Wales. Aku kecewa memang karena tidak mendapat kesempatan di sana, tapi kita harus selalu memiliki harapan untuk bisa terus berkembang.”

Charles menghabiskan beberapa tahun di Vetch Field tanpa sekalipun mendapat tanda-tanda kesempatan menjadi pemain. Tapi ada mata jeli dari Jack Pickard, scout Leeds United untuk wilayah Wales, yang menyadari potensi tersia-sia di pinggir lapangan Swansea. Secara tidak sengaja, Pickard melihat penampilan Charles saat bermain untuk Gendros, salah satu tim junior lokal. Pickard meyakinkan kedua orang tua Charles untuk mengijinkan anaknya dibawa ke Leeds dan menjalani trial.

Charles akhirnya menerima undangan untuk melakukan trial di hadapan Major Frank Buckley, manajer Leeds United. Buckley adalah pelatih sukses yang sebelumnya pernah menyulap Wolverhampton Wanderers dari tim pesakitan di Second Division menjadi runner up First Division selama 2 musim beruntun.

Selain itu, Buckley juga manajer yang sangat mengandalkan sistem scout dan pembinaan pemain muda. Buckley merasa bahwa Charles memang layak direkrut setelah menyaksikannya berlatih beberapa minggu. Charles dikontrak dengan biaya 10 pounds dengan gaji 6 pounds per pekan, ditambah dengan setelan jas dan mantel baru. Kontrak tersebut menjadi awal mula perjalanan seorang legenda.

Buckley adalah pelatih yang eksentrik, humoris, namun sangat tegas. Dia menuntut pemainnya untuk mampu mengolah bola sama baiknya di kedua kaki dan juga mengharuskan pemainnya versatile, bisa dimainkan di beberapa posisi yang berbeda. Pada awal kedatangannya di Leeds Reserves, Charles menempati posisi left half pada formasi W-M yang saat itu lazim digunakan di Inggris. 

Pada perkembangannya, Buckley mencoba menempatkan Charles pada posisi right half, kemudian ke posisi center half. Di posisi terakhir inilah Charles menjalani debut, yang di era modern posisi center half bisa disamakan dengan posisi bek tengah dalam formasi 3 bek. 

Dalam beberapa bulan pertama, Charles mengalami perkembangan pesat. Tubuhnya yang tinggi menjadi semakin kokoh berotot berkat latihan keras. “Pada saat itu, aku telah belajar banyak. Tinggiku telah melebihi 6 kaki dengan bobot mencapai 13 stone. Aku bisa menggunakan kedua kakiku sama baiknya dan telah menguasai teknik tackling serta penempatan posisi. Pertandingan debut adalah titik balik dalam karirku. Bukan hanya karena penampilanku memuaskan, tapi aku juga menikmati posisi naturalku sebagai center half daripada wing half ataupun full back.”

Debut Professional Center Half Muda

John Charles di Skuat Leeds 1949-50

Pada 19 April 1949 Leeds menyusun pertandingan uji coba melawan klub Queen of The South, klub papan atas Liga Skotlandia yang diperkuat oleh Billy Houliston, center forward yang baru saja mengantarkan Skotlandia menghancurkan Inggris 3-1 di Wembley. Pada pertandingan tersebut Houliston dengan kekuatan fisiknya mempecundangi center half terbaik Inggris, Neil Franklin. 

Leeds sendiri pada saat itu kehilangan center half veteran Tom Holley yang mengalami cedera, sehingga Buckley memberi kesempatan kepada Charles untuk turun dalam pertandingan debutnya. Debut yang tidak mudah untuk seorang pemuda 17 tahun, menjadi center half yang berhadapan langsung dengan Houliston yang sedang menjadi buah bibir di Inggris Raya.


Namun debut tersebut ternyata berakhir luar biasa bagi Charles. Houliston dibuatnya tak berkutik dalam pertandingan yang berakhir tanpa gol tersebut. Seusai pertandingan, Houliston menyebut Charles sebagai “'The best center half I have ever met”. Charles yang masih minim pengalaman mampu dengan tenang mengunci Houliston yang terkenal memiliki gaya main brutal. 

Kematangan taktik dan teknik di usia yang sedemikian muda membuat Charles mulai diperhitungkan sebagai The Next Big Thing di posisi center half. Charles melakoni debut di pertandingan resminya seminggu kemudian, menghadapi Blackburn di pertandingan Second Division, yang lagi-lagi dilaluinya dengan gemilang. Posisi inti di Leeds United telah menjadi miliknya sejak saat itu.

Karir Charles berjalan baik di musim selanjutnya. Dia tidak pernah cedera dan selalu bermain sepanjang musim 1949/1950, mengantarkan Leeds finis di posisi kelima. Pencapaian Leeds termasuk menghentikan rekor unbeaten Tottenham Hotspur dalam 22 pertandingan dengan skor 3-0. Charles tetap bermain solid sebagai center half di musim selanjutnya walau sempat menjalani debut kurang mengenakkan di TImnas Wales. DIa kembali mengantarkan Leeds menduduki posisi lima di musim 1950/1951, walau lagi-lagi belum mampu meraih promosi. Namun, kejutan terbesar dari seorang John Charles baru akan terjadi di akhir musim.


Evolusi Menjadi Predator

Menjelang pertandingan melawan Manchester City, Leeds dilanda badai cedera. Tak kurang dua center forward sekaligus terpaksa absen, membuat Buckley harus memutar otak untuk menemukan pengganti. Di luar dugaan, Charles lah yang dipilih Buckley untuk menempati posisi tersebut. Pada pertandingan debut sebagai center forward tersebut, Charles bermain lumayan dalam adaptasinya sebagai penyerang walau Leeds dihajar 1-4.

Buckley yang penasaran kembali menurunkan Charles sebagai Center Forward di pertandingan selanjutnya melawan Hull City. Walau kurang percaya diri, Charles mampu memenangkan perjudian yang dilakukan Buckley dan melesakkan 2 gol dengan sangat impresif. 

Pergerakan Charles yang berbeda dengan tipikal center forward kebanyakan membuatnya sulit dijaga, terutama dominasinya dalam bola atas. Dengan intelegensi yang diasahnya semasa menjadi center half, Charles mampu menemukan posisi yang tepat untuk mendapat bola dan mengacaukan pertahanan lawan. Nama Charles mulai diperhitungkan sebagai center forward yang diwaspadai.

Pada tahun 1952, Charles harus menjalani operasi tulang rawan di kedua lututnya. Operasi membuatnya absen di sebagian besar musim 1951/1952. Ketika dia kembali bermain di separuh musim terakhir, Buckley memutuskan Charles lebih dibutuhkan di posisi center half.  Charles baru kembali mengenakan jersey nomor 9—nomor seorang center forward—pada tiga pertandingan terakhir di musim tersebut, tanpa mencetak gol. Meski begitu Buckley tetap memiliki pandangan bahwa Charles akan memberikan suatu dampak yang signifikan di posisi center forward, kepercayaan yang terbayar lunas di musim selanjutnya.

Di awal musim 1952-1953, Charles tetap dipercaya untuk menjadi palang pintu Leeds. Di usianya yang ke-21, dia sudah semakin matang dan kehadirannya semakin penting di lini pertahanan. Walau begitu, Buckley masih menyimpan rasa penasarannya untuk terus berjudi menjadikan Charles sebagai seorang center forward. 


Pada pertandingan melawan Halifax Town di bulan Oktober, Buckley akhirnya tak kuasa menahan rasa gatal di otaknya dan kembali melempar Charles ke lini depan. Hasilnya manjur, Charles menjadi penentu kemenangan 2-1 di pertandingan tersebut. Buckley semakin yakin bahwa perjudiannya ini berhasil dan akhirnya Charles mengenakan jersey nomor 9 sampai akhir musim, hampir seluruhnya dilalui dengan performa gemilang.



Charles menjadi buah bibir setelah berpindah posisi menjadi center forward
Dick Ulyatt, jurnalis dari Yorkshire Post, memiliki opini menarik setelah melihat Charles memimpin Leeds menghancurkan Brentford di bulan November. “Bermain sebagai center forward melawan Brentford di hari sabtu, Charles membuktikan semua pujian yang diberikan kepadanya. Dia melakukan lebih dari yang diharapkan dan menjadi penentu kemenangan. Itu adalah hattricknya yang kedua bulan ini dan gol ke 11 dari 13 pertandingan sejak melawan Halifax. Dia memecahkan rekor dengan mencetak 10 gol beruntun dari Leeds.”

“Akan menjadi perdebatan apakah dia lebih baik bermain di posisi center forward atau center half. Beberapa orang mengatakan dia terlalu besar, terlalu kaku, dan tidak cukup determinasi dalam perebutan bola. Namun lihatlah tiga gol yang dicetaknya hari ini semuanya spektakuler, tidak ada yang mampu menirunya terutama di lapangan bersalju ini. Ini adalah one man show, tanpa Charles saya ragu Leeds akan menang.”

Charles mengakhiri musim dengan mencetak 26 gol di liga, sebuah pencapaian gila untuk ukuran penyerang dadakan. Namun pindahnya Charles ke lini depan membuat pertahanan Leeds mengalami penurunan kualitas, The Peacock hanya bercokol di posisi 10 klasemen akhir, memaksa Buckley untuk mundur dari jabatan manajer. Kehilangan mentor yang telah berjasa besar dalam karirnya tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Charles. Beruntung bagi Charles, pengganti Buckley ternyata orang yang menyadari potensi besar dari sang bintang muda yang belum tereksplor sepenuhnya.

Topskor Second Division Serta Promosi Leeds United

Pengganti Buckley adalah Raich Carter, mantan inside forward Timnas Inggris.Sebagai mantan penyerang, Carter memahami kualitas yang dimiliki Charles dan berniat membangun Leeds dengan Charles sebagai inti permainan. Selain itu, Carter sering mengajak Charles mengikuti pertandingan amal dan bertemu pemain top Inggris seperti Tom Finney dan Stanley Matthews. Kedua legenda tersebut memberikan transfer ilmu berharga kepada Charles tentang apa yang harus dilakukannya sebagai penyerang, bagaimana membaca permainan, dan kemana harus berlari untuk menciptakan kekacauan.

Dengan segala keistimewaan yang diberikan Carter tersebut, ketajaman Charles meledak. Dia mengamuk dan membenamkan empat gol di laga pembuka liga melawan Notts County, disusul hattrick ke gawang Rotherham tiga hari kemudian. 

Kebuasan Charles berlanjut di sepanjang musim, menebar teror nyata bagi penjaga gawang lawan. Diakhir musim 1953/1954, Charles keluar sebagai topskor liga, menjaringkan 42 gol hanya dalam 39 penampilan! Sebuah performa yang sungguh mengerikan. Namun lagi-lagi moncernya Charles di lini depan membuat Leeds kehilangan ketangguhan di lini belakang. Mereka hanya finish di posisi sepuluh klasemen akhir.
 

42 gol dari 39 penampilan, brutal

Pencapaian tersebut tentu mengecewakan bagi direksi klub. Tak kunjung memperoleh promosi, ditambah fakta bahwa Charles seolah seorang diri telah memenangkan poin demi poin bagi Leeds, yang dikhawatirkan apa lagi kalau bukan munculnya tawaran transfer dari tim besar. Kehilangan Charles jelas menjadi suatu ketakutan terbesar bagi skuat biru kuning. Media pada saat itu ramai membicarakan rumor kepindahan Charles ke tim lain. 

Sebagai seorang pemain top di Inggris Raya yang belum pernah bermain di kasta tertinggi, tentu Charles menjadi komoditi panas bagi media. Chairman Sam Bolton mati-matian membentengi Charles dari godaan tim lain, walau kondisi keuangan Leeds sendiri sedang tidak begitu bagus. Pada akhirnya, Charles berhasil dipertahankan di akhir musim.


Musim 1954/1955 berjalan tidak terlalu baik bagi Charles, Leeds mengalami paceklik kemenangan. Kebobolan 15 gol hanya di 5 pertandingan awal membuat Charles kembali dimainkan di posisi center half untuk mengatasi kebocoran lini belakang. Hal ini membuat Charles gundah dan mengajukan transfer request. Beberapa tiim First Division seperti Cardiff City, Arsenal, dan Chelsea telah mengajukan tawaran.

Namun manajemen Leeds bersikeras menolak untuk mentransfer Charles ke tim lain, berapapun tawaran yang diajukan. Charles kecewa dengan keputusan ini, namun di sinilah kehebatan karakternya muncul. Menepikan rasa kecewanya, dia tetap bermain sepenuh hati dan memimpin Leeds dengan pelan tapi pasti memperbaiki posisi. 

Charles bahkan ditunjuk sebagai kapten tim menggantikan Tommy Burden yang telah lama menjadi skipper. Di akhir musim, Leeds hanya sedikit kurang beruntung finish di posisi empat, berselisih satu poin dari tim yang meraih promosi.

Fakta bahwa mereka nyaris promosi membuat seluruh komponen Leeds United lebih serius mempersiapkan diri di musim selanjutnya. Meskipun Charles tetap menyimpan potensi berbahaya jika diturunkan sebagai penyerang, namun Carter yang lebih berhati-hati dalam hal taktik daripada Buckley melihat Charles lebih dibutuhkan di lini pertahanan Leeds yang masih cukup rapuh. Leeds mengawali musim 1955/1956 dengan kurang meyakinkan.

Setelah beberapa pertandingan, muncul sosok center half muda menjanjikan pada diri Jack Charlton, yang kelak juga menjadi legenda The Whites. Kehadiran Charlton membuat Charles digeser ke posisi right half yang biasa ditempatinya di awal karir. Posisi ini memungkinkan Charles untuk lebih terlibat dalam penyerangan, terbukti walau bukan menjadi ujung tombak penyerangan tapi Charles mulai rutin kembali mencetak gol demi gol. Leeds mulai menemukan performanya dan bersaing dengan Sheffield Wednesday di puncak klasemen.

Mendekati akhir kompetisi, Carter semakin yakin untuk menggeser Charles kembali ke lini penyerangan, baik sebagai inside forward maupun center forward. Gol demi gol terus lahir dari kaki dan kepala Charles, termasuk pertandingan bersejarah melawan Sheffield Wednesday yang disebut-sebut sebagai pertandingan terbaik Charles selama memperkuat Leeds. Charles tampil heroik dengan mencetak gol keunggulan Leeds sebelum turun ke lini pertahanan di sisa pertandingan untuk menjaga keunggulan.

Di pekan penentuan, Leeds akan menghadapi Hull City dalam pertandingan tandang. Lebih dari 15 ribu fans berangkat ke Boothferry Park untuk menyaksikan pertandingan yang menjadi pertaruhan tiket promosi tersebut. Charles membuka keunggulan terlebih dahulu sebelum Hull menyamakan kedudukan. 

Ketegangan mulai terasa sampai akhirnya setengah jam sebelum pertandingan berakhir, Leeds mendapat hadiah penalti. Charles yang mendapatkan beban berat untuk menjadi eksekutor berhasil menyarangkan golnya yang ke 29 musim itu, lagi-lagi merupakan jumlah yang sangat tinggi mengingat dia baru diposisikan sebagai penyerang di pertengahan musim. Leeds mengunci tiket promosi di kandang Hull, dan akhirnya Charles akan merasakan atmosfer pertandingan di kasta tertinggi seperti yang telah lama diimpikannya.

Topskor First Division & Tragedi Kebakaran Elland Road

Menyambut musim selanjutnya, banyak media yang memprediksikan bahwa Charles akan kesulitan bermain di First Division, mereka merujuk fakta bahwa Charles dulu kesulitan beradaptasi ketika pertama kali memperkuat Timnas Wales. Banyak yang meragukan kemampuan Charles dan Leeds United untuk bersaing di level teratas. 

Di luar dugaan, Leeds mampu tampil meyakinkan. Begitu juga Charles, yang oleh Carter dipercaya untuk mengisi posisi center forward lagi. Membentuk trisula lini serang yang cair bersama Bob Forrest dan Harold Brook, Charles menyarangkan gol demi gol dan membawa Leeds sempat duduk di posisi kedua di bulan September, hanya satu poin di belakang “Busby Babes”  Manchester United yang legendaris.

Namun pada awal September, terjadi musibah yang tidak disangka-sangka. Stadion kebanggaan Leeds, Elland Road, mengalami kebakaran. Api menjalar dari West Stand dan menimbulkan kerusakan di sebagian besar struktur stadion. Leeds kehilangan kantor, stok jersey, lemari penghargaan, peralatan phisioterapi, ruang ganti, ruangan direktur, generator, dan juga ruang press. 

Kerugian ditaksir mencapai 100 ribu pounds, terlalu besar untuk dikompensasi oleh asuransi klub. Musibah inilah yang secara moril dan materiil mempengaruhi perjalanan Leeds United di sisa musim, dan pada puncaknya memaksa mereka untuk menjual pemain bintang termasuk Charles demi stabilitas keuangan.
Even made a team name by himself--John Charles United

Usai insiden kebakaran Elland Road, Leeds mulai dihinggapi inkonsistensi. Mereka tergelincir jauh dari papan atas dan pada mengakhiri musim di peringkat delapan, meskipun hasil tersebut bukanlah pencapaian yang buruk untuk tim yang baru promosi. Lebih fenomenal lagi, John Charles menyabet gelar topskor First Division musim itu dengan torehan 38 gol, atau lebih dari separuh jumlah gol yang dilesakkan Leeds sepanjang musim! 

Menjadi topskor di musim pertamanya bermain di top flight membuktikan kaliber Charles sebagai seorang penyerang handal. Kecuali Preston North End, seluruh lawan Leeds di First Division telah merasakan keganasan Charles. Yang paling parah adalah Sheffield Wednesday, menerima gelontoran hattrick dari Charles baik di pertandingan home maupun away. Total Charles mencetak 11 hattrick bagi Leeds United. Begitu dominannya peranan Charles, Leeds sampai mendapat julukan ‘John Charles United’—julukan yang dibenci oleh Charles.

Charles menjalani farewell match dengan publik Elland Road pada pertandingan terakhir musim itu melawan Sunderland, di mana dia mencetak 2 gol termasuk satu gol spektakuler yang dicetaknya dari jarak 30 yards. Usai pertandingan, ratusan fans mengejar Charles demi tanda tangan perpisahan.

Selesai sudah kebersamaan Charles dan Leeds United selama hampir satu dekade. Yang terjadi kemudian adalah: Juventus mendapatkan pemain berkualitas, Leeds menerima dana yang cukup banyak untuk membenahi masalah finansialnya, dan Charles akan memulai periode terbaik dalam hidupnya di Italia.


Lahirnya Juventus Il Gigante Buono

Menjadi headline maker ketika pindah ke Juventus

John Charles adalah salah satu talenta terbaik di eranya yang telah memikat banyak klub di seantero Eropa. Cukup mengherankan mengetahui bahwa dia bertahan di Leeds United yang bermain di Second Division sampai dia berusia 25 tahun dan baru merasakan atmosfer level tertinggi ketika dia membawa Leeds promosi ke First Division.

Rumor transfer selalu menyertainya hampir di setiap pergantian musim, hanya untuk disangkal oleh jajaran manajemen Leeds. Namun semuanya berubah usai tragedi kebakaran Elland Road, pada saat itulah Charles diputuskan untuk dijual dengan harga yang mahal untuk menutup kerugian klub. Walau begitu, Leeds memiliki kebijakan khusus dengan hanya akan menjual Charles ke Eropa daratan, tidak ke sesama klub Inggris Raya. Real Madrid dan Lazio sempat mengajukan tawaran, namun pada akhirnya ke Juventus lah Charles dijual.
Salah satu yang berperan atas kepindahan Charles ke Juventus adalah Luigi “Gigi” Peronace, seorang agen asal Italia. Peronace adalah fans Lazio yang pernah bekerja sebagai penerjemah di Juventus bagi dua pelatih Bianconeri asal Inggris Raya, William Chalmers dan Jesse Carver. 

Peronace memiliki spesialisasi menangani transfer pemain Inggris dari dan ke Italia, terutama yang bernilai besar. Sebut saja Jimmy Greaves ke AC Milan, Joe Baker & Dennis Law ke Torino, serta Liam Brady ke Juventus. Peronace yang sering disebut sebagai "first real agent in England" mendatangi Charles secara langsung ke rumah, pendekatan yang berbeda dengan para scout yang kebanyakan mendatangi incarannya di lapangan.

Transfer Charles direalisasikan di Queens Hotel Leeds, dengan dihadiri Direktur Bolton & Westwood serta Presiden Juventus, Umberto Agnelli. Nilai transfer sebesar 65 ribu pounds yang disepakati sekaligus memecahkan rekor transfer di Inggris. Kontraknya sendiri konon menyentuh angka 10 ribu pounds, dengan bonus per pertandingan yang bervariasi di kisaran ratusan pounds.

Begitu tiba di Italia, 2 ribu supporter Juve menyambutnya dan meneriakkan “Ecco il nostro salvatore!” yang berarti “here comes, our savior!

Pada saat itu, Juventus tengah membangun ulang kekuatannya yang sedang compang-camping. 5 tahun tanpa scudetto, termasuk 2 musim terakhir mati-matian menghindari degradasi, adalah sebuah aib besar bagi tim sebesar Juventus. Oleh karena itulah Presiden Agnelli memutuskan untuk melakukan gebrakan besar di bursa transfer, terutama di lini depan. Selain Charles, Juve juga mendaratkan Omar Sivori dari River Plate.

Sivori sendiri bukan penyerang sembarangan, di terkenal memiliki naluri gol yang tinggi dan juga dianggap sebagai pemain Argentina dengan dribble terbaik sebelum Maradona. Kehadiran dua striker asing dengan tinggi badan yang kontras tersebut (Sivori 5 feet 4 inch, Charles 6 feet 2 inch) semakin komplit dengan keberadaan Giampiero Boniperti, pemegang rekor gol terbanyak sepanjang sejarah Juventus—sebelum dipecahkan oleh Alessandro Del Piero 4 dekade kemudian. Juve juga membenahi sektor lain dengan mendatangkan penyerang sayap Bruno Nicolè, kiper tangguh Carlo Mattrel, dan memulangkan kembali jangkar raksasa Rino Ferrario.
“Ecco il nostro salvatore!
Pada awal kedatangannya di Italia, Charles dan keluarganya sempat mengalami masalah adaptasi. “Keadaan sangat rumit di awal kedatanganku. Apakah aku pernah mendengar tentang Turin? Bahkan aku tak tahu apapun tentang Italia sampai Juventus merekrutku. Aku mengalami culture shock dengan banyak hal, terutama soal makanan. Aku terbiasa minum bitter shandy di Leeds, namun sekarang mendapatkan red wine tiap kali makan sebelum pertandingan. Aku juga kesulitan memakan spaghetti, entah kenapa makanan itu sulit untuk masuk ke dalam tenggorokanku.”

Satu kejadian konyol lainnya adalah ketika Charles pertama kali datang ke tempat latihan mengendarai mobil Citroen yang baru dibelinya. Tidak ada masalah dengan hal ini, kecuali kenyataan bahwa keluarga Agnelli yang menjadi menguasai Juve adalah juga pemilik dari pabrikan mobil Fiat. Seandainya Charles tahu bahwa setiap pemain Juve mendapatkan mobil Fiat gratis…

Media Inggris sendiri banyak yang pesimis dengan kelangsungan karir Charles di Italia, karena pada saat itu Italia adalah ‘neraka’ bagi para penyerang. Sepakbola Italia menganut paham ultra defensif dengan tumpukan berlapis pemain belakang, memainkan 8 defender sekaligus bukan hal yang aneh di Italia.

Selain itu, banyak pihak yang meragukan apakah Charles dengan sportifitasnya bisa survive di Italia yang gemar bermain licik dan memiliki wasit yang lebih tidak toleran. Charles sendiri mengakui bahwa dia kesulitan menghadapi wasit-wasit Italia yang cenderung memihak tuan rumah, presiden klub memberikan ‘hadiah Natal’ kepada para pengadil adalah sebuah hal yang lumrah. Begitu juga diving dan tarikan kaus yang dipandang negatif di Inggris justru sudah menjadi seni tersendiri di Italia.

Charles memiliki pandangan bijak mengenai perbedaan ini, “The continentals will have to accept that soccer is a man's game, but the British have to accept that soccer is an art.”

Publik Italia ternyata justru terkesan dengan prinsip gentle Charles. Sikap fairplay pada Derby Della Mole pertamanya—yang telah diceritakan di awal artikel—telah memikat hati supporter Torino dan seluruh Italia. Bukti nyata keakraban Charles dengan supporter Torino adalah ketika dalam derby lainnya Juve takluk 2-3 dan Charles gagal mengeksekusi penalty. Pada pukul 3 dini hari keesokan, supporter Torino berkonvoi di sekitar kediaman Charles dan membuatnya terbangun.

Alih-alih mengusir mereka atau memanggil polisi, Charles justru mengundang mereka masuk ke rumahnya untuk minum wine bersama, mengobrol hangat sambil sesekali para supporter tersebut bergurau dengan mengajak Charles meninggalkan Juve dan bergabung dengan Torino. Julukan Juventus Il Gigante Buono pun semakin melekat pada diri Charles.

Charles juga menjadi idola bagi supporter Juventus. Meskipun mereka memiliki Boniperti dan Sivori yang juga rutin mencetak angka, tapi Charles lah yang paling sering dipeluk secara massal oleh para supporter usai membuat gol. Bahkan ketika John dan istrinya Glenda menjadi tamu kehormatan di Delle Alpi pada tahun 2001, seluruh stadion memberikan standing applaus yang luar biasa meriah. Keduanya juga menerima album foto istimewa berisi rekam jejak Charles di Juventus, membuat mereka terharu berlinang air mata.

Kesuksesan Charles beradaptasi dengan mudah di Italia adalah karena dia mau membaurkan diri ke dalam budaya Italia. Charles membeli saham dari sebuah rumah makan di kota Turin bersama Sivori dan membuat dirinya nyaman untuk belajar bahasa Italia, dengan tetap memegang batasan bahwa dia tetaplah orang asing. Kerendahan hati ini pada akhirnya tidak hanya membuat supporter Juventus, tapi juga masyarakat Turin menerima kehadiran Charles dengan hangat.


Unstoppable Gigante Buono, with Sivori behind him


Faktor kesuksesan adaptasi inilah yang menjadi pembeda antara Charles dengan pemain asal Inggris Raya lainnya yang mengikuti arus eksodus ke Italia pada dekade ’50-‘60an. Sejumlah pemain yang mengikuti jejak Charles dengan hijrah dari inggris ke Italia pada saat itu diantaranya adalah Jimmy Greaves, Dennis Law, Joe Baker, dan Gerry Hitchens.

Kecuali Hitchens, semuanya hanya bertahan semusim di Italia karena gagal beradaptasi dengan kehidupan maupun sepakbola Italia. Hitchens sendiri walaupun hampir satu dekade bermain di Italia, namun gelar yang diraihnya hanya 1 scudetto bersama Inter, jauh jika dibandingkan dengan pencapaian Charles. Lusinan pemain asal Inggris Raya lainnya mencoba peruntungan di Italia sampai saat ini, tapi hampir semuanya gagal beradaptasi dan memilih pulang hanya dalam seumur jagung. Sebut saja Ian Rush dan Luther Blisset sebagai contoh paling buruk.

Charles menjalin persahabatan yang erat dengan Sivori sebagai sesama pemain perantauan yang datang bersamaan. Mereka saling menguatkan diri ketika homesick sedang melanda. Selain kolaborasi bisnis restoran, mereka juga pernah membuat film dan memproduksi album rekaman bersama. Persahabatan yang unik mengingat tinggi badan, tipe permainan, dan tempramen keduanya yang sangat bertolak belakang.

Ada sebuah kisah unik mengenai Charles dan Sivori. Pada sebuah pertandingan away, Sivori menerima ancaman dari mafia lokal bahwa dia akan ditembak apabila mencetak gol. Si Kecil asal Argentina ini pun bermain dengan hati-hati, namun sialnya dia tidak sengaja mencetak gol ketika sebuah bola liar mengenai bagian belakang kepalanya dan berbelok masuk ke gawang lawan.

Alih-alih merayakan gol tersebut, Charles dan pemain Juventus lainnya segera membentuk barikade untuk melindungi Sivori yang serta merta berlari ke ruang ganti, khawatir ada sniper yang menembaknya. Setelah Sivori aman, pertandingan dilanjutkan dan Charles berhasil mencetak gol. Anehnya, tanpa alasan yang jelas gol tersebut tidak disahkan oleh wasit. Saat Charles menanyakan mengapa golnya dianulir, wasit tersebut mengeluarkan jawaban yang mengiris hati tapi sekaligus jenaka:

“Seperti Mr. Sivori, saya juga ingin pulang dengan selamat.”

Kesuksesan Bersama Trio Magico

Meskipun menjalani proses adaptasi yang tidak mudah, namun performa Charles di atas lapangan sangat luar biasa. Charles melalui 3 pertandingan pertamanya dengan selalu mencetak gol penentu kemenangan saat lawan Verona, Udinese, dan Genoa. Charles membuktikan bahwa Juventus tidak salah mendatangkannya dengan harga mahal dengan gol demi gol yang ditorehkannya sepanjang musim, termasuk tiga buah hattrick saat melawan Atalanta, Sampdoria, dan Lazio.

Meskipun baru semusim bermain di kompetisi yang terkenal sangat defensif, Charles mengejutkan semua pengamat dengan torehan 28 gol yang mengukuhkannya menjadi capocannoniere sekaligus pemain terbaik Serie A tahun 1958. Kegemilangan musim perdana Charles semakin lengkap dengan gelar scudetto ke-10 yang diraih oleh Juventus, bintang emas pertama bagi La Vecchia Signora.

Musim selanjutnya, Charles mengantarkan Juve meraih gelar Coppa Italia setelah mengandaskan Inter Milan di final yang diadakan di Giuseppe Meazza. Charles mencetak satu gol dalam pertandingan tersebut. Namun Juve gagal meraih double winner setelah mengalami serangkaian hasil buruk di liga, gelar juara jatuh ke tangan AC Milan.

Target gelar ganda baru tercapai pada musim 1959/1960. Di bawah asuhan pelatih baru Renato Cesarini, Juve merebut kembali gelar liga. Charles dan Sivori total mencetak 50 gol musim itu, menyamai torehan di musim pertama mereka.

Charles juga mencetak salah satu gol kemenangan Juventus atas Fiorentina di final Coppa Italia lewat proses yang unik. Dia mengontrol sebuah crossing dan melakukan juggling dengan kepala layaknya singa laut dalam sebuah pertunjukan sirkus, sambil melewati kiper lawan yang tak bisa berbuat apa-apa untuk menjangkau bola. Di akhir  tahun, John Charles masuk sebagai nominasi peraih Ballon d’Or namun harus puas berada di posisi ketiga di belakang duo Real Madrid, Alfredo Di Stefano dan Raymond Kopa.

Gelar juara Serie A masih bisa dipertahankan di musim selanjutnya, kali ini dengan susah payah setelah melalui persaingan sengit dengan Inter Milan yang saat itu dilatih oleh sang maestro catenaccio Helenio Herrera dan AC Milan yang diperkuat oleh Altafini. Persaingan berlangsung seru sampai pekan-pekan terakhir.

Juventus mengalahkan Inter 9-1 dan Sivori mencetak 6 gol dalam pertandingan terakhir, saat itu Inter melakukan protes dengan menurunkan pemain muda akibat ditolaknya kemenangan otomatis setelah laga terhenti akibat invasi supporter di Stadion Comunale. Charles hanya mencetak 15 gol musim itu, menandai gelar terakhir yang diberikannya kepada Juventus. 3 scudetti dan 2 Coppa Italia dalam 4 tahun, pencapaian yang luar biasa.

Trio Magico, the best tridente Juve ever had




Lebih dari sekedar gelar, Charles bersama Sivori dan Boniperti juga menorehkan nama mereka sebagai kombinasi serangan paling mematikan sepanjang masa di Juventus, atau bahkan Italia. Suporter memberi mereka nama Trio Magico atau Magical Trio

Charles adalah seorang target man, menara penghancur di lini depan yang bisa menjadi finisher ataupun pemantul bola dengan kesempurnaannya pada duel bola atas. Sivori mampu merobek pertahanan lawan dengan dribble mautnya yang menarik beberapa defender sekaligus dan juga bisa mencetak gol dengan cara yang tidak lazim. Boniperti bermain sedikit ke belakang, menjadi playmaking forward yang walaupun tidak mencetak gol sebanyak kedua rekannya, tapi visinya dalam menemukan ruang kosong sangat sulit diantisipasi. Selama 4 musim, Trio Magico total menyumbangkan 203 gol bagi Juventus hanya di ajang liga saja. Kombinasi dari gol Boniperti (8-8-7-6), Charles (28-19-23-15), dan Sivori (22-15-27-25).

“Yang menakutkan dari Juventus adalah dalam tim tersebut terdapat perpaduan dari kekuatan Charles, fantasi Sivori, dan kebijaksanaan taktik Boniperti.” Ungkap Mario Gherrarducci, jurnalis Corriere Della Serra.

Setelah 5 tahun perjalanan karirnya di Italia yang bergelimang kesuksesan, Charles akhirnya memutuskan untuk kembali ke Inggris. Faktor keluarga menjadi pertimbangan utama bagi Charles, antara lain faktor homesick yang sudah lama ditahan oleh dia dan istrinya serta keinginan agar anaknya mendapat pendidikan di Inggris. Meskipun kepergiannya sempat berusaha ditahan oleh Juventus dengan tawaran kontrak fantastis sebesar 14 ribu pounds, pada akhirnya Charles tetap pada keputusannya dan resmi meninggalkan Juventus pada tahun 1962. 

Hal ini menandai berakhirnya era Trio Magico, karena Boniperti sudah memutuskan untuk gantung sepatu pada setahun sebelumnya. Sivori sendiri meraih gelar Ballon d’Or 1961 dan bertahan beberapa musim di Juve sebelum akhirnya pindah ke Napoli. Bubarnya Trio Magico juga membawa La Vecchia Signora kembali ke era paceklik gelar dengan 5 musim tak memenangkan apapun.


Charles dikenang sebagai sebagai salah satu penyerang 'terbesar' yang pernah dimiliki Juventus, baik secara kiasan maupun arti harfiah. Tidak hanya postur, tapi juga kekuatan fisiknya dalam menembus pertahanan lawan juga sulit dicari bandingan. Salah satu foto yang terkenal tentang Charles adalah ketika dia melompat dan melakukan heading kearah gawang, sementara kiper lawan dan 2 defender  yang menjaganya hanya bisa bergelayut sia-sia tanpa mampu menghentikan pergerakan Charles.

Foto lain yang ikonik memperlihatkan Charles melompat dengan sangat tinggi menjangkau bola, begitu tingginya sampai-sampai kiper Torino yang juga terlihat melompat dan menjulurkan tangan sekuat tenaga terlihat seperi kurcaci di sebelah Charles. Sekali lagi membuktikan bahwa Charles kemungkinan besar adalah pemain dengan kemampuan heading terbaik sepanjang masa.



John Charles membuat Lido Vieri, kiper Torino, terlihat kerdil dalam duel udara




John Charles dan Timnas Wales—When Pele Broke Our Hearts


Berkat performa impresifnya sebagai center half muda bertalenta yang ramai dibicarakan, Charles mendapatkan panggilan untuk memperkuat Timnas Wales pada awal tahun 1950. Charles tercatat sebagai pemain termuda yang mengenakan kostum The Dragons pada usia 18 tahun 71 hari—sebelum rekor tersebut dipecahkan oleh Ryan Giggs pada tahun 1992.

Pertandingan debut melawan Irlandia tersebut berakhir 0-0. Sayang, penampilan Charles di debut internasionalnya tersebut kurang meyakinkan. Charles muda bermain canggung dan sering salah dalam pengambilan keputusan. Charles mengakui bahwa rasa tegang dan grogi benar-benar mematikan permainannya.


“Kuakui bahwa demam panggung adalah musuh terbesar bagi pesepakbola. Kakiku tidak mampu menjejak kokoh dan terasa seperti jelly. Perutku mual seolah ribuan kupu-kupu terbang di dalamnya. Penglihatanku terasa buram dan aku ragu untuk mengambil keputusan, terlalu takut untuk berbuat kesalahan.”

Kritik pedas banyak diterimanya, sehingga Charles terpaksa harus menunggu lebih dari setahun sebelum menerima caps keduanya dalam laga melawan Swiss. Segalanya berjalan baik dan Wales sempat unggul 3-0, sebelum 20 menit terakhir ketika Charles bermain kacau. 

Center forward Swiss, Alfred Bickel, memporak porandankan pertahanan Wales dan memperkecil kedudukan menjadi 3-2 hanya dalam 10 menit. Meski tidak kalah, Charles kembali kebanjiran kritik yang membuatnya kembali terisolir dari Timnas selama beberapa tahun. Charles sendiri menyebut momen lawan Swiss tersebut sebagai 20 menit terburuk dalam karirnya.

Setelah dua kali tampil buruk, butuh waktu lama bagi Wales untuk kembali mempertimbangkan Charles masuk timnas lagi. Pintu bagi Charles kembali terbuka setelah dia sukses menjalankan eksperimen Buckley untuk bermain di lini depan. Charles dipanggil memperkuat Irlandia Utara di Belfast pada tanggal 15 April 1953. Namun karena posisi center forward sudah menjadi milik Trevor Ford dan center half ditempati Ray Daniel, Charles digeser ke posisi inside right. 

Irlandia Utara yang dipimpin oleh skipper legendaris Tottenham Hotspurs, Danny Blanchflower, berhasil membuka keunggulan terlebih dahulu sebelum Charles mencetak dua gol untuk membalikkan keadaan. Charles bisa saja mencetak hattrick, namun pada suatu peluang terbuka dia mengesampingkan ego dan memberikan assist kepada Ford untuk memastikan Wales menang 3-1. Pertandingan tersebut seolah menghapus dosa Charles atas penampilan buruknya di 2 caps pertama, dia menjadi penghuni tetap lini depan Wales setelah kemenangan itu.

Charles 'hang time' saat lawan Inggris

Salah satu partai internasionalnya yang cukup dikenang adalah ketika Wales mengalahkan Inggris 2-1 di Cardiff pada Oktober 1955. Dalam dua pertandingan sebelumnya di dua tahun beruntun, Wales selalu kalah tipis atas Inggris. Pada pertandingan di Cardiff tersebut Charles bermain sebagai center half dan berhasil mematikan pergerakan Nat Lofthouse, penyerang dengan rasio gol tertinggi bagi The Three Lions hingga saat ini. 

Lofthouse mengakui kekokohan Charles dalam bertahan dan melabelinya sebagai “The best center half I have ever met”. Uniknya, pada pekan yang sama kapten Inggris Billy Wright menyebut Charles sebagai center forward yang paling dia takuti. Dua pengakuan yang bertolak belakang dalam satu pekan dari dua bintang Inggris.

Dekade 50-an adalah periode emas bagi sepakbola Wales. Mereka dilatih oleh Jimmy Murphy, yang pada saat yang sama juga merangkap sebagai asisten dari pelatih legendaris Matt Busby di Manchester United. Murphy memegang peranan penting dalam pembentukan “Busby Babes” yang sangat disegani, dia jugalah yang mengasah talenta muda seperti Duncan Edwards dan Bobby Charlton di MU. 

Keberadaan pelatih sekaliber Murphy di dugout serta dilengkapi dengan sekumpulan pemain berskill tinggi seperti Ivor Allchurch, Cliff Jones, Alf Sherwood, Jack Kelsey, Trevor Ford, Ronnie Burgess, Terry Medwin, dan tentu saja John Charles. Mereka disebut-sebut sebagai golden generation Timnas Wales, generasi pertama dan satu-satunya yang pernah lolos ke putaran final Piala Dunia.

Salah satu momen yang terus dikenang adalah ketika Wales lolos ke perempat final Piala Dunia 1958 di Swedia. Namun tahukah anda, bahwa lolosnya Wales tersebut tidak lepas dari keberuntungan dan campur tangan Indonesia?

Pada saat itu, sebenarnya Wales hanya finish di posisi runner-up kualifikasi grup  zona Eropa di bawah Ceko. Namun muncul kekacauan di grup zona Asia-Afrika yang berisi Israel, Indonesia, Mesir, dan Sudan. Karena alasan politis, ketiga penghuni grup tersebut menolak bertanding dengan Israel, sehingga Israel secara otomatis keluar sebagai juara grup.

FIFA tidak ingin ada negara yang lolos ke putaran final tanpa memainkan satupun pertandingan kualifikasi, oleh karena itu mereka mengumpulkan nama-nama runner up grup dari zona lainnya untuk kemudian diundi salah satu untuk memainkan pertandingan play-off lawan Israel. Pada undian pertama, nama Belgia yang muncul. Beruntung bagi Wales, Belgia menolak jatah play-off tersebut dan pada undian kedua nama Wales lah yang muncul.

Wales melakoni play-off dengan mulus dengan mengalahkan Israel 2-0 pada masing-masing leg, memastikan tiket untuk bertanding di turnamen sepakbola paling bergengsi di dunia.

Charles sempat mengalami sedikit masalah untuk bergabung dengan tim di Swedia. Pada saat itu Charles telah bergabung dengan Juventus dan langsung menjadi topskor di musim pertamanya. Oleh karena itulah Juve keberatan untuk melepas Charles ke Piala Dunia karena takut dengan resiko cedera.

Sempat tarik menarik, akhirnya Charles memutuskan nasibnya sendiri dan berangkat menyusul rekan-rekannya di Swedia, hanya 4 hari sebelum pertandingan pertama Wales melawan Hungaria. Kedatangan Charles benar-benar memberikan suntikan moral bagi seluruh personel tim. Sang adik Mel Charles, yang saat itu juga bergabung dengan timnas, menggambarkan kedatangan John di hotel dengan begitu heroik.


Golden generation The Dragons


“Aku tak akan pernah melupakan momen ketika John mendatangi kami. Dia terlihat seperti sosok dewa dari Yunani karena posturnya yang tinggi dan kulitnya yang kecoklatan. Seluruh elemen tim yang melihatnya meletakkan garpu dan pisau mereka, lalu berdiri dan menyanyikan lagu 'For he's a jolly good fellow’ (lagu terpopuler kedua dalam Bahasa Inggris setelah Happy Birthday, biasanya untuk memperingati hari pernikahan atau kelahiran). Benar-benar seperti suasana pesta anak kecil.”

Bagaimanapun juga, kedatangan Charles ke markas Wales menaikkan semangat tempur dari rekan-rekannya sekaligus memberikan psywar terhadap calon lawan mereka. Hungaria misalnya, telah mengidentifikasi Charles sebagai sosok kunci Wales dan melakukan intimidasi baik secara fisik maupun psikis di sepanjang pertandingan. 

Namun Charles dengan kesabaran dan kontrol emosinya yang sangat baik berhasil menghindari cedera maupun pancingan provokasi lawan, untuk kemudian menyarangkan gol yang memastikan Wales mengamankan hasil seri. Sebuah awal yang bagus mengingat Hungaria adalah tim favorit saat itu, mengandalkan sisa-sisa dari skuat Magical Magyar yang sempat diakui sebagai tim terbaik di dunia beberapa tahun sebelumnya.

Wales bermain tidak optimal di pertandingan kedua dengan kembali memetik hasil imbang, kali ini melawan Meksiko yang notabene bukan merupakan tim unggulan. Hasil tersebut memaksa Wales harus berjibaku di partai penentuan yang berat melawan tuan rumah Swedia. Murphy bermain pragmatis, mengincar hasil imbang tanpa gol yang akan mengamankan langkah Swedia menuju play off perempat final.

Murphy menginstruksikan strategi defensif dengan memasang Charles di posisi gelandang lalu merubahnya ke posisi center half menjelang akhir pertandingan untuk mematikan serangan Swedia. Walau kurang atraktif, Murphy mendapatkan apa yang ia inginkan dan Wales menjalani play off lawan Hungaria untuk memperebutkan satu tempat di perempat final. Hasil ini sebenarnya diluar dugaan staf Timnas Wales sendiri, yang bahkan sudah membooking tiket pesawat untuk pulang setelah pertandingan karena memperkirakan Wales akan kalah dari Swedia. 

Komitmen Charles terhadap negaranya membuatnya tetap antusias bermain di belakang lawan Swedia. Namun pada pertandingan tersebut Charles mengalami sobek di sekitar mata yang membuatnya mendapatkan 4 jahitan. Pada pertandingan playoff, sekali lagi Hungaria menerapkan intimidasi brutal terhadap Charles.Sebuah tackling kasar dari belakang yang secara mengejutkan tidak dianggap pelanggaran oleh wasit membuat Charles cedera. Wales sendiri bermain gemilang, berhasil membalikkan ketertinggalan dan meraih kemenangan 2-1.

Dipastikan tidak diperkuat oleh Charles di sisa turnamen, lawan yang menunggu Wales di babak berikutnya pun tidak main-main: Brazil, dengan sederet pemain berkaki seniman termasuk sang megabintang Pele yang saat itu masih berusia 17 tahun. 

Wales bermain gagah berani dan merepotkan Brazil, walau pada akhirnya mereka harus kalah lewat tendangan Pele yang terdefleksi dan mengecoh kiper Jack Kesley. Pele selalu mengenang gol pertamanya di ajang Piala Dunia tersebut sebagai "gol paling beruntung dan paling tak terlupakan".

Tragedi Nasional yang dibukukan--When Pele Broke Our Hearts
Banyak pihak yang berpikir bahwa hasil pertandingan akan sama sekali berbeda seandainya Charles bisa bermain lawan Brazil. Selecao sendiri pada akhirnya tak terhadang dan keluar sebagai juara World Cup 1958, menambah garam di atas luka publik Wales. Tragedi itu diabadikan dalam sebuah buku best-seller berjudul “When Pele Broke Our Hearts: Wales and the 1958 World Cup”, ditulis oleh Mario Risoli. Generasi terbaik Wales telah gagal dalam kesempatan pertama dan terakhir mereka mengukir sejarah di Piala Dunia.

Winger Cliff Jones memiliki kenangan getir tentang pertandingan tersebut, “Aku masih berpikir apabila John bermain di perempat final melawan Brazil, kami akan mampu mengalahkan mereka. Orang-orang mungkin berpikir aku bercanda, tapi aku yakin akan hal itu. Performa terbaikku di sepanjang turnamen adalah pada pertandingan itu, aku dan Terry Medwin melancarkan banyak crossing matang ke pertahanan Brazil. Colin Webster adalah center forward yang bagus, tapi tentu saja dia berbeda dengan seorang John Charles. John pasti akan memberikan sentuhan mematikan dengan crossing-crossing tersebut. Dia adalah pemain yang sangat-sangat berbahaya.”

Charles sendiri menyimpan kekecewaan mendalam atas peristiwa tersebut, “Tidak bisa bermain melawan Brazil adalah kekecewaan terbesar dalam karirku. Tapi bermain untuk Wales selalu terasa spesial untukku. Aku selalu ingin mengenakan kostum timnas dan mewakili negaraku. Itu adalah kebanggaan luar biasa.”

Piala Dunia tersebut adalah puncak dari karir internasional Charles. Dia memang masih cukup bagus untuk bermain bagi timnas sampai 6 tahun setelahnya, tapi baik Wales maupun Charles tidak pernah bisa lagi mencapai level yang sama seperti tahun 1958. Walau begitu, dunia akan selalu mengenang perjuangan Charles dan generasi emas timnas Wales sebagai sebuah kisah tragis yang menyimpan keindahan tersendiri.

Bahkan beberapa tahun setelah pension, Pele mengakui Brazil mungkin tidak akan lolos jika Charles bermain. “Orang-orang tidak berani membayangkan hasilnya apabila saat itu John Charles berada dalam kondisi fit,” ungkap Pele.


Tidak salah memang, pertandingan melawan Wales adalah satu-satunya partai di mana Brazil hanya mencetak 1 gol di Piala Dunia waktu itu. Bahkan di semifinal dan final mereka mengalahkan Prancis dan Swedia dengan skor rakus 5-2. Membuktikan bahwa Wales adalah lawan tersulit bagi Brazil saat itu.

Coba bayangkan seandainya Charles bermain melawan Brazil dan Wales mengangkat Trofi Jules Rimet di akhir turnamen, mau ditaruh mana wajah media Inggris yang terkenal arogan itu?


Momen ketika Pele mencetak 'luckiest goal' ke gawang Jack Kelsey dan mengubuh mimpi Wales




Akhir Perjalanan Sang Raksasa



Rumor ingin hengkangnya Charles dari Italia menjadi perbincangan hangat di Elland Road. Pada saat itu Leeds United kembali terpuruk di Second Division setelah beberapa musim mengalami serangkaian hasil buruk. Suporter The Whites tidak tinggal diam mendengar kabar Charles akan pulang dari Italia, mereka memberikan tekanan terhadap manajemen Leeds untuk merekrut kembali pahlawan mereka agar kembali mengenakan jersey putih-putih.

Charles yang saat itu berusia 31 tahun akhirnya memutuskan kembali ke Leeds United karena tertarik dengan visi Don Revie sebagai manajer. Charles ditebus dengan harga 53 ribu pounds dan disambut dengan gegap gempita oleh segenap pendukung Leeds. Bayang-bayang kejayaan Charles ketika berkostum putih-putih 5 tahun lalu kembali terbayang di seantero kota. Optimisme membumbung tinggi dan jumlah penonton yang hadir ke Elland Road membludak berkat kembalinya sang raja.

Unsuccessful Return of The King


Namun satu hal yang tidak disadari oleh Leeds United: John Charles sudah bukan lagi pemain yang sama seperti yang mereka kenal dulu.

5 tahun di Italia telah mengubah gaya main Charles menjadi lebih calcio. Charles telah terbiasa dengan permainan taktikal dengan tempo lambat dan mendapati dirinya kesulitan berhadapan dengan kick and rush yang fisikal di Inggris. Apalagi Charles tidak sempat mengikuti program pra-musim Leeds dan mengalami overweight. Periode keduanya memperkuat Leeds yang disambut gegap gempita oleh para supporter ternyata berjalan sangat buruk. Dalam 11 pertandingan, Charles hanya mencetak 3 gol.

“Aku sangat senang bisa kembali, tapi semuanya tidak berjalan dengan baik. Untuk pertama kalinya aku khawatir dengan permainanku di Leeds. Semakin aku khawatir, semakin buruk pula permainanku. Aku bermasalah dengan diriku sendiri yang gagal menyesuaikan diri. Beberapa orang berkata jangan pernah kembali ke klub yang pernah kau perkuat sebelumnya, ekspektasinya akan terlalu tinggi. Hal itu terbukti benar. Aku akhirnya memutuskan lebih baik pergi. Aku merasa sangat bersalah, tapi senang pernah bermain bersama Revie.”

Hanya 90 hari sejak bergabung bersama Leeds, Charles akhirnya memutuskan kembali ke Italia. AS Roma membayar sebesar 70 ribu pounds untuk memboyong Charles ke ibukota. Namun di sana lagi-lagi Charles menjalani masa-masa buruk. Sepanjang musim 1962/1963, dia hanya bermain 10 kali dengan catatan 4 gol. Charles gagal beradaptasi dengan lingkungan social masyarakat Italia utara, yang diakuinya sangat berbeda dengan kehidupan Italia selatan tempat Juventus bermarkas. Charles sendiri mengakui telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan Juventus.

“Ketika anda meminta pergi dari Juventus, maka anda telah benar-benar menutup pintu untuk kembali.” Charles mengungkapkan penyesalannya. “Tidak ada kesempatan untuk kembali. Jika mereka yang menjual anda, maka ada kemungkinan anda akan dibeli kembali. Tetapi ketika anda sendiri yang memaksa pindah, pintu kembali sudah tertutup bagi anda. Klub Italia tidak akan mengambil kembali pemain yang pergi atas keinginannya sendiri.”

Hanya semusim di Roma, Charles pulang ke Wales di musim selanjutnya dengan biaya transfer 20 ribu pounds oleh Cardiff City. Di sanalah untuk pertama kalinya John dan Mel sang adik bermain di tim yang sama selain Timnas Wales. Charles bertahan 3 musim di Ninian Park dengan lebih banyak bermain di pertahanan dan mencetak 18 gol dari 79 penampilan. Salah satu gol yang terus dikenang ketika memperkuat Cardiff adalah freekick spektakulernya dari jarak 75 yard.

Selanjutnya Charles yang sudah diujung karir menerima tawaran untuk menjadi player manager di Hereford United di Southern League pada tahun 1966. Charles menjalani profesi tersebut sampai 1971, ketika dia merasa dirinya tidak cocok bekerja di jajaran manajemen. Meski menikmati saat-saat melatih tim, tapi Charles merasa pekerjaan kantoran bukanlah bidangnya dan seringkali tidak tega ketika harus mengatakan langsung kepada pemain bahwa mereka tidak masuk tim.

Di usia 41 tahun, Charles sempat menjadi player manager di Merthyr Tydfil, hanya untuk sekedar memenuhi kecintaannya terhadap sepakbola. Setelah itu Charles memutuskan gantung sepatu dan kembali menjalani hidupnya yang sederhana di kota Leeds untuk menggeluti bisnis property, bar, dan juga membuka toko olahraga di Cardiff.

Meskipun semua bisnisnya gagal, kesederhanaan tidak menghalanginya untuk sering berpartisipasi atau menyumbang dalam acara charity. Charles sempat sesaat masuk ke dalam manajerial tim amatir Kanada, Hamilton Steelers pada tahun 1987 serta menjadi vice president Federasi Sepakbola Wales pada tahun 2002.

Tahun 2001, Charles mendapatkan gelar kebangsawanan Commander of the Order of the British Empire (CBE) dari kerajaan Inggris atas prestasinya di dunia sepakbola. Pada tahun yang sama Charles juga masuk dalam English Football Hall of Fame dan Italian Football Hall of Fame. Charles menerima penghargaan UEFA memberikan Jubilee Awards kepada Charles pada tahun 2003 sebagai pemain terbaik yang dimiliki Wales dalam 50 tahun terakhir.


John dan istrinya, Glenda, ketika mendapatkan penghargaan CBE

Leeds menunjukkan penghormatan kepada sang legenda yang secara rutin selalu menonton pertandingan home di Elland Road di masa tuanya. Penghormatan itu berupa dipakainya nama John Charles Stand sebagai nama baru West Stand—tribun yang dulu terbakar dan secara tidak langsung mengirim Charles hengkang ke Italia. Selain itu, Leeds memberikan nama John Charles Stadium kepada stadion tempat Leeds Reserves bertanding. Tidak hanya itu, salah satu nama jalan di dekat Elland Road juga diberi nama John Charles Way.

Charles sempat mengalami serangan jantung pada awal 2004, sesaat sebelum menjalani sesi wawancara dengan televisi di Milan pada 7 Januari. Charles dipulangkan untuk dirawat di Inggris menggunakan jet pribadi Juventus setelah sempat diketahui bahwa di kaki kanan Charles terdapat pembekuan darah yang membuatnya harus diamputasi.

Namun pada akhirnya nyawa Charles tak tertolong, dia menghembuskan nafas terakhir pada dini hari 21 Februari 2004 di Pinderfield Hospital, Wakefield, dalam usia 72 tahun. Pemakamannya dihadiri oleh rekan Charles di Italia dan Inggris termasuk tamu VIP seperti Alex Ferguson, Bobby Charlton dan Bobby Robson.

Februari ini adalah peringatan 9 tahun sejak kepergian Il Gigante Buono. Sungguh tidak beruntung kita, tidak mendapat kesempatan menyaksikan permainan unik Si Raksasa yang acapkali underrated ini. Tidak terbayangkan betapa menariknya untuk menganalisa sosok seperti Charles apabila dia bermain di era sekarang.

Sang Legenda telah tiada, meninggalkan kisah yang hanya bisa kita dengarkan dengan rasa takjub akan kemampuan dan semangat fairplay-nya baik di dalam maupun di luar lapangan. Namun segala kenangan akan skill dan kekuatan karakternya yang lurus sebagai seorang pria sejati akan selalu hidup dan dikenang sebagai salah satu yang terbaik sepanjang masa.  

John Charles di ruang ganti Elland Road pada tahun 2001, di depan jersey skuat Leeds yang berhasil menembus semifinal UCL


Rest in Peace, King John.
Long Live The Gentle Giant!

Written by Muhammad Rizqicho @rizqicho
Credit picture: Mightyleeds.co.uk, Myglyw.org.uk, Juventus.com, GettyImages




No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.