My tribute to John
Charles
Remembrance of his 9th
death anniversary
21 February 2004 – 21
February 2013
All hail The Gentle
Giant, The Real Example of Fairplay
Ketika anda
sedang bermain game sepakbola seperti Football Manager, Pro Evolution Soccer,
ataupun FIFA, pasti ada masanya ketika anda mencapai titik jenuh untuk bermain
normal dan menuruti bisikan setan untuk menciptakan pemain “sempurna” di menu
edit player. Jangkung dan kekar, unggul dalam bola atas tapi sekaligus lincah
dalam pergerakan. Pemain allround
yang tidak hanya memiliki shooting mematikan, tapi juga jitu merebut bola
dengan tackling. Sama baiknya dalam atribut menyerang dan bertahan, sehingga
skill di spider diagram-nya akan
terlihat penuh ke sampai sudut-sudut.
Anda akan terus memperhatikan bagaimana pemain sintetis tersebut menjadi pahlawan yang menghancurkan tim-tim lawan dalam tiap pertandingan. Sampai pada suatu ketika anda merasa semuanya menjadi terlalu mudah dan membosankan, anda kembali ke realita bahwa pemain sesempurna itu hanya eksis dalam dunia khayalan.
Anda akan terus memperhatikan bagaimana pemain sintetis tersebut menjadi pahlawan yang menghancurkan tim-tim lawan dalam tiap pertandingan. Sampai pada suatu ketika anda merasa semuanya menjadi terlalu mudah dan membosankan, anda kembali ke realita bahwa pemain sesempurna itu hanya eksis dalam dunia khayalan.
Tapi tahukah
anda, di sepakbola pernah memiliki satu pemain abnormal yang memiliki skill kelas
dunia dalam dua posisi, bertahan & menyerang sekaligus?
Pemain
tersebut bernama John Charles, legenda bagi Wales, Leeds United, dan juga
Juventus. Charles adalah anomali dalam
sepakbola, karena dia diakui sebagai salah satu penyerang kelas dunia sekaligus
palang pintu terbaik di jamannya. Kelihaian bermain di dua posisi yang bertolak
belakang ini menunjukkan kemampuan membaca permainan di atas rata-rata. Posturnya
yang jangkung berotot dan teknik melompat yang unik membuat Charles sulit
dikalahkan dalam duel bola atas.
Mitos yang
beredar tentang Charles ketika melakukan heading adalah dia selalu bisa
melompat lebih tinggi dari lawannya dan melakukan hang on, “melayang” di udara lebih lama layaknya adegan slow motion, memudahkannya untuk memilih
ke mana bola akan diarahkan. Headingnya juga terkenal sangat powerful, padahal bola yang dipakai saat
itu jauh lebih berat daripada sekarang dan bersifat menyerap air. Bayangkan,
dengan bola konon bisa membuat pemain linglung setelah melakukan heading itu pun
Charles pernah mencetak gol dengan sundulan dari jarak 30 yards.
![]() |
| Best header in the world |
Meskipun
begitu superior di udara, namun jangan remehkan kedua kakinya yang sama-sama
hidup, efektif dalam melakukan first
touch dan shooting. Charles juga memiliki
dribble yang lincah, kuat, dan susah dihentikan.
Kisah tak
lazim lain yang kerap terdengar adalah bahwa Charles seringkali diturunkan
sebagai penyerang di awal pertandingan untuk mencuri gol, lalu berubah posisi
menjadi pemain belakang ketika tim hendak mengamankan hasil pertandingan. Tak
heran memang, Charles mengawali karir sebagai seorang pemain bertahan sebelum
akhirnya mampu beradaptasi dengan baik di posisi penyerang.
Seperti
pengakuan Charlton lainnya, ‘John adalah 90% dari kekuatan tim. Dia mencetak
gol sekaligus menjaga pertahanan. Dia adalah bintang tim.’
Selain dua
kali menjadi topskor liga bersama Leeds United, Charles juga merupakan pemain Inggris
Raya paling sukses yang pernah merumput di Italia. Membentuk trisula maut ‘Trio Magico’ bersama dua legenda Juventus
lainnya, Omar Sivori dan Giampiero Boniperti, Charles mengantarkan Juve meraih 3 gelar scudetti
serta 2 gelar Coppa Italia hanya dalam 4 musim. Charles juga menyabet gelar capocannoniere sekaligus pemain terbaik Serie
A pada tahun pertamanya. Sebuah pencapaian yang luar biasa, mengingat begitu
banyaknya pemain asal Britania yang melempem ketika bermain di Italia.
Di Juventus
pula Charles mendapatkan julukan ‘Il
Gigante Buono’ atau ‘The
Gentle Giant’. Julukan ini berasal dari posturnya yang tinggi besar dan
juga sikapnya yang sangat sportif di lapangan. Tak sekalipun Charles
mendapatkan kartu ataupun peringatan dari wasit sepanjang karirnya, padahal dia
sempat bermain di Italia yang pada periode itu terkenal sangat kasar dan brutal.
Charles tidak
pernah terpancing emosinya untuk meladeni provokasi dan pelanggaran keras dari
pemain lawan, sebaliknya dia juga tidak pernah menggunakan keunggulan posturnya
untuk melakukan hal illegal yang berpotensi mencederai lawan. Prinsipnya permainannya
adalah "If I have to knock them down
to play well, then I don't want to play the game at all."
Contoh
nyatanya adalah kisah monumental yang terjadi dalam Derby Della Mole yang sarat emosi antara Juventus dan Torino. Sikut
Charles secara tidak sengaja menghantam defender Torino hingga terkapar, pada
saat yang sama dia sedang dalam posisi terbuka untuk membuat gol. Alih-alih
mencetak angka, Charles memutuskan untuk membuang bola untuk kemudian
memastikan pemain tersebut tidak mengalami luka serius. Setelah kejadian
tersebut, Charles yang notabene pemain Juventus mendapatkan respek tinggi dari
supporter Il Toro sang musuh
bebuyutan. Charles adalah contoh sejati bagaimana fairplay seharusnya dilakukan, jauh sebelum Paolo Di Canio dan FIFA
mengkampanyekan hal tersebut.
Mantan wasit
internasional Clive Thomas memiliki pendapat tentang sikap fairplay Charles, “Jika anda memiliki 22 pemain di lapangan dengan
karakter seperti John, maka anda tidak membutuhkan wasit. Anda hanya perlu menghitung
waktu pertandingan.”
Dengan segala
keistimewaannya tersebut, publik sepakbola Italia menghargainya sangat tinggi. Gol
flying header ikonik dari Charles ke
gawang AC Milan pada tahun 1958 masih dipakai untuk opening highlight mingguan
di televisi Italia sampai 20 tahun kemudian. Charles juga menjadi pemain asing
pertama yang masuk dalam Italian Football
Hall of Fame pada tahun 2001.
Sebuah pencapaian fenomenal mengingat Charles menyisihkan stranieri termasyhur lainnya seperti Gunnar Nordahl, Kurt Hamrin, Luis Vinicio, Jose Altafini, Falcao, Michel Platini, Marco van Basten, dan tentu saja Diego “Hand of God” Maradona. Juventus sendiri mencantumkan Charles ke dalam daftar 50 legenda yang namanya diabadikan di Juventus Stadium. Charles juga terpilih sebagai pemain asing terbaik yang pernah membela Juve dalam rangka perayaan centenary klub tersebut.
Sebuah pencapaian fenomenal mengingat Charles menyisihkan stranieri termasyhur lainnya seperti Gunnar Nordahl, Kurt Hamrin, Luis Vinicio, Jose Altafini, Falcao, Michel Platini, Marco van Basten, dan tentu saja Diego “Hand of God” Maradona. Juventus sendiri mencantumkan Charles ke dalam daftar 50 legenda yang namanya diabadikan di Juventus Stadium. Charles juga terpilih sebagai pemain asing terbaik yang pernah membela Juve dalam rangka perayaan centenary klub tersebut.
Adalah sebuah
ketidak adilan mengapa nama Charles pada era sekarang relatif jarang
dibicarakan bahkan oleh sebagian Juventini sendiri, terutama di luar Italia.
Dengan segala kelebihannya yang skill serta kepribadian yang unik, dia adalah
legenda sepakbola sesungguhnya, one of a
kind.
Pelatih
kawakan Sir Bobby Robson sendiri dalam autobiografinya melabeli Charles sebagai
pemain sepakbola terbaik sepanjang masa, setara dengan Pele, Maradona, dan
George Best. Tapi yang jelas tak ada satupun pemain yang mampu menyaingi
Charles dalam hal kepribadian, fairplay,
dan kualitas bermain di dua posisi berbeda. Siapa lagi yang bisa bermain
sebagai penyerang haus gol sekaligus palang pintu kokoh dengan level worldclass sama baiknya?
Well, jika anda mengajukan nama Franz Beckenbauer sebagai pembanding, perlu diingat bahwa Der Kaizer bermain sebagai attacking defender, tidak pernah benar-benar menjadi penyerang.
Awal
Perjalanan Sang Legenda
![]() |
| John, Mel, dan kedua orang tua mereka |
Charles
pernah memperkuat Swansea junior sebelum memilih drop-out dari sekolah pada tahun 1945. John muda memutuskan
bergabung menjadi staff lapangan bagi Swansea Town di usianya yang kelima
belas. Charles memiliki kenangan tersendiri tentang masa remajanya di Swansea.
“Pada saat
itu, kebanyakan klub merekrut pemain muda menjanjikan sebanyak yang mereka bisa
untuk dipekerjakan di lapangan. Mustahil untuk mengontrak mereka sebagai pemain
professional sebelum usia 17 tahun, jadi para youngster tersebut menghabiskan waktu melakukan pekerjaan-pekerjaan
aneh di sekitar lapangan. Mereka menyiangi lapangan, menyapu teras,
membersihkan ruang ganti, menyikat sepatu pemain senior, atau apapun yang
membuat mereka terlihat berguna.” Kenang Charles.
“Benar-benar
sebuah kerja keras, tapi untuk remaja yang memiliki minat yang tinggi pada
sepakbola, semuanya dikerjakan dengan senang hati. Pekerjaan seremeh apapun
akan terasa menyenangkan apabila membuat kita bermimpi tentang masa
depan—menjadi pemain professional yang bermain untuk Swansea dan Timnas Wales.
Aku kecewa memang karena tidak mendapat kesempatan di sana, tapi kita harus
selalu memiliki harapan untuk bisa terus berkembang.”
Charles
menghabiskan beberapa tahun di Vetch Field tanpa sekalipun mendapat tanda-tanda
kesempatan menjadi pemain. Tapi ada mata jeli dari Jack Pickard, scout Leeds
United untuk wilayah Wales, yang menyadari potensi tersia-sia di pinggir
lapangan Swansea. Secara tidak sengaja, Pickard melihat penampilan Charles saat
bermain untuk Gendros, salah satu tim junior lokal. Pickard meyakinkan kedua
orang tua Charles untuk mengijinkan anaknya dibawa ke Leeds dan menjalani
trial.
Charles
akhirnya menerima undangan untuk melakukan trial di hadapan Major Frank
Buckley, manajer Leeds United. Buckley adalah pelatih sukses yang sebelumnya
pernah menyulap Wolverhampton Wanderers dari tim pesakitan di Second Division
menjadi runner up First Division selama 2 musim beruntun.
Selain itu,
Buckley juga manajer yang sangat mengandalkan sistem scout dan pembinaan pemain
muda. Buckley merasa bahwa Charles memang layak direkrut setelah menyaksikannya
berlatih beberapa minggu. Charles dikontrak dengan biaya 10 pounds dengan gaji
6 pounds per pekan, ditambah dengan setelan jas dan mantel baru. Kontrak
tersebut menjadi awal mula perjalanan seorang legenda.
Buckley
adalah pelatih yang eksentrik, humoris, namun sangat tegas. Dia menuntut
pemainnya untuk mampu mengolah bola sama baiknya di kedua kaki dan juga
mengharuskan pemainnya versatile,
bisa dimainkan di beberapa posisi yang berbeda. Pada awal kedatangannya di Leeds
Reserves, Charles menempati posisi left half pada formasi W-M yang saat itu
lazim digunakan di Inggris.
Pada perkembangannya, Buckley mencoba menempatkan Charles pada posisi right half, kemudian ke posisi center half. Di posisi terakhir inilah Charles menjalani debut, yang di era modern posisi center half bisa disamakan dengan posisi bek tengah dalam formasi 3 bek.
Pada perkembangannya, Buckley mencoba menempatkan Charles pada posisi right half, kemudian ke posisi center half. Di posisi terakhir inilah Charles menjalani debut, yang di era modern posisi center half bisa disamakan dengan posisi bek tengah dalam formasi 3 bek.
Dalam
beberapa bulan pertama, Charles mengalami perkembangan pesat. Tubuhnya yang
tinggi menjadi semakin kokoh berotot berkat latihan keras. “Pada saat itu, aku
telah belajar banyak. Tinggiku telah melebihi 6 kaki dengan bobot mencapai 13
stone. Aku bisa menggunakan kedua kakiku sama baiknya dan telah menguasai
teknik tackling serta penempatan posisi. Pertandingan debut adalah titik balik
dalam karirku. Bukan hanya karena penampilanku memuaskan, tapi aku juga
menikmati posisi naturalku sebagai center half daripada wing half ataupun full
back.”
Debut
Professional Center Half Muda
![]() |
| John Charles di Skuat Leeds 1949-50 |
Pada 19 April
1949 Leeds menyusun pertandingan uji coba melawan klub Queen of The South, klub
papan atas Liga Skotlandia yang diperkuat oleh Billy Houliston, center forward
yang baru saja mengantarkan Skotlandia menghancurkan Inggris 3-1 di Wembley.
Pada pertandingan tersebut Houliston dengan kekuatan fisiknya mempecundangi
center half terbaik Inggris, Neil Franklin.
Leeds sendiri pada saat itu kehilangan center half veteran Tom Holley yang mengalami cedera, sehingga Buckley memberi kesempatan kepada Charles untuk turun dalam pertandingan debutnya. Debut yang tidak mudah untuk seorang pemuda 17 tahun, menjadi center half yang berhadapan langsung dengan Houliston yang sedang menjadi buah bibir di Inggris Raya.
Leeds sendiri pada saat itu kehilangan center half veteran Tom Holley yang mengalami cedera, sehingga Buckley memberi kesempatan kepada Charles untuk turun dalam pertandingan debutnya. Debut yang tidak mudah untuk seorang pemuda 17 tahun, menjadi center half yang berhadapan langsung dengan Houliston yang sedang menjadi buah bibir di Inggris Raya.
Namun debut
tersebut ternyata berakhir luar biasa bagi Charles. Houliston dibuatnya tak
berkutik dalam pertandingan yang berakhir tanpa gol tersebut. Seusai
pertandingan, Houliston menyebut Charles sebagai “'The best center half I have ever met”. Charles yang masih minim
pengalaman mampu dengan tenang mengunci Houliston yang terkenal memiliki gaya
main brutal.
Kematangan taktik dan teknik di usia yang sedemikian muda membuat Charles mulai diperhitungkan sebagai The Next Big Thing di posisi center half. Charles melakoni debut di pertandingan resminya seminggu kemudian, menghadapi Blackburn di pertandingan Second Division, yang lagi-lagi dilaluinya dengan gemilang. Posisi inti di Leeds United telah menjadi miliknya sejak saat itu.
Kematangan taktik dan teknik di usia yang sedemikian muda membuat Charles mulai diperhitungkan sebagai The Next Big Thing di posisi center half. Charles melakoni debut di pertandingan resminya seminggu kemudian, menghadapi Blackburn di pertandingan Second Division, yang lagi-lagi dilaluinya dengan gemilang. Posisi inti di Leeds United telah menjadi miliknya sejak saat itu.
Karir Charles berjalan baik di musim selanjutnya. Dia tidak pernah cedera dan selalu bermain sepanjang musim 1949/1950, mengantarkan Leeds finis di posisi kelima. Pencapaian Leeds termasuk menghentikan rekor unbeaten Tottenham Hotspur dalam 22 pertandingan dengan skor 3-0. Charles tetap bermain solid sebagai center half di musim selanjutnya walau sempat menjalani debut kurang mengenakkan di TImnas Wales. DIa kembali mengantarkan Leeds menduduki posisi lima di musim 1950/1951, walau lagi-lagi belum mampu meraih promosi. Namun, kejutan terbesar dari seorang John Charles baru akan terjadi di akhir musim.
Evolusi
Menjadi Predator
Menjelang
pertandingan melawan Manchester City, Leeds dilanda badai cedera. Tak kurang
dua center forward sekaligus terpaksa absen, membuat Buckley harus memutar otak
untuk menemukan pengganti. Di luar dugaan, Charles lah yang dipilih Buckley
untuk menempati posisi tersebut. Pada pertandingan debut sebagai center forward
tersebut, Charles bermain lumayan dalam adaptasinya sebagai penyerang walau
Leeds dihajar 1-4.
Buckley yang
penasaran kembali menurunkan Charles sebagai Center Forward di pertandingan
selanjutnya melawan Hull City. Walau kurang percaya diri, Charles mampu
memenangkan perjudian yang dilakukan Buckley dan melesakkan 2 gol dengan sangat
impresif.
Pergerakan Charles yang berbeda dengan tipikal center forward kebanyakan membuatnya sulit dijaga, terutama dominasinya dalam bola atas. Dengan intelegensi yang diasahnya semasa menjadi center half, Charles mampu menemukan posisi yang tepat untuk mendapat bola dan mengacaukan pertahanan lawan. Nama Charles mulai diperhitungkan sebagai center forward yang diwaspadai.
Pergerakan Charles yang berbeda dengan tipikal center forward kebanyakan membuatnya sulit dijaga, terutama dominasinya dalam bola atas. Dengan intelegensi yang diasahnya semasa menjadi center half, Charles mampu menemukan posisi yang tepat untuk mendapat bola dan mengacaukan pertahanan lawan. Nama Charles mulai diperhitungkan sebagai center forward yang diwaspadai.
Pada tahun 1952, Charles harus menjalani operasi tulang rawan di kedua lututnya. Operasi membuatnya absen di sebagian besar musim 1951/1952. Ketika dia kembali bermain di separuh musim terakhir, Buckley memutuskan Charles lebih dibutuhkan di posisi center half. Charles baru kembali mengenakan jersey nomor 9—nomor seorang center forward—pada tiga pertandingan terakhir di musim tersebut, tanpa mencetak gol. Meski begitu Buckley tetap memiliki pandangan bahwa Charles akan memberikan suatu dampak yang signifikan di posisi center forward, kepercayaan yang terbayar lunas di musim selanjutnya.
Di awal musim 1952-1953, Charles tetap dipercaya untuk menjadi palang pintu Leeds. Di usianya yang ke-21, dia sudah semakin matang dan kehadirannya semakin penting di lini pertahanan. Walau begitu, Buckley masih menyimpan rasa penasarannya untuk terus berjudi menjadikan Charles sebagai seorang center forward.
Pada pertandingan melawan Halifax Town di bulan Oktober, Buckley akhirnya tak kuasa menahan rasa gatal di otaknya dan kembali melempar Charles ke lini depan. Hasilnya manjur, Charles menjadi penentu kemenangan 2-1 di pertandingan tersebut. Buckley semakin yakin bahwa perjudiannya ini berhasil dan akhirnya Charles mengenakan jersey nomor 9 sampai akhir musim, hampir seluruhnya dilalui dengan performa gemilang.
![]() |
| Charles menjadi buah bibir setelah berpindah posisi menjadi center forward |
Dick Ulyatt,
jurnalis dari Yorkshire Post, memiliki opini menarik setelah melihat Charles
memimpin Leeds menghancurkan Brentford di bulan November. “Bermain sebagai
center forward melawan Brentford di hari sabtu, Charles membuktikan semua
pujian yang diberikan kepadanya. Dia melakukan lebih dari yang diharapkan dan
menjadi penentu kemenangan. Itu adalah hattricknya yang kedua bulan ini dan gol
ke 11 dari 13 pertandingan sejak melawan Halifax. Dia memecahkan rekor dengan
mencetak 10 gol beruntun dari Leeds.”
“Akan menjadi
perdebatan apakah dia lebih baik bermain di posisi center forward atau center
half. Beberapa orang mengatakan dia terlalu besar, terlalu kaku, dan tidak
cukup determinasi dalam perebutan bola. Namun lihatlah tiga gol yang dicetaknya
hari ini semuanya spektakuler, tidak ada yang mampu menirunya terutama di
lapangan bersalju ini. Ini adalah one man
show, tanpa Charles saya ragu Leeds akan menang.”
Charles mengakhiri musim dengan mencetak 26 gol di liga, sebuah pencapaian gila untuk ukuran penyerang dadakan. Namun pindahnya Charles ke lini depan membuat pertahanan Leeds mengalami penurunan kualitas, The Peacock hanya bercokol di posisi 10 klasemen akhir, memaksa Buckley untuk mundur dari jabatan manajer. Kehilangan mentor yang telah berjasa besar dalam karirnya tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Charles. Beruntung bagi Charles, pengganti Buckley ternyata orang yang menyadari potensi besar dari sang bintang muda yang belum tereksplor sepenuhnya.
Topskor
Second Division Serta Promosi Leeds United
Pengganti Buckley adalah
Raich Carter, mantan inside forward Timnas Inggris.Sebagai mantan penyerang,
Carter memahami kualitas yang dimiliki Charles dan berniat membangun Leeds
dengan Charles sebagai inti permainan. Selain itu, Carter sering mengajak
Charles mengikuti pertandingan amal dan bertemu pemain top Inggris seperti Tom
Finney dan Stanley Matthews. Kedua legenda tersebut memberikan transfer ilmu
berharga kepada Charles tentang apa yang harus dilakukannya sebagai penyerang,
bagaimana membaca permainan, dan kemana harus berlari untuk menciptakan
kekacauan.
Dengan segala keistimewaan yang diberikan Carter tersebut, ketajaman Charles meledak. Dia mengamuk dan membenamkan empat gol di laga pembuka liga melawan Notts County, disusul hattrick ke gawang Rotherham tiga hari kemudian.
Kebuasan Charles berlanjut di sepanjang musim, menebar teror nyata bagi penjaga gawang lawan. Diakhir musim 1953/1954, Charles keluar sebagai topskor liga, menjaringkan 42 gol hanya dalam 39 penampilan! Sebuah performa yang sungguh mengerikan. Namun lagi-lagi moncernya Charles di lini depan membuat Leeds kehilangan ketangguhan di lini belakang. Mereka hanya finish di posisi sepuluh klasemen akhir.
Dengan segala keistimewaan yang diberikan Carter tersebut, ketajaman Charles meledak. Dia mengamuk dan membenamkan empat gol di laga pembuka liga melawan Notts County, disusul hattrick ke gawang Rotherham tiga hari kemudian.
Kebuasan Charles berlanjut di sepanjang musim, menebar teror nyata bagi penjaga gawang lawan. Diakhir musim 1953/1954, Charles keluar sebagai topskor liga, menjaringkan 42 gol hanya dalam 39 penampilan! Sebuah performa yang sungguh mengerikan. Namun lagi-lagi moncernya Charles di lini depan membuat Leeds kehilangan ketangguhan di lini belakang. Mereka hanya finish di posisi sepuluh klasemen akhir.
Sebagai seorang pemain top di Inggris Raya yang belum pernah bermain di kasta tertinggi, tentu Charles menjadi komoditi panas bagi media. Chairman Sam Bolton mati-matian membentengi Charles dari godaan tim lain, walau kondisi keuangan Leeds sendiri sedang tidak begitu bagus. Pada akhirnya, Charles berhasil dipertahankan di akhir musim.
Musim
1954/1955 berjalan tidak terlalu baik bagi Charles, Leeds mengalami paceklik
kemenangan. Kebobolan 15 gol hanya di 5 pertandingan awal membuat Charles
kembali dimainkan di posisi center half untuk mengatasi kebocoran lini
belakang. Hal ini membuat Charles gundah dan mengajukan transfer request.
Beberapa tiim First Division seperti Cardiff City, Arsenal, dan Chelsea telah mengajukan
tawaran.
Namun manajemen
Leeds bersikeras menolak untuk mentransfer Charles ke tim lain, berapapun
tawaran yang diajukan. Charles kecewa dengan keputusan ini, namun di sinilah
kehebatan karakternya muncul. Menepikan rasa kecewanya, dia tetap bermain
sepenuh hati dan memimpin Leeds dengan pelan tapi pasti memperbaiki posisi.
Charles bahkan ditunjuk sebagai kapten tim menggantikan Tommy Burden yang telah lama menjadi skipper. Di akhir musim, Leeds hanya sedikit kurang beruntung finish di posisi empat, berselisih satu poin dari tim yang meraih promosi.
Charles bahkan ditunjuk sebagai kapten tim menggantikan Tommy Burden yang telah lama menjadi skipper. Di akhir musim, Leeds hanya sedikit kurang beruntung finish di posisi empat, berselisih satu poin dari tim yang meraih promosi.
Fakta bahwa mereka
nyaris promosi membuat seluruh komponen Leeds United lebih serius mempersiapkan
diri di musim selanjutnya. Meskipun Charles tetap menyimpan potensi berbahaya
jika diturunkan sebagai penyerang, namun Carter yang lebih berhati-hati dalam
hal taktik daripada Buckley melihat Charles lebih dibutuhkan di lini pertahanan
Leeds yang masih cukup rapuh. Leeds mengawali musim 1955/1956 dengan kurang
meyakinkan.
Setelah
beberapa pertandingan, muncul sosok center half muda menjanjikan pada diri Jack
Charlton, yang kelak juga menjadi legenda The
Whites. Kehadiran Charlton membuat Charles digeser ke posisi right half
yang biasa ditempatinya di awal karir. Posisi ini memungkinkan Charles untuk
lebih terlibat dalam penyerangan, terbukti walau bukan menjadi ujung tombak
penyerangan tapi Charles mulai rutin kembali mencetak gol demi gol. Leeds mulai menemukan performanya dan bersaing dengan Sheffield Wednesday di puncak
klasemen.
Mendekati
akhir kompetisi, Carter semakin yakin untuk menggeser Charles kembali ke lini
penyerangan, baik sebagai inside forward maupun center forward. Gol demi gol
terus lahir dari kaki dan kepala Charles, termasuk pertandingan bersejarah
melawan Sheffield Wednesday yang disebut-sebut sebagai pertandingan terbaik
Charles selama memperkuat Leeds. Charles tampil heroik dengan mencetak gol
keunggulan Leeds sebelum turun ke lini pertahanan di sisa pertandingan untuk
menjaga keunggulan.
Di pekan penentuan,
Leeds akan menghadapi Hull City dalam pertandingan tandang. Lebih dari 15 ribu
fans berangkat ke Boothferry Park untuk menyaksikan pertandingan yang menjadi
pertaruhan tiket promosi tersebut. Charles membuka keunggulan terlebih dahulu
sebelum Hull menyamakan kedudukan.
Ketegangan mulai terasa sampai akhirnya setengah jam sebelum pertandingan berakhir, Leeds mendapat hadiah penalti. Charles yang mendapatkan beban berat untuk menjadi eksekutor berhasil menyarangkan golnya yang ke 29 musim itu, lagi-lagi merupakan jumlah yang sangat tinggi mengingat dia baru diposisikan sebagai penyerang di pertengahan musim. Leeds mengunci tiket promosi di kandang Hull, dan akhirnya Charles akan merasakan atmosfer pertandingan di kasta tertinggi seperti yang telah lama diimpikannya.
Ketegangan mulai terasa sampai akhirnya setengah jam sebelum pertandingan berakhir, Leeds mendapat hadiah penalti. Charles yang mendapatkan beban berat untuk menjadi eksekutor berhasil menyarangkan golnya yang ke 29 musim itu, lagi-lagi merupakan jumlah yang sangat tinggi mengingat dia baru diposisikan sebagai penyerang di pertengahan musim. Leeds mengunci tiket promosi di kandang Hull, dan akhirnya Charles akan merasakan atmosfer pertandingan di kasta tertinggi seperti yang telah lama diimpikannya.
Topskor
First Division & Tragedi Kebakaran Elland Road
Menyambut
musim selanjutnya, banyak media yang memprediksikan bahwa Charles akan kesulitan
bermain di First Division, mereka merujuk fakta bahwa Charles dulu kesulitan
beradaptasi ketika pertama kali memperkuat Timnas Wales. Banyak yang meragukan
kemampuan Charles dan Leeds United untuk bersaing di level teratas.
Di luar dugaan, Leeds mampu tampil meyakinkan. Begitu juga Charles, yang oleh Carter dipercaya untuk mengisi posisi center forward lagi. Membentuk trisula lini serang yang cair bersama Bob Forrest dan Harold Brook, Charles menyarangkan gol demi gol dan membawa Leeds sempat duduk di posisi kedua di bulan September, hanya satu poin di belakang “Busby Babes” Manchester United yang legendaris.
Di luar dugaan, Leeds mampu tampil meyakinkan. Begitu juga Charles, yang oleh Carter dipercaya untuk mengisi posisi center forward lagi. Membentuk trisula lini serang yang cair bersama Bob Forrest dan Harold Brook, Charles menyarangkan gol demi gol dan membawa Leeds sempat duduk di posisi kedua di bulan September, hanya satu poin di belakang “Busby Babes” Manchester United yang legendaris.
Namun pada
awal September, terjadi musibah yang tidak disangka-sangka. Stadion kebanggaan
Leeds, Elland Road, mengalami kebakaran. Api menjalar dari West Stand dan
menimbulkan kerusakan di sebagian besar struktur stadion. Leeds kehilangan
kantor, stok jersey, lemari penghargaan, peralatan phisioterapi, ruang ganti,
ruangan direktur, generator, dan juga ruang press.
Kerugian ditaksir mencapai 100 ribu pounds, terlalu besar untuk dikompensasi oleh asuransi klub. Musibah inilah yang secara moril dan materiil mempengaruhi perjalanan Leeds United di sisa musim, dan pada puncaknya memaksa mereka untuk menjual pemain bintang termasuk Charles demi stabilitas keuangan.
Kerugian ditaksir mencapai 100 ribu pounds, terlalu besar untuk dikompensasi oleh asuransi klub. Musibah inilah yang secara moril dan materiil mempengaruhi perjalanan Leeds United di sisa musim, dan pada puncaknya memaksa mereka untuk menjual pemain bintang termasuk Charles demi stabilitas keuangan.
Usai insiden
kebakaran Elland Road, Leeds mulai dihinggapi inkonsistensi. Mereka tergelincir
jauh dari papan atas dan pada mengakhiri musim di peringkat delapan, meskipun
hasil tersebut bukanlah pencapaian yang buruk untuk tim yang baru promosi.
Lebih fenomenal lagi, John Charles menyabet gelar topskor First Division musim
itu dengan torehan 38 gol, atau lebih dari separuh jumlah gol yang dilesakkan
Leeds sepanjang musim!
Menjadi topskor di musim pertamanya bermain di top flight membuktikan kaliber Charles sebagai seorang penyerang handal. Kecuali Preston North End, seluruh lawan Leeds di First Division telah merasakan keganasan Charles. Yang paling parah adalah Sheffield Wednesday, menerima gelontoran hattrick dari Charles baik di pertandingan home maupun away. Total Charles mencetak 11 hattrick bagi Leeds United. Begitu dominannya peranan Charles, Leeds sampai mendapat julukan ‘John Charles United’—julukan yang dibenci oleh Charles.
Menjadi topskor di musim pertamanya bermain di top flight membuktikan kaliber Charles sebagai seorang penyerang handal. Kecuali Preston North End, seluruh lawan Leeds di First Division telah merasakan keganasan Charles. Yang paling parah adalah Sheffield Wednesday, menerima gelontoran hattrick dari Charles baik di pertandingan home maupun away. Total Charles mencetak 11 hattrick bagi Leeds United. Begitu dominannya peranan Charles, Leeds sampai mendapat julukan ‘John Charles United’—julukan yang dibenci oleh Charles.
Charles menjalani farewell match dengan publik Elland Road pada pertandingan terakhir
musim itu melawan Sunderland, di mana dia mencetak 2 gol termasuk satu gol
spektakuler yang dicetaknya dari jarak 30 yards. Usai pertandingan, ratusan
fans mengejar Charles demi tanda tangan perpisahan.
Selesai sudah kebersamaan Charles dan Leeds United selama hampir satu dekade. Yang terjadi kemudian adalah: Juventus mendapatkan pemain berkualitas, Leeds menerima dana yang cukup banyak untuk membenahi masalah finansialnya, dan Charles akan memulai periode terbaik dalam hidupnya di Italia.
Lahirnya
Juventus Il Gigante Buono
![]() |
| Menjadi headline maker ketika pindah ke Juventus |
John Charles adalah
salah satu talenta terbaik di eranya yang telah memikat banyak klub di seantero
Eropa. Cukup mengherankan mengetahui bahwa dia bertahan di Leeds United yang
bermain di Second Division sampai dia berusia 25 tahun dan baru merasakan
atmosfer level tertinggi ketika dia membawa Leeds promosi ke First Division.
Rumor transfer selalu
menyertainya hampir di setiap pergantian musim, hanya untuk disangkal oleh
jajaran manajemen Leeds. Namun semuanya berubah usai tragedi kebakaran Elland
Road, pada saat itulah Charles diputuskan untuk dijual dengan harga yang mahal
untuk menutup kerugian klub. Walau begitu, Leeds memiliki kebijakan khusus
dengan hanya akan menjual Charles ke Eropa daratan, tidak ke sesama klub
Inggris Raya. Real Madrid dan Lazio sempat mengajukan tawaran, namun pada
akhirnya ke Juventus lah Charles dijual.
Salah satu yang berperan
atas kepindahan Charles ke Juventus adalah Luigi “Gigi” Peronace, seorang agen
asal Italia. Peronace adalah fans Lazio yang pernah bekerja sebagai penerjemah
di Juventus bagi dua pelatih Bianconeri asal Inggris Raya,
William Chalmers dan Jesse Carver.
Peronace memiliki spesialisasi menangani transfer pemain Inggris dari dan ke Italia, terutama yang bernilai besar. Sebut saja Jimmy Greaves ke AC Milan, Joe Baker & Dennis Law ke Torino, serta Liam Brady ke Juventus. Peronace yang sering disebut sebagai "first real agent in England" mendatangi Charles secara langsung ke rumah, pendekatan yang berbeda dengan para scout yang kebanyakan mendatangi incarannya di lapangan.
Transfer Charles
direalisasikan di Queens Hotel Leeds, dengan dihadiri Direktur Bolton &
Westwood serta Presiden Juventus, Umberto Agnelli. Nilai transfer sebesar 65
ribu pounds yang disepakati sekaligus memecahkan rekor transfer di Inggris.
Kontraknya sendiri konon menyentuh angka 10 ribu pounds, dengan bonus per
pertandingan yang bervariasi di kisaran ratusan pounds.
Begitu tiba di Italia, 2
ribu supporter Juve menyambutnya dan meneriakkan “Ecco il nostro salvatore!”
yang berarti “here comes, our savior!”
Pada saat itu, Juventus
tengah membangun ulang kekuatannya yang sedang compang-camping. 5 tahun tanpa
scudetto, termasuk 2 musim terakhir mati-matian menghindari degradasi, adalah
sebuah aib besar bagi tim sebesar Juventus. Oleh karena itulah Presiden Agnelli
memutuskan untuk melakukan gebrakan besar di bursa transfer, terutama di lini
depan. Selain Charles, Juve juga mendaratkan Omar Sivori dari River Plate.
Sivori sendiri bukan
penyerang sembarangan, di terkenal memiliki naluri gol yang tinggi dan juga
dianggap sebagai pemain Argentina dengan dribble terbaik sebelum Maradona.
Kehadiran dua striker asing dengan tinggi badan yang kontras tersebut (Sivori 5
feet 4 inch, Charles 6 feet 2 inch) semakin komplit dengan keberadaan Giampiero
Boniperti, pemegang rekor gol terbanyak sepanjang sejarah Juventus—sebelum
dipecahkan oleh Alessandro Del Piero 4 dekade kemudian. Juve juga membenahi
sektor lain dengan mendatangkan penyerang sayap Bruno Nicolè, kiper tangguh
Carlo Mattrel, dan memulangkan kembali jangkar raksasa Rino Ferrario.
![]() |
| “Ecco il nostro salvatore!” |
Satu kejadian konyol
lainnya adalah ketika Charles pertama kali datang ke tempat latihan mengendarai
mobil Citroen yang baru dibelinya. Tidak ada masalah dengan hal ini, kecuali
kenyataan bahwa keluarga Agnelli yang menjadi menguasai Juve adalah juga
pemilik dari pabrikan mobil Fiat. Seandainya Charles tahu bahwa setiap pemain
Juve mendapatkan mobil Fiat gratis…
Media Inggris sendiri
banyak yang pesimis dengan kelangsungan karir Charles di Italia, karena pada
saat itu Italia adalah ‘neraka’ bagi para penyerang. Sepakbola Italia menganut
paham ultra defensif dengan tumpukan berlapis pemain belakang, memainkan 8
defender sekaligus bukan hal yang aneh di Italia.
Selain itu, banyak pihak
yang meragukan apakah Charles dengan sportifitasnya bisa survive di Italia yang
gemar bermain licik dan memiliki wasit yang lebih tidak toleran. Charles
sendiri mengakui bahwa dia kesulitan menghadapi wasit-wasit Italia yang
cenderung memihak tuan rumah, presiden klub memberikan ‘hadiah Natal’ kepada
para pengadil adalah sebuah hal yang lumrah. Begitu juga diving dan tarikan
kaus yang dipandang negatif di Inggris justru sudah menjadi seni tersendiri di
Italia.
Charles memiliki pandangan bijak mengenai perbedaan ini, “The continentals will have to accept that soccer is a man's game, but the British have to accept that soccer is an art.”
Publik Italia ternyata
justru terkesan dengan prinsip gentle Charles. Sikap fairplay pada Derby
Della Mole pertamanya—yang telah diceritakan di awal artikel—telah
memikat hati supporter Torino dan seluruh Italia. Bukti nyata keakraban Charles
dengan supporter Torino adalah ketika dalam derby lainnya Juve takluk 2-3 dan
Charles gagal mengeksekusi penalty. Pada pukul 3 dini hari keesokan, supporter
Torino berkonvoi di sekitar kediaman Charles dan membuatnya terbangun.
Alih-alih mengusir
mereka atau memanggil polisi, Charles justru mengundang mereka masuk ke
rumahnya untuk minum wine bersama, mengobrol hangat sambil sesekali para
supporter tersebut bergurau dengan mengajak Charles meninggalkan Juve dan
bergabung dengan Torino. Julukan Juventus Il Gigante Buono pun
semakin melekat pada diri Charles.
Charles juga menjadi
idola bagi supporter Juventus. Meskipun mereka memiliki Boniperti dan Sivori yang
juga rutin mencetak angka, tapi Charles lah yang paling sering dipeluk secara
massal oleh para supporter usai membuat gol. Bahkan ketika John dan istrinya
Glenda menjadi tamu kehormatan di Delle Alpi pada tahun 2001, seluruh stadion
memberikan standing applaus yang luar biasa meriah. Keduanya juga menerima
album foto istimewa berisi rekam jejak Charles di Juventus, membuat mereka
terharu berlinang air mata.
Kesuksesan Charles
beradaptasi dengan mudah di Italia adalah karena dia mau membaurkan diri ke
dalam budaya Italia. Charles membeli saham dari sebuah rumah makan di kota
Turin bersama Sivori dan membuat dirinya nyaman untuk belajar bahasa Italia,
dengan tetap memegang batasan bahwa dia tetaplah orang asing. Kerendahan hati
ini pada akhirnya tidak hanya membuat supporter Juventus, tapi juga masyarakat
Turin menerima kehadiran Charles dengan hangat.
![]() |
| Unstoppable Gigante Buono, with Sivori behind him |
Faktor kesuksesan adaptasi inilah
yang menjadi pembeda antara Charles dengan pemain asal Inggris Raya lainnya
yang mengikuti arus eksodus ke Italia pada dekade ’50-‘60an. Sejumlah pemain
yang mengikuti jejak Charles dengan hijrah dari inggris ke Italia pada saat itu
diantaranya adalah Jimmy Greaves, Dennis Law, Joe Baker, dan Gerry
Hitchens.
Kecuali Hitchens, semuanya hanya bertahan semusim di Italia karena gagal beradaptasi dengan kehidupan maupun sepakbola Italia. Hitchens sendiri walaupun hampir satu dekade bermain di Italia, namun gelar yang diraihnya hanya 1 scudetto bersama Inter, jauh jika dibandingkan dengan pencapaian Charles. Lusinan pemain asal Inggris Raya lainnya mencoba peruntungan di Italia sampai saat ini, tapi hampir semuanya gagal beradaptasi dan memilih pulang hanya dalam seumur jagung. Sebut saja Ian Rush dan Luther Blisset sebagai contoh paling buruk.
Charles menjalin persahabatan yang erat dengan Sivori sebagai sesama pemain perantauan yang datang bersamaan. Mereka saling menguatkan diri ketika homesick sedang melanda. Selain kolaborasi bisnis restoran, mereka juga pernah membuat film dan memproduksi album rekaman bersama. Persahabatan yang unik mengingat tinggi badan, tipe permainan, dan tempramen keduanya yang sangat bertolak belakang.
Ada sebuah kisah unik mengenai Charles dan Sivori. Pada sebuah pertandingan away, Sivori menerima ancaman dari mafia lokal bahwa dia akan ditembak apabila mencetak gol. Si Kecil asal Argentina ini pun bermain dengan hati-hati, namun sialnya dia tidak sengaja mencetak gol ketika sebuah bola liar mengenai bagian belakang kepalanya dan berbelok masuk ke gawang lawan.
Alih-alih merayakan gol tersebut, Charles dan pemain Juventus lainnya segera membentuk barikade untuk melindungi Sivori yang serta merta berlari ke ruang ganti, khawatir ada sniper yang menembaknya. Setelah Sivori aman, pertandingan dilanjutkan dan Charles berhasil mencetak gol. Anehnya, tanpa alasan yang jelas gol tersebut tidak disahkan oleh wasit. Saat Charles menanyakan mengapa golnya dianulir, wasit tersebut mengeluarkan jawaban yang mengiris hati tapi sekaligus jenaka:
“Seperti Mr. Sivori, saya juga ingin pulang dengan selamat.”
Kecuali Hitchens, semuanya hanya bertahan semusim di Italia karena gagal beradaptasi dengan kehidupan maupun sepakbola Italia. Hitchens sendiri walaupun hampir satu dekade bermain di Italia, namun gelar yang diraihnya hanya 1 scudetto bersama Inter, jauh jika dibandingkan dengan pencapaian Charles. Lusinan pemain asal Inggris Raya lainnya mencoba peruntungan di Italia sampai saat ini, tapi hampir semuanya gagal beradaptasi dan memilih pulang hanya dalam seumur jagung. Sebut saja Ian Rush dan Luther Blisset sebagai contoh paling buruk.
Charles menjalin persahabatan yang erat dengan Sivori sebagai sesama pemain perantauan yang datang bersamaan. Mereka saling menguatkan diri ketika homesick sedang melanda. Selain kolaborasi bisnis restoran, mereka juga pernah membuat film dan memproduksi album rekaman bersama. Persahabatan yang unik mengingat tinggi badan, tipe permainan, dan tempramen keduanya yang sangat bertolak belakang.
Ada sebuah kisah unik mengenai Charles dan Sivori. Pada sebuah pertandingan away, Sivori menerima ancaman dari mafia lokal bahwa dia akan ditembak apabila mencetak gol. Si Kecil asal Argentina ini pun bermain dengan hati-hati, namun sialnya dia tidak sengaja mencetak gol ketika sebuah bola liar mengenai bagian belakang kepalanya dan berbelok masuk ke gawang lawan.
Alih-alih merayakan gol tersebut, Charles dan pemain Juventus lainnya segera membentuk barikade untuk melindungi Sivori yang serta merta berlari ke ruang ganti, khawatir ada sniper yang menembaknya. Setelah Sivori aman, pertandingan dilanjutkan dan Charles berhasil mencetak gol. Anehnya, tanpa alasan yang jelas gol tersebut tidak disahkan oleh wasit. Saat Charles menanyakan mengapa golnya dianulir, wasit tersebut mengeluarkan jawaban yang mengiris hati tapi sekaligus jenaka:
“Seperti Mr. Sivori, saya juga ingin pulang dengan selamat.”
Kesuksesan
Bersama Trio Magico
Meskipun menjalani proses
adaptasi yang tidak mudah, namun performa Charles di atas lapangan sangat luar
biasa. Charles melalui 3 pertandingan pertamanya dengan selalu mencetak gol
penentu kemenangan saat lawan Verona, Udinese, dan Genoa. Charles membuktikan
bahwa Juventus tidak salah mendatangkannya dengan harga mahal dengan gol demi
gol yang ditorehkannya sepanjang musim, termasuk tiga buah hattrick saat
melawan Atalanta, Sampdoria, dan Lazio.
Meskipun baru semusim bermain di kompetisi yang terkenal sangat defensif,
Charles mengejutkan semua pengamat dengan torehan 28 gol yang mengukuhkannya
menjadi capocannoniere sekaligus pemain terbaik Serie A tahun 1958.
Kegemilangan musim perdana Charles semakin lengkap dengan gelar scudetto ke-10
yang diraih oleh Juventus, bintang emas pertama bagi La Vecchia Signora.
Musim selanjutnya, Charles
mengantarkan Juve meraih gelar Coppa Italia setelah mengandaskan Inter Milan di
final yang diadakan di Giuseppe Meazza. Charles mencetak satu gol dalam
pertandingan tersebut. Namun Juve gagal meraih double winner setelah
mengalami serangkaian hasil buruk di liga, gelar juara jatuh ke tangan AC Milan.
Target gelar ganda baru tercapai pada musim 1959/1960. Di bawah
asuhan pelatih baru Renato Cesarini, Juve merebut kembali gelar liga. Charles
dan Sivori total mencetak 50 gol musim itu, menyamai torehan di musim pertama
mereka.
Charles juga mencetak salah satu gol kemenangan Juventus atas Fiorentina di
final Coppa Italia lewat proses yang unik. Dia mengontrol sebuah crossing dan
melakukan juggling dengan kepala layaknya singa laut dalam sebuah pertunjukan
sirkus, sambil melewati kiper lawan yang tak bisa berbuat apa-apa untuk
menjangkau bola. Di akhir tahun, John Charles masuk sebagai nominasi
peraih Ballon d’Or namun harus puas berada di posisi ketiga di belakang duo
Real Madrid, Alfredo Di Stefano dan Raymond Kopa.
Gelar juara Serie A masih bisa dipertahankan di musim selanjutnya,
kali ini dengan susah payah setelah melalui persaingan sengit dengan Inter
Milan yang saat itu dilatih oleh sang maestro catenaccio Helenio
Herrera dan AC Milan yang diperkuat oleh Altafini. Persaingan berlangsung seru
sampai pekan-pekan terakhir.
Juventus mengalahkan Inter 9-1 dan Sivori mencetak 6 gol dalam pertandingan
terakhir, saat itu Inter melakukan protes dengan menurunkan pemain muda akibat
ditolaknya kemenangan otomatis setelah laga terhenti akibat invasi supporter di
Stadion Comunale. Charles hanya mencetak 15 gol musim itu, menandai gelar
terakhir yang diberikannya kepada Juventus. 3 scudetti dan 2 Coppa Italia dalam
4 tahun, pencapaian yang luar biasa.
![]() |
| Trio Magico, the best tridente Juve ever had |
Lebih dari sekedar gelar, Charles
bersama Sivori dan Boniperti juga menorehkan nama mereka sebagai kombinasi
serangan paling mematikan sepanjang masa di Juventus, atau bahkan Italia.
Suporter memberi mereka nama Trio Magico atau Magical
Trio.
Charles adalah seorang target man, menara penghancur di lini depan yang bisa menjadi finisher ataupun pemantul bola dengan kesempurnaannya pada duel bola atas. Sivori mampu merobek pertahanan lawan dengan dribble mautnya yang menarik beberapa defender sekaligus dan juga bisa mencetak gol dengan cara yang tidak lazim. Boniperti bermain sedikit ke belakang, menjadi playmaking forward yang walaupun tidak mencetak gol sebanyak kedua rekannya, tapi visinya dalam menemukan ruang kosong sangat sulit diantisipasi. Selama 4 musim, Trio Magico total menyumbangkan 203 gol bagi Juventus hanya di ajang liga saja. Kombinasi dari gol Boniperti (8-8-7-6), Charles (28-19-23-15), dan Sivori (22-15-27-25).
Hal ini menandai berakhirnya era Trio Magico, karena Boniperti sudah memutuskan untuk gantung sepatu pada setahun sebelumnya. Sivori sendiri meraih gelar Ballon d’Or 1961 dan bertahan beberapa musim di Juve sebelum akhirnya pindah ke Napoli. Bubarnya Trio Magico juga membawa La Vecchia Signora kembali ke era paceklik gelar dengan 5 musim tak memenangkan apapun.
Charles dikenang sebagai sebagai salah satu penyerang 'terbesar' yang pernah dimiliki Juventus, baik secara kiasan maupun arti harfiah. Tidak hanya postur, tapi juga kekuatan fisiknya dalam menembus pertahanan lawan juga sulit dicari bandingan. Salah satu foto yang terkenal tentang Charles adalah ketika dia melompat dan melakukan heading kearah gawang, sementara kiper lawan dan 2 defender yang menjaganya hanya bisa bergelayut sia-sia tanpa mampu menghentikan pergerakan Charles.
Foto lain yang ikonik memperlihatkan Charles melompat dengan sangat tinggi menjangkau bola, begitu tingginya sampai-sampai kiper Torino yang juga terlihat melompat dan menjulurkan tangan sekuat tenaga terlihat seperi kurcaci di sebelah Charles. Sekali lagi membuktikan bahwa Charles kemungkinan besar adalah pemain dengan kemampuan heading terbaik sepanjang masa.
Charles adalah seorang target man, menara penghancur di lini depan yang bisa menjadi finisher ataupun pemantul bola dengan kesempurnaannya pada duel bola atas. Sivori mampu merobek pertahanan lawan dengan dribble mautnya yang menarik beberapa defender sekaligus dan juga bisa mencetak gol dengan cara yang tidak lazim. Boniperti bermain sedikit ke belakang, menjadi playmaking forward yang walaupun tidak mencetak gol sebanyak kedua rekannya, tapi visinya dalam menemukan ruang kosong sangat sulit diantisipasi. Selama 4 musim, Trio Magico total menyumbangkan 203 gol bagi Juventus hanya di ajang liga saja. Kombinasi dari gol Boniperti (8-8-7-6), Charles (28-19-23-15), dan Sivori (22-15-27-25).
“Yang menakutkan dari Juventus adalah
dalam tim tersebut terdapat perpaduan dari kekuatan Charles, fantasi Sivori,
dan kebijaksanaan taktik Boniperti.” Ungkap Mario Gherrarducci, jurnalis Corriere
Della Serra.
Setelah 5 tahun perjalanan karirnya di
Italia yang bergelimang kesuksesan, Charles akhirnya memutuskan untuk kembali
ke Inggris. Faktor keluarga menjadi pertimbangan utama bagi Charles, antara
lain faktor homesick yang sudah lama ditahan oleh dia dan
istrinya serta keinginan agar anaknya mendapat pendidikan di Inggris. Meskipun
kepergiannya sempat berusaha ditahan oleh Juventus dengan tawaran kontrak
fantastis sebesar 14 ribu pounds, pada akhirnya Charles tetap pada keputusannya
dan resmi meninggalkan Juventus pada tahun 1962.
Hal ini menandai berakhirnya era Trio Magico, karena Boniperti sudah memutuskan untuk gantung sepatu pada setahun sebelumnya. Sivori sendiri meraih gelar Ballon d’Or 1961 dan bertahan beberapa musim di Juve sebelum akhirnya pindah ke Napoli. Bubarnya Trio Magico juga membawa La Vecchia Signora kembali ke era paceklik gelar dengan 5 musim tak memenangkan apapun.
Charles dikenang sebagai sebagai salah satu penyerang 'terbesar' yang pernah dimiliki Juventus, baik secara kiasan maupun arti harfiah. Tidak hanya postur, tapi juga kekuatan fisiknya dalam menembus pertahanan lawan juga sulit dicari bandingan. Salah satu foto yang terkenal tentang Charles adalah ketika dia melompat dan melakukan heading kearah gawang, sementara kiper lawan dan 2 defender yang menjaganya hanya bisa bergelayut sia-sia tanpa mampu menghentikan pergerakan Charles.
Foto lain yang ikonik memperlihatkan Charles melompat dengan sangat tinggi menjangkau bola, begitu tingginya sampai-sampai kiper Torino yang juga terlihat melompat dan menjulurkan tangan sekuat tenaga terlihat seperi kurcaci di sebelah Charles. Sekali lagi membuktikan bahwa Charles kemungkinan besar adalah pemain dengan kemampuan heading terbaik sepanjang masa.
![]() |
| John Charles membuat Lido Vieri, kiper Torino, terlihat kerdil dalam duel udara |
John
Charles dan Timnas Wales—When Pele Broke
Our Hearts
Berkat performa impresifnya sebagai center half muda bertalenta yang ramai dibicarakan, Charles mendapatkan panggilan untuk memperkuat Timnas Wales pada awal tahun 1950. Charles tercatat sebagai pemain termuda yang mengenakan kostum The Dragons pada usia 18 tahun 71 hari—sebelum rekor tersebut dipecahkan oleh Ryan Giggs pada tahun 1992.
Pertandingan debut melawan Irlandia tersebut berakhir 0-0. Sayang, penampilan Charles di debut internasionalnya tersebut kurang meyakinkan. Charles muda bermain canggung dan sering salah dalam pengambilan keputusan. Charles mengakui bahwa rasa tegang dan grogi benar-benar mematikan permainannya.
“Kuakui bahwa demam panggung adalah musuh terbesar bagi pesepakbola. Kakiku tidak mampu menjejak kokoh dan terasa seperti jelly. Perutku mual seolah ribuan kupu-kupu terbang di dalamnya. Penglihatanku terasa buram dan aku ragu untuk mengambil keputusan, terlalu takut untuk berbuat kesalahan.”
Kritik pedas banyak diterimanya, sehingga Charles terpaksa harus menunggu lebih dari setahun sebelum menerima caps keduanya dalam laga melawan Swiss. Segalanya berjalan baik dan Wales sempat unggul 3-0, sebelum 20 menit terakhir ketika Charles bermain kacau.
Center forward Swiss, Alfred Bickel, memporak porandankan pertahanan Wales dan memperkecil kedudukan menjadi 3-2 hanya dalam 10 menit. Meski tidak kalah, Charles kembali kebanjiran kritik yang membuatnya kembali terisolir dari Timnas selama beberapa tahun. Charles sendiri menyebut momen lawan Swiss tersebut sebagai 20 menit terburuk dalam karirnya.
Setelah dua kali tampil buruk, butuh waktu lama bagi
Wales untuk kembali mempertimbangkan Charles masuk timnas lagi. Pintu bagi
Charles kembali terbuka setelah dia sukses menjalankan eksperimen Buckley untuk
bermain di lini depan. Charles dipanggil memperkuat Irlandia Utara di Belfast
pada tanggal 15 April 1953. Namun karena posisi center forward sudah menjadi
milik Trevor Ford dan center half ditempati Ray Daniel, Charles digeser ke
posisi inside right.
Irlandia Utara yang
dipimpin oleh skipper legendaris Tottenham Hotspurs, Danny Blanchflower,
berhasil membuka keunggulan terlebih dahulu sebelum Charles mencetak dua gol
untuk membalikkan keadaan. Charles bisa saja mencetak hattrick, namun pada
suatu peluang terbuka dia mengesampingkan ego dan memberikan assist kepada Ford
untuk memastikan Wales menang 3-1. Pertandingan tersebut seolah menghapus dosa
Charles atas penampilan buruknya di 2 caps pertama, dia menjadi penghuni tetap
lini depan Wales setelah kemenangan itu.
![]() |
| Charles 'hang time' saat lawan Inggris |
Salah
satu partai internasionalnya yang cukup dikenang adalah ketika Wales
mengalahkan Inggris 2-1 di Cardiff pada Oktober 1955. Dalam dua pertandingan
sebelumnya di dua tahun beruntun, Wales selalu kalah tipis atas Inggris. Pada
pertandingan di Cardiff tersebut Charles bermain sebagai center half dan
berhasil mematikan pergerakan Nat Lofthouse, penyerang dengan rasio gol
tertinggi bagi The Three Lions hingga saat ini.
Lofthouse mengakui kekokohan Charles dalam bertahan dan
melabelinya sebagai “The best center half I have ever met”. Uniknya,
pada pekan yang sama kapten Inggris Billy Wright menyebut Charles sebagai
center forward yang paling dia takuti. Dua pengakuan yang bertolak belakang dalam
satu pekan dari dua bintang Inggris.
Dekade 50-an adalah periode emas bagi sepakbola Wales. Mereka
dilatih oleh Jimmy Murphy, yang pada saat yang sama juga merangkap sebagai
asisten dari pelatih legendaris Matt Busby di Manchester United. Murphy
memegang peranan penting dalam pembentukan “Busby
Babes” yang sangat disegani,
dia jugalah yang mengasah talenta muda seperti Duncan Edwards dan Bobby
Charlton di MU.
Keberadaan
pelatih sekaliber Murphy di dugout serta dilengkapi dengan sekumpulan
pemain berskill tinggi seperti Ivor Allchurch, Cliff Jones, Alf Sherwood, Jack
Kelsey, Trevor Ford, Ronnie Burgess, Terry Medwin, dan tentu saja John Charles.
Mereka disebut-sebut sebagai golden
generation Timnas Wales,
generasi pertama dan satu-satunya yang pernah lolos ke putaran final Piala
Dunia.
Salah satu momen yang terus dikenang adalah ketika
Wales lolos ke perempat final Piala Dunia 1958 di Swedia. Namun tahukah anda, bahwa
lolosnya Wales tersebut tidak lepas dari keberuntungan dan campur tangan
Indonesia?
Pada saat itu, sebenarnya
Wales hanya finish di posisi runner-up kualifikasi grup zona Eropa di
bawah Ceko. Namun muncul kekacauan di grup zona Asia-Afrika yang berisi Israel,
Indonesia, Mesir, dan Sudan. Karena alasan politis, ketiga penghuni grup
tersebut menolak bertanding dengan Israel, sehingga Israel secara otomatis
keluar sebagai juara grup.
FIFA tidak ingin ada negara yang lolos ke putaran final tanpa memainkan satupun pertandingan kualifikasi, oleh karena itu mereka mengumpulkan nama-nama runner up grup dari zona lainnya untuk kemudian diundi salah satu untuk memainkan pertandingan play-off lawan Israel. Pada undian pertama, nama Belgia yang muncul. Beruntung bagi Wales, Belgia menolak jatah play-off tersebut dan pada undian kedua nama Wales lah yang muncul.
Wales melakoni play-off dengan mulus dengan mengalahkan Israel 2-0 pada masing-masing leg, memastikan tiket untuk bertanding di turnamen sepakbola paling bergengsi di dunia.
FIFA tidak ingin ada negara yang lolos ke putaran final tanpa memainkan satupun pertandingan kualifikasi, oleh karena itu mereka mengumpulkan nama-nama runner up grup dari zona lainnya untuk kemudian diundi salah satu untuk memainkan pertandingan play-off lawan Israel. Pada undian pertama, nama Belgia yang muncul. Beruntung bagi Wales, Belgia menolak jatah play-off tersebut dan pada undian kedua nama Wales lah yang muncul.
Wales melakoni play-off dengan mulus dengan mengalahkan Israel 2-0 pada masing-masing leg, memastikan tiket untuk bertanding di turnamen sepakbola paling bergengsi di dunia.
Sempat tarik menarik, akhirnya Charles memutuskan nasibnya sendiri dan berangkat menyusul rekan-rekannya di Swedia, hanya 4 hari sebelum pertandingan pertama Wales melawan Hungaria. Kedatangan Charles benar-benar memberikan suntikan moral bagi seluruh personel tim. Sang adik Mel Charles, yang saat itu juga bergabung dengan timnas, menggambarkan kedatangan John di hotel dengan begitu heroik.
![]() |
| Golden generation The Dragons |
“Aku tak akan pernah
melupakan momen ketika John mendatangi kami. Dia terlihat seperti sosok dewa
dari Yunani karena posturnya yang tinggi dan kulitnya yang kecoklatan. Seluruh
elemen tim yang melihatnya meletakkan garpu dan pisau mereka, lalu berdiri dan
menyanyikan lagu 'For he's a jolly good fellow’ (lagu terpopuler kedua
dalam Bahasa Inggris setelah Happy Birthday, biasanya untuk memperingati hari
pernikahan atau kelahiran). Benar-benar seperti suasana pesta anak kecil.”
Bagaimanapun juga,
kedatangan Charles ke markas Wales menaikkan semangat tempur dari
rekan-rekannya sekaligus memberikan psywar terhadap calon
lawan mereka. Hungaria misalnya, telah mengidentifikasi Charles sebagai sosok
kunci Wales dan melakukan intimidasi baik secara fisik maupun psikis di
sepanjang pertandingan.
Namun Charles dengan kesabaran dan kontrol emosinya yang sangat baik berhasil menghindari cedera maupun pancingan provokasi lawan, untuk kemudian menyarangkan gol yang memastikan Wales mengamankan hasil seri. Sebuah awal yang bagus mengingat Hungaria adalah tim favorit saat itu, mengandalkan sisa-sisa dari skuat Magical Magyar yang sempat diakui sebagai tim terbaik di dunia beberapa tahun sebelumnya.
Wales bermain tidak optimal di pertandingan kedua dengan kembali memetik hasil imbang, kali ini melawan Meksiko yang notabene bukan merupakan tim unggulan. Hasil tersebut memaksa Wales harus berjibaku di partai penentuan yang berat melawan tuan rumah Swedia. Murphy bermain pragmatis, mengincar hasil imbang tanpa gol yang akan mengamankan langkah Swedia menuju play off perempat final.
Murphy menginstruksikan strategi defensif dengan memasang Charles di posisi gelandang lalu merubahnya ke posisi center half menjelang akhir pertandingan untuk mematikan serangan Swedia. Walau kurang atraktif, Murphy mendapatkan apa yang ia inginkan dan Wales menjalani play off lawan Hungaria untuk memperebutkan satu tempat di perempat final. Hasil ini sebenarnya diluar dugaan staf Timnas Wales sendiri, yang bahkan sudah membooking tiket pesawat untuk pulang setelah pertandingan karena memperkirakan Wales akan kalah dari Swedia.
Komitmen Charles terhadap
negaranya membuatnya tetap antusias bermain di belakang lawan Swedia. Namun
pada pertandingan tersebut Charles mengalami sobek di sekitar mata yang
membuatnya mendapatkan 4 jahitan. Pada pertandingan playoff, sekali lagi
Hungaria menerapkan intimidasi brutal terhadap Charles.Sebuah tackling kasar
dari belakang yang secara mengejutkan tidak dianggap pelanggaran oleh wasit
membuat Charles cedera. Wales sendiri bermain gemilang, berhasil membalikkan
ketertinggalan dan meraih kemenangan 2-1.
Dipastikan tidak diperkuat oleh Charles di sisa turnamen, lawan yang menunggu Wales di babak berikutnya pun tidak main-main: Brazil, dengan sederet pemain berkaki seniman termasuk sang megabintang Pele yang saat itu masih berusia 17 tahun.
Wales bermain gagah berani dan merepotkan Brazil, walau pada akhirnya mereka harus kalah lewat tendangan Pele yang terdefleksi dan mengecoh kiper Jack Kesley. Pele selalu mengenang gol pertamanya di ajang Piala Dunia tersebut sebagai "gol paling beruntung dan paling tak terlupakan".
![]() |
| Tragedi Nasional yang dibukukan--When Pele Broke Our Hearts |
Winger Cliff Jones memiliki
kenangan getir tentang pertandingan tersebut, “Aku masih berpikir apabila John
bermain di perempat final melawan Brazil, kami akan mampu mengalahkan mereka.
Orang-orang mungkin berpikir aku bercanda, tapi aku yakin akan hal itu.
Performa terbaikku di sepanjang turnamen adalah pada pertandingan itu, aku dan
Terry Medwin melancarkan banyak crossing matang ke pertahanan Brazil. Colin
Webster adalah center forward yang bagus, tapi tentu saja dia berbeda dengan
seorang John Charles. John pasti akan memberikan sentuhan mematikan dengan
crossing-crossing tersebut. Dia adalah pemain yang sangat-sangat berbahaya.”
Charles sendiri menyimpan
kekecewaan mendalam atas peristiwa tersebut, “Tidak bisa bermain melawan Brazil
adalah kekecewaan terbesar dalam karirku. Tapi bermain untuk Wales selalu
terasa spesial untukku. Aku selalu ingin mengenakan kostum timnas dan mewakili
negaraku. Itu adalah kebanggaan luar biasa.”
Piala Dunia tersebut adalah puncak dari karir internasional Charles. Dia memang masih cukup bagus untuk bermain bagi timnas sampai 6 tahun setelahnya, tapi baik Wales maupun Charles tidak pernah bisa lagi mencapai level yang sama seperti tahun 1958. Walau begitu, dunia akan selalu mengenang perjuangan Charles dan generasi emas timnas Wales sebagai sebuah kisah tragis yang menyimpan keindahan tersendiri.
Bahkan beberapa tahun setelah pension, Pele mengakui Brazil mungkin tidak akan lolos jika Charles bermain. “Orang-orang tidak berani membayangkan hasilnya apabila saat itu John Charles berada dalam kondisi fit,” ungkap Pele.
Tidak salah memang, pertandingan melawan Wales adalah satu-satunya partai di mana Brazil hanya mencetak 1 gol di Piala Dunia waktu itu. Bahkan di semifinal dan final mereka mengalahkan Prancis dan Swedia dengan skor rakus 5-2. Membuktikan bahwa Wales adalah lawan tersulit bagi Brazil saat itu.
Coba bayangkan seandainya Charles bermain melawan Brazil dan Wales mengangkat Trofi Jules Rimet di akhir turnamen, mau ditaruh mana wajah media Inggris yang terkenal arogan itu?
![]() |
| Momen ketika Pele mencetak 'luckiest goal' ke gawang Jack Kelsey dan mengubuh mimpi Wales |
Akhir
Perjalanan Sang Raksasa
Rumor
ingin hengkangnya Charles dari Italia menjadi perbincangan hangat di Elland
Road. Pada saat itu Leeds United kembali terpuruk di Second Division setelah
beberapa musim mengalami serangkaian hasil buruk. Suporter The Whites tidak tinggal diam mendengar kabar
Charles akan pulang dari Italia, mereka memberikan tekanan terhadap manajemen
Leeds untuk merekrut kembali pahlawan mereka agar kembali mengenakan jersey
putih-putih.
Charles yang saat itu berusia 31 tahun akhirnya memutuskan kembali ke Leeds United karena tertarik dengan visi Don Revie sebagai manajer. Charles ditebus dengan harga 53 ribu pounds dan disambut dengan gegap gempita oleh segenap pendukung Leeds. Bayang-bayang kejayaan Charles ketika berkostum putih-putih 5 tahun lalu kembali terbayang di seantero kota. Optimisme membumbung tinggi dan jumlah penonton yang hadir ke Elland Road membludak berkat kembalinya sang raja.
Charles yang saat itu berusia 31 tahun akhirnya memutuskan kembali ke Leeds United karena tertarik dengan visi Don Revie sebagai manajer. Charles ditebus dengan harga 53 ribu pounds dan disambut dengan gegap gempita oleh segenap pendukung Leeds. Bayang-bayang kejayaan Charles ketika berkostum putih-putih 5 tahun lalu kembali terbayang di seantero kota. Optimisme membumbung tinggi dan jumlah penonton yang hadir ke Elland Road membludak berkat kembalinya sang raja.
![]() |
| Unsuccessful Return of The King |
Namun satu hal yang tidak disadari oleh Leeds United: John Charles
sudah bukan lagi pemain yang sama seperti yang mereka kenal dulu.
5 tahun di Italia telah mengubah gaya main Charles menjadi lebih calcio. Charles telah terbiasa dengan permainan taktikal dengan tempo lambat dan mendapati dirinya kesulitan berhadapan dengan kick and rush yang fisikal di Inggris. Apalagi Charles tidak sempat mengikuti program pra-musim Leeds dan mengalami overweight. Periode keduanya memperkuat Leeds yang disambut gegap gempita oleh para supporter ternyata berjalan sangat buruk. Dalam 11 pertandingan, Charles hanya mencetak 3 gol.
“Aku sangat senang bisa kembali, tapi semuanya tidak berjalan dengan baik. Untuk pertama kalinya aku khawatir dengan permainanku di Leeds. Semakin aku khawatir, semakin buruk pula permainanku. Aku bermasalah dengan diriku sendiri yang gagal menyesuaikan diri. Beberapa orang berkata jangan pernah kembali ke klub yang pernah kau perkuat sebelumnya, ekspektasinya akan terlalu tinggi. Hal itu terbukti benar. Aku akhirnya memutuskan lebih baik pergi. Aku merasa sangat bersalah, tapi senang pernah bermain bersama Revie.”
Hanya 90 hari sejak bergabung bersama Leeds, Charles akhirnya memutuskan kembali ke Italia. AS Roma membayar sebesar 70 ribu pounds untuk memboyong Charles ke ibukota. Namun di sana lagi-lagi Charles menjalani masa-masa buruk. Sepanjang musim 1962/1963, dia hanya bermain 10 kali dengan catatan 4 gol. Charles gagal beradaptasi dengan lingkungan social masyarakat Italia utara, yang diakuinya sangat berbeda dengan kehidupan Italia selatan tempat Juventus bermarkas. Charles sendiri mengakui telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan Juventus.
“Ketika anda meminta pergi dari Juventus, maka anda telah benar-benar menutup pintu untuk kembali.” Charles mengungkapkan penyesalannya. “Tidak ada kesempatan untuk kembali. Jika mereka yang menjual anda, maka ada kemungkinan anda akan dibeli kembali. Tetapi ketika anda sendiri yang memaksa pindah, pintu kembali sudah tertutup bagi anda. Klub Italia tidak akan mengambil kembali pemain yang pergi atas keinginannya sendiri.”
Hanya semusim di Roma, Charles pulang ke Wales di musim selanjutnya dengan biaya transfer 20 ribu pounds oleh Cardiff City. Di sanalah untuk pertama kalinya John dan Mel sang adik bermain di tim yang sama selain Timnas Wales. Charles bertahan 3 musim di Ninian Park dengan lebih banyak bermain di pertahanan dan mencetak 18 gol dari 79 penampilan. Salah satu gol yang terus dikenang ketika memperkuat Cardiff adalah freekick spektakulernya dari jarak 75 yard.
Selanjutnya Charles yang sudah diujung karir menerima tawaran untuk menjadi player manager di Hereford United di Southern League pada tahun 1966. Charles menjalani profesi tersebut sampai 1971, ketika dia merasa dirinya tidak cocok bekerja di jajaran manajemen. Meski menikmati saat-saat melatih tim, tapi Charles merasa pekerjaan kantoran bukanlah bidangnya dan seringkali tidak tega ketika harus mengatakan langsung kepada pemain bahwa mereka tidak masuk tim.
Di usia 41 tahun, Charles sempat menjadi player manager di Merthyr Tydfil, hanya untuk sekedar memenuhi kecintaannya terhadap sepakbola. Setelah itu Charles memutuskan gantung sepatu dan kembali menjalani hidupnya yang sederhana di kota Leeds untuk menggeluti bisnis property, bar, dan juga membuka toko olahraga di Cardiff.
Meskipun semua bisnisnya gagal, kesederhanaan tidak menghalanginya untuk sering berpartisipasi atau menyumbang dalam acara charity. Charles sempat sesaat masuk ke dalam manajerial tim amatir Kanada, Hamilton Steelers pada tahun 1987 serta menjadi vice president Federasi Sepakbola Wales pada tahun 2002.
Tahun 2001, Charles mendapatkan gelar kebangsawanan Commander of the Order of the British Empire (CBE) dari kerajaan Inggris atas prestasinya di dunia sepakbola. Pada tahun yang sama Charles juga masuk dalam English Football Hall of Fame dan Italian Football Hall of Fame. Charles menerima penghargaan UEFA memberikan Jubilee Awards kepada Charles pada tahun 2003 sebagai pemain terbaik yang dimiliki Wales dalam 50 tahun terakhir.
5 tahun di Italia telah mengubah gaya main Charles menjadi lebih calcio. Charles telah terbiasa dengan permainan taktikal dengan tempo lambat dan mendapati dirinya kesulitan berhadapan dengan kick and rush yang fisikal di Inggris. Apalagi Charles tidak sempat mengikuti program pra-musim Leeds dan mengalami overweight. Periode keduanya memperkuat Leeds yang disambut gegap gempita oleh para supporter ternyata berjalan sangat buruk. Dalam 11 pertandingan, Charles hanya mencetak 3 gol.
“Aku sangat senang bisa kembali, tapi semuanya tidak berjalan dengan baik. Untuk pertama kalinya aku khawatir dengan permainanku di Leeds. Semakin aku khawatir, semakin buruk pula permainanku. Aku bermasalah dengan diriku sendiri yang gagal menyesuaikan diri. Beberapa orang berkata jangan pernah kembali ke klub yang pernah kau perkuat sebelumnya, ekspektasinya akan terlalu tinggi. Hal itu terbukti benar. Aku akhirnya memutuskan lebih baik pergi. Aku merasa sangat bersalah, tapi senang pernah bermain bersama Revie.”
Hanya 90 hari sejak bergabung bersama Leeds, Charles akhirnya memutuskan kembali ke Italia. AS Roma membayar sebesar 70 ribu pounds untuk memboyong Charles ke ibukota. Namun di sana lagi-lagi Charles menjalani masa-masa buruk. Sepanjang musim 1962/1963, dia hanya bermain 10 kali dengan catatan 4 gol. Charles gagal beradaptasi dengan lingkungan social masyarakat Italia utara, yang diakuinya sangat berbeda dengan kehidupan Italia selatan tempat Juventus bermarkas. Charles sendiri mengakui telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan Juventus.
“Ketika anda meminta pergi dari Juventus, maka anda telah benar-benar menutup pintu untuk kembali.” Charles mengungkapkan penyesalannya. “Tidak ada kesempatan untuk kembali. Jika mereka yang menjual anda, maka ada kemungkinan anda akan dibeli kembali. Tetapi ketika anda sendiri yang memaksa pindah, pintu kembali sudah tertutup bagi anda. Klub Italia tidak akan mengambil kembali pemain yang pergi atas keinginannya sendiri.”
Hanya semusim di Roma, Charles pulang ke Wales di musim selanjutnya dengan biaya transfer 20 ribu pounds oleh Cardiff City. Di sanalah untuk pertama kalinya John dan Mel sang adik bermain di tim yang sama selain Timnas Wales. Charles bertahan 3 musim di Ninian Park dengan lebih banyak bermain di pertahanan dan mencetak 18 gol dari 79 penampilan. Salah satu gol yang terus dikenang ketika memperkuat Cardiff adalah freekick spektakulernya dari jarak 75 yard.
Selanjutnya Charles yang sudah diujung karir menerima tawaran untuk menjadi player manager di Hereford United di Southern League pada tahun 1966. Charles menjalani profesi tersebut sampai 1971, ketika dia merasa dirinya tidak cocok bekerja di jajaran manajemen. Meski menikmati saat-saat melatih tim, tapi Charles merasa pekerjaan kantoran bukanlah bidangnya dan seringkali tidak tega ketika harus mengatakan langsung kepada pemain bahwa mereka tidak masuk tim.
Di usia 41 tahun, Charles sempat menjadi player manager di Merthyr Tydfil, hanya untuk sekedar memenuhi kecintaannya terhadap sepakbola. Setelah itu Charles memutuskan gantung sepatu dan kembali menjalani hidupnya yang sederhana di kota Leeds untuk menggeluti bisnis property, bar, dan juga membuka toko olahraga di Cardiff.
Meskipun semua bisnisnya gagal, kesederhanaan tidak menghalanginya untuk sering berpartisipasi atau menyumbang dalam acara charity. Charles sempat sesaat masuk ke dalam manajerial tim amatir Kanada, Hamilton Steelers pada tahun 1987 serta menjadi vice president Federasi Sepakbola Wales pada tahun 2002.
Tahun 2001, Charles mendapatkan gelar kebangsawanan Commander of the Order of the British Empire (CBE) dari kerajaan Inggris atas prestasinya di dunia sepakbola. Pada tahun yang sama Charles juga masuk dalam English Football Hall of Fame dan Italian Football Hall of Fame. Charles menerima penghargaan UEFA memberikan Jubilee Awards kepada Charles pada tahun 2003 sebagai pemain terbaik yang dimiliki Wales dalam 50 tahun terakhir.
![]() |
| John dan istrinya, Glenda, ketika mendapatkan penghargaan CBE |
Leeds menunjukkan penghormatan kepada sang legenda yang secara
rutin selalu menonton pertandingan home di Elland Road di masa tuanya.
Penghormatan itu berupa dipakainya nama John
Charles Stand sebagai nama
baru West Stand—tribun yang dulu terbakar dan secara tidak langsung mengirim
Charles hengkang ke Italia. Selain itu, Leeds memberikan nama John Charles
Stadium kepada stadion tempat Leeds Reserves bertanding. Tidak hanya itu, salah
satu nama jalan di dekat Elland Road juga diberi nama John Charles Way.
Charles sempat mengalami serangan jantung pada awal 2004, sesaat sebelum menjalani sesi wawancara dengan televisi di Milan pada 7 Januari. Charles dipulangkan untuk dirawat di Inggris menggunakan jet pribadi Juventus setelah sempat diketahui bahwa di kaki kanan Charles terdapat pembekuan darah yang membuatnya harus diamputasi.
Namun pada akhirnya nyawa Charles tak tertolong, dia menghembuskan nafas terakhir pada dini hari 21 Februari 2004 di Pinderfield Hospital, Wakefield, dalam usia 72 tahun. Pemakamannya dihadiri oleh rekan Charles di Italia dan Inggris termasuk tamu VIP seperti Alex Ferguson, Bobby Charlton dan Bobby Robson.
Februari ini adalah peringatan 9 tahun sejak kepergian Il Gigante Buono. Sungguh tidak beruntung kita, tidak mendapat kesempatan menyaksikan permainan unik Si Raksasa yang acapkali underrated ini. Tidak terbayangkan betapa menariknya untuk menganalisa sosok seperti Charles apabila dia bermain di era sekarang.
Sang Legenda telah tiada, meninggalkan kisah yang hanya bisa kita dengarkan dengan rasa takjub akan kemampuan dan semangat fairplay-nya baik di dalam maupun di luar lapangan. Namun segala kenangan akan skill dan kekuatan karakternya yang lurus sebagai seorang pria sejati akan selalu hidup dan dikenang sebagai salah satu yang terbaik sepanjang masa.
Charles sempat mengalami serangan jantung pada awal 2004, sesaat sebelum menjalani sesi wawancara dengan televisi di Milan pada 7 Januari. Charles dipulangkan untuk dirawat di Inggris menggunakan jet pribadi Juventus setelah sempat diketahui bahwa di kaki kanan Charles terdapat pembekuan darah yang membuatnya harus diamputasi.
Namun pada akhirnya nyawa Charles tak tertolong, dia menghembuskan nafas terakhir pada dini hari 21 Februari 2004 di Pinderfield Hospital, Wakefield, dalam usia 72 tahun. Pemakamannya dihadiri oleh rekan Charles di Italia dan Inggris termasuk tamu VIP seperti Alex Ferguson, Bobby Charlton dan Bobby Robson.
Februari ini adalah peringatan 9 tahun sejak kepergian Il Gigante Buono. Sungguh tidak beruntung kita, tidak mendapat kesempatan menyaksikan permainan unik Si Raksasa yang acapkali underrated ini. Tidak terbayangkan betapa menariknya untuk menganalisa sosok seperti Charles apabila dia bermain di era sekarang.
Sang Legenda telah tiada, meninggalkan kisah yang hanya bisa kita dengarkan dengan rasa takjub akan kemampuan dan semangat fairplay-nya baik di dalam maupun di luar lapangan. Namun segala kenangan akan skill dan kekuatan karakternya yang lurus sebagai seorang pria sejati akan selalu hidup dan dikenang sebagai salah satu yang terbaik sepanjang masa.
![]() |
| John Charles di ruang ganti Elland Road pada tahun 2001, di depan jersey skuat Leeds yang berhasil menembus semifinal UCL |
Rest in Peace, King John.
Long Live The Gentle Giant!
Written by
Muhammad Rizqicho @rizqicho
Credit
picture: Mightyleeds.co.uk, Myglyw.org.uk, Juventus.com, GettyImages



















No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.