Tulisan ini sebenarnya dipublikasikan pada tanggal 20 Maret 2009 di blog Blogspot saya yang lama. Blog tersebut kini sudah lenyap bersama dengan dihapusnya blog lama saya tersebut, dan tulisan ini adalah satu dari sedikit tulisan di sana yang masih terselamatkan. Namun demi alasan romantisme, maka saya tetap menggunakan tanggal tersebut sebagai tanggal posting di blog recovery saya ini. For the sake of more nostalgic feelings...
Pagi itu, 16 Maret 2009, kira-kira jam 6 kurang seperempat. Saya sedang bersantai di rumah, minum Energen hangat sembari menonton Lensa Olahraga. Pagi hari senin gini biasanya rasa malas kuliah memuncak, apalagi sedang musim kuis besar di UMC. Waktu sedang asyik-asyiknya nonton highlight, ada sebuah running text di ANTV yang membuat saya tertegun:
Membaca tulisan tersebut, saya lumayan shock. Jarang-jarang ada pemain sepak bola di Indonesia yang meninggal ketika masih aktif, apalagi yang bersangkutan bermain di level tertinggi seperti ISL. Tapi waktu itu, saya masih berikir mungkin meninggalnya Jumadi karena sakit atau something like that, seperti kejadian Eri Irianto-nya Persebaya dulu. Saya juga mulai mengingat, Jumadi yang mana ya? Sebagai maniak Liga Indonesia yang hampir selalu nonton pertandingan yang disiarkan live di TV, saya tau lebih dari separo nama yang beredar di ISL. Satu-satunya nama "Jumadi" yang pernah saya tau ya Jumadi Abdi. Belakangan ternyata benar, yang meninggal tersebut memang Jumadi Abdi.
Beberapa saat kemudian, ada running text selanjutnya yang terkait dengan berita kematian Jumadi Abdi:
Benar-benar suprise. Saya tahu sepakbola Indonesia memang kasar, tapi baru kali ini ada kejadian pemain sampai tewas gara-gara kekerasan di lapangan. Maka saat itu juga yang terpikir di benak saya adalah, siapa pemain Persela yang dimaksud? Apalagi tanggal 14 kemarin saya baru saja menonton pertandingan Arema lawan Persela di Kanjuruhan, apakah "pemain-yang-tak-sengaja-membunuh" itu bermain juga? Berhubung sudah terlanjur penasaran, akhirnya di kampus selama beberapa hari saya memantau perkembangan berita soal kematian Jumadi Abdi.
Perkembangan selanjutnya selama beberapa hari menimbulkan banyak fakta menarik. Ada kenyataan yang tragis, bahwa Jumadi meninggal sehari setelah ulang tahunnya yang ke 26 (nb: Jumadi lahir pada tanggal 14 Maret 1983). Yang lebih menyakitkan lagi, Jumadi sebenarnya tinggal menghitung hari untuk melepas masa lajangnya. Menurut kabar yang beredar, bulan Mei mendatang Jumadi akan menyunting kekasihnya Robiatul. Tapi sebelum semua itu tercapai, Jumadi telah terlebih dahulu meregang nyawa.
PKT sendiri sangat kehilangan Jumadi, baik secara teknis maupun secara moril. Jumadi adalah pemain penting buat PKT, nyaris selalu menjadi starting eleven bahkan sempat beberapa kali turun sebagai kapten. Pemain bernomor punggung 7 yang juga pernah bermain untuk Persiba Balikpapan, Persikota Tangerang, dan Pelita Krakatau Steel ini juga dikontrak cukup mahal untuk ukuran pemain lokal, 400 juta semusim. Hampir masuk kisaran kontrak pemain asing.
Selanjutnya, yang aku pikirin adalah "Siapa dan seperti apakah pelanggaran yang menewaskan Jumadi?". Belakangan akhirnya saya tau bahwa pemain yang berbenturan dengan Jumadi bernama Denny J. Tarkas, pemain belakang dari Persela. Nama ini cukup asing di telinga saya. Padahal Persela sering disiarkan langsung di televisi, tapi pemain ini jarang terdengar namanya. Satu-satunya "Tarkas" yang saya tahu adalah Diva Tarkas, pemain PSM Makassar. Dengan kata lain, si Denny ini pemain cadangan. Ketika saya melanjutkan searching, akhirnya ketemu juga video insiden itu, insiden yang membuat Jumadi Abdi meregang nyawa selama seminggu di rumah sakit sebelum akhirnya berpulang. Ini dia videonya:
Ngeri juga ngeliat tayangan ulangnya. Kronologis: Bola dari daerah pertahanan PKT dibuang melambung ke daerah Persela. Bola liar dihalau kembali ke tengah lapangan oleh bek Persela, Fabiano. Bola di tanggung tersebut diterima oleh Jumadi Abdi yang langsung melesat ke depan. Denny Tarkas siap menghadang di depannya. Sadar bahwa Denny sudah mengangkat kaki, Jumadi melakukan tipuan dengan mengangkat bola ke arah lain. Nahasnya, kaki Denny yang terangkat tinggi tersebut masuk dengan telak, menghantam perut Jumadi. Wasit Mukhlis Ali Fathoni memberikan pelanggaran dan mengacungkan kartu kuning untuk Denny.
Cukup mengherankan bahwa pelanggaran horor seperti itu tidak membuat wasit mengeluarkan kartu merah. Whatever.
Well, sebenarnya situasi fifty-fifty seperti itu sudah jamak terjadi di sepakbola. Mengangkat kaki setinggi itu juga sudah bukan hal tabu di Indonesia. Tapi--tanpa bermaksud memihak atau memanaskan suasana--ada beberapa momentum sekaligus yang sama sekali bertentangan dengan unsur sportifitas.
Pertama, Denny sudah melakukan ancang-ancang dari jauh, mengangkat kaki dengan agak ngawur (bisa dilihat dari seberapa tinggi kakinya terangkat) seolah tanpa memperhatikan arah bola langsung menuju tubuh Jumadi.
Kedua, dengan posisi kaki terkena telak ke arah perut, pelanggaran ini tidak lagi sekedar membahayakan karir, tapi juga membahayakan nyawa. Wasit hanya memberikan kartu kuning... Entahlah, mungkin karena kebiasaan di Indonesia yang punya standard pelanggaran yang rendah.
Ketiga, katakanlah dengan asumsi apapun bahwa Denny tidak sengaja. Tapi setelah pelanggaran dan acungan kartu kuning, sama sekali nggak terlihat itikad baik dari Denny untuk menunjukkan rasa bersalah. Denny langsung berlari kembali ke daerah pertahanannya, bukan menghampiri Jumadi untuk meminta maaf atau mengecek keadaannya. No sympathy, no feel sorry, not even give a damn about being sportive.
Dengan keadaan di atas, pantas saja publik sepakbola Indonesia marah, terutama masyarakat Bontang, Kalimantan Timur. Hal itu terlihat dari beberapa forum terkenal di internet yang membahas tentang pelanggaran tersebut. Hampir semua mengutuk, atau setidaknya menyesalkan pelanggaran mengerikan tersebut, terlebih lagi Jumadi pada akhirnya tewas.
Penyebab kematian Jumadi--berdasarkan informasi yang dikutip dari Tempo Interaktif--adalah kegagalan multi organ tubuh. Berawal dari pecahnya usus halus, yang membuat kotoran dan kuman-kuman yang harusnya keluar lewat dubur jadi menyebar ke rongga perut yang harusnya steril bersih. Kuman-kuman tersebut menyebar dan mengganggu fungsi organ vitalnya. Pertama-tama ginjal, paru-paru, liver, hingga akhirnya jantung Jumadi tifak berfungsi dengan baik. Pertolongan berupa lebih dari 20 kantong darah berukuran masing-masing 250 cc menjadi percuma.
Sungguh efek domino cedera yang mengerikan. Bahkan saat menulis sekarang, saya jadi agak takut juga untuk bermain futsal, yang biasanya rutin saya lakukan.
PSSI dan BLI sendiri, seperti biasa, cenderung lambat bergerak. Djoko Driyono dari BLI dan Nurdin Halid dari PSSI sama-sama baru mengambil tindakan penyelidikan saat Jumadi sudah menghembuskan nafas terakhir. Padahal Jumadi sempat dirawat 8 hari di rumah sakit. Nampaknya sepakbola Indonesia benar-benar butuh korban untuk melakukan perubahan.
Insiden ini bisa dibilang sebenarnya adalah fenomena gunung es di persepakbolaan Indonesia, bahwa kecenderungan sengaja mencederai lawan apabila kalah perebutan bola sudah menjadi hal yang biasa. Saya bukannya asal ngomong, seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa saya adalah maniak ISL yang nyaris selalu menonton siaran langsung di televisi dan menyaksikan banyak sekali pelanggaran-pelanggaran berbahaya yang dilakukan pemain.
Para pemain telah dibiasakan sejak dini bahwa pelanggaran semacam itu bukanlah perbuatan yang terlarang. Didukung oleh wasit yang kadang terlalu lembek dan cenderung takut untuk memberi kartu merah langsung atas pelanggaran kelas berat yang sama sekali tidak melibatkan bola. Sebenarnya, masih ada banyak Denny Tarkas-Denny Tarkas lainnya di Indonesia, yang sudah terlanjur menganggap pelanggaran fatal adalah normal dan bagian dari permainan.
Bedanya adalah di kejadian lain pelanggaran barbar tersebut tidak sampai merenggut korban jiwa, karena itulah tabiat tersebut cenderung dianggap biasa dan tidak ter-blow up oleh publik. Apakah bisa dibilang Denny Tarkas sedang sial? Menurut saya iya.
Mungkin masih bisa diperdebatkan apakah kaki Denny masuk dengan sengaja ke perut Jumadi atau tidak, namun satu yang pasti adalah Denny tidak berharap ataupun menyangka bahwa pelanggaran tersebut berujung pada kematian. Ratusan pelanggaran serupa terjadi setiap tahunnya tanpa korban jiwa dan tanpa ada perhatian serius dari pihak-pihak terkait. Denny sendiri shock dan stress berat setelah kejadian tersebut, konon dia menyendiri untuk menenangkan diri di Sulawesi sembari menunggu panggilan dari komdis.
Denny sudah menyatakan menyesal, meminta maaf, dan pasrah atas hukuman apapun yang akan diberikan kepadanya.
Dan satu yang tidak boleh ketinggalan adalah perbaikan kualitas wasit. Mukhlis memang tidak bisa mencegah insiden tersebut terjadi, tapi hanya memberikan kartu kuning untuk kejadian itu adalah sesuatu yang keterlaluan. Diperlukan wasit yang tegas untuk memberikan efek jera dan menarik garis batas yang jelas antara pelanggaran yang bisa ditoleransi dan terlarang dilakukan.
Peristiwa ini membuat shock segenap elemen di PKT Bontang dan Kalimantan Timur, terutama kiper Deni Marcel yang merupakan teman Jumadi sejak Sekolah Dasar. Skuat PKT sendiri sedang berada di Papua untuk menjalani partai tandang melawan Persipura. Entah apa yang terbayang di benak para pemain setelah mendengar kabar duka yang mendadak tersebut.
Selamat jalan Jumadi. Semoga kau damai di SisiNya. Kau akan selalu dikenang sebagai salah satu pahlawan bagi dunia sepakbola Indonesia. Semoga persepakbolaan Indonesia bisa berbenah dari kejadian ini, agar tidak ada lagi korban selanjutnya dan kau bisa tersenyum tenang di alam sana...
Selamat jalan, Jumadi Abdi...
**********
In Memoriam
Jumadi Abdi
14 Maret 1983 - 15 Maret 2009
Semoga arwahnya diterima di sisiNya, amin...
Baca selengkapnya untuk melihat video insiden cederanya Jumadi
"Jumadi (26) Pemain dari PKT Bontang telah meninggal dunia kemarin (15/3). Jumadi meninggal setelah seminggu dirawat di RS Pupuk Kaltim"
Membaca tulisan tersebut, saya lumayan shock. Jarang-jarang ada pemain sepak bola di Indonesia yang meninggal ketika masih aktif, apalagi yang bersangkutan bermain di level tertinggi seperti ISL. Tapi waktu itu, saya masih berikir mungkin meninggalnya Jumadi karena sakit atau something like that, seperti kejadian Eri Irianto-nya Persebaya dulu. Saya juga mulai mengingat, Jumadi yang mana ya? Sebagai maniak Liga Indonesia yang hampir selalu nonton pertandingan yang disiarkan live di TV, saya tau lebih dari separo nama yang beredar di ISL. Satu-satunya nama "Jumadi" yang pernah saya tau ya Jumadi Abdi. Belakangan ternyata benar, yang meninggal tersebut memang Jumadi Abdi.
Beberapa saat kemudian, ada running text selanjutnya yang terkait dengan berita kematian Jumadi Abdi:
"Jumadi meninggal pada pukul 9.40 WITA setelah dirawat sejak tanggal 7 Maret, setelah bertabrakan dengan pemain belakang Persela saat PKT Bontang menjamu Persela Lamongan di Stadion Mulawarman."
Benar-benar suprise. Saya tahu sepakbola Indonesia memang kasar, tapi baru kali ini ada kejadian pemain sampai tewas gara-gara kekerasan di lapangan. Maka saat itu juga yang terpikir di benak saya adalah, siapa pemain Persela yang dimaksud? Apalagi tanggal 14 kemarin saya baru saja menonton pertandingan Arema lawan Persela di Kanjuruhan, apakah "pemain-yang-tak-sengaja-membunuh" itu bermain juga? Berhubung sudah terlanjur penasaran, akhirnya di kampus selama beberapa hari saya memantau perkembangan berita soal kematian Jumadi Abdi.
Perkembangan selanjutnya selama beberapa hari menimbulkan banyak fakta menarik. Ada kenyataan yang tragis, bahwa Jumadi meninggal sehari setelah ulang tahunnya yang ke 26 (nb: Jumadi lahir pada tanggal 14 Maret 1983). Yang lebih menyakitkan lagi, Jumadi sebenarnya tinggal menghitung hari untuk melepas masa lajangnya. Menurut kabar yang beredar, bulan Mei mendatang Jumadi akan menyunting kekasihnya Robiatul. Tapi sebelum semua itu tercapai, Jumadi telah terlebih dahulu meregang nyawa.
PKT sendiri sangat kehilangan Jumadi, baik secara teknis maupun secara moril. Jumadi adalah pemain penting buat PKT, nyaris selalu menjadi starting eleven bahkan sempat beberapa kali turun sebagai kapten. Pemain bernomor punggung 7 yang juga pernah bermain untuk Persiba Balikpapan, Persikota Tangerang, dan Pelita Krakatau Steel ini juga dikontrak cukup mahal untuk ukuran pemain lokal, 400 juta semusim. Hampir masuk kisaran kontrak pemain asing.
Selanjutnya, yang aku pikirin adalah "Siapa dan seperti apakah pelanggaran yang menewaskan Jumadi?". Belakangan akhirnya saya tau bahwa pemain yang berbenturan dengan Jumadi bernama Denny J. Tarkas, pemain belakang dari Persela. Nama ini cukup asing di telinga saya. Padahal Persela sering disiarkan langsung di televisi, tapi pemain ini jarang terdengar namanya. Satu-satunya "Tarkas" yang saya tahu adalah Diva Tarkas, pemain PSM Makassar. Dengan kata lain, si Denny ini pemain cadangan. Ketika saya melanjutkan searching, akhirnya ketemu juga video insiden itu, insiden yang membuat Jumadi Abdi meregang nyawa selama seminggu di rumah sakit sebelum akhirnya berpulang. Ini dia videonya:
Ngeri juga ngeliat tayangan ulangnya. Kronologis: Bola dari daerah pertahanan PKT dibuang melambung ke daerah Persela. Bola liar dihalau kembali ke tengah lapangan oleh bek Persela, Fabiano. Bola di tanggung tersebut diterima oleh Jumadi Abdi yang langsung melesat ke depan. Denny Tarkas siap menghadang di depannya. Sadar bahwa Denny sudah mengangkat kaki, Jumadi melakukan tipuan dengan mengangkat bola ke arah lain. Nahasnya, kaki Denny yang terangkat tinggi tersebut masuk dengan telak, menghantam perut Jumadi. Wasit Mukhlis Ali Fathoni memberikan pelanggaran dan mengacungkan kartu kuning untuk Denny.
Cukup mengherankan bahwa pelanggaran horor seperti itu tidak membuat wasit mengeluarkan kartu merah. Whatever.
Well, sebenarnya situasi fifty-fifty seperti itu sudah jamak terjadi di sepakbola. Mengangkat kaki setinggi itu juga sudah bukan hal tabu di Indonesia. Tapi--tanpa bermaksud memihak atau memanaskan suasana--ada beberapa momentum sekaligus yang sama sekali bertentangan dengan unsur sportifitas.
Pertama, Denny sudah melakukan ancang-ancang dari jauh, mengangkat kaki dengan agak ngawur (bisa dilihat dari seberapa tinggi kakinya terangkat) seolah tanpa memperhatikan arah bola langsung menuju tubuh Jumadi.
Kedua, dengan posisi kaki terkena telak ke arah perut, pelanggaran ini tidak lagi sekedar membahayakan karir, tapi juga membahayakan nyawa. Wasit hanya memberikan kartu kuning... Entahlah, mungkin karena kebiasaan di Indonesia yang punya standard pelanggaran yang rendah.
Ketiga, katakanlah dengan asumsi apapun bahwa Denny tidak sengaja. Tapi setelah pelanggaran dan acungan kartu kuning, sama sekali nggak terlihat itikad baik dari Denny untuk menunjukkan rasa bersalah. Denny langsung berlari kembali ke daerah pertahanannya, bukan menghampiri Jumadi untuk meminta maaf atau mengecek keadaannya. No sympathy, no feel sorry, not even give a damn about being sportive.
Dengan keadaan di atas, pantas saja publik sepakbola Indonesia marah, terutama masyarakat Bontang, Kalimantan Timur. Hal itu terlihat dari beberapa forum terkenal di internet yang membahas tentang pelanggaran tersebut. Hampir semua mengutuk, atau setidaknya menyesalkan pelanggaran mengerikan tersebut, terlebih lagi Jumadi pada akhirnya tewas.
Penyebab kematian Jumadi--berdasarkan informasi yang dikutip dari Tempo Interaktif--adalah kegagalan multi organ tubuh. Berawal dari pecahnya usus halus, yang membuat kotoran dan kuman-kuman yang harusnya keluar lewat dubur jadi menyebar ke rongga perut yang harusnya steril bersih. Kuman-kuman tersebut menyebar dan mengganggu fungsi organ vitalnya. Pertama-tama ginjal, paru-paru, liver, hingga akhirnya jantung Jumadi tifak berfungsi dengan baik. Pertolongan berupa lebih dari 20 kantong darah berukuran masing-masing 250 cc menjadi percuma.
Sungguh efek domino cedera yang mengerikan. Bahkan saat menulis sekarang, saya jadi agak takut juga untuk bermain futsal, yang biasanya rutin saya lakukan.
Jumadi Abdi saat masih dirawat
Insiden ini bisa dibilang sebenarnya adalah fenomena gunung es di persepakbolaan Indonesia, bahwa kecenderungan sengaja mencederai lawan apabila kalah perebutan bola sudah menjadi hal yang biasa. Saya bukannya asal ngomong, seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa saya adalah maniak ISL yang nyaris selalu menonton siaran langsung di televisi dan menyaksikan banyak sekali pelanggaran-pelanggaran berbahaya yang dilakukan pemain.
Para pemain telah dibiasakan sejak dini bahwa pelanggaran semacam itu bukanlah perbuatan yang terlarang. Didukung oleh wasit yang kadang terlalu lembek dan cenderung takut untuk memberi kartu merah langsung atas pelanggaran kelas berat yang sama sekali tidak melibatkan bola. Sebenarnya, masih ada banyak Denny Tarkas-Denny Tarkas lainnya di Indonesia, yang sudah terlanjur menganggap pelanggaran fatal adalah normal dan bagian dari permainan.
Bedanya adalah di kejadian lain pelanggaran barbar tersebut tidak sampai merenggut korban jiwa, karena itulah tabiat tersebut cenderung dianggap biasa dan tidak ter-blow up oleh publik. Apakah bisa dibilang Denny Tarkas sedang sial? Menurut saya iya.
Mungkin masih bisa diperdebatkan apakah kaki Denny masuk dengan sengaja ke perut Jumadi atau tidak, namun satu yang pasti adalah Denny tidak berharap ataupun menyangka bahwa pelanggaran tersebut berujung pada kematian. Ratusan pelanggaran serupa terjadi setiap tahunnya tanpa korban jiwa dan tanpa ada perhatian serius dari pihak-pihak terkait. Denny sendiri shock dan stress berat setelah kejadian tersebut, konon dia menyendiri untuk menenangkan diri di Sulawesi sembari menunggu panggilan dari komdis.
Denny sudah menyatakan menyesal, meminta maaf, dan pasrah atas hukuman apapun yang akan diberikan kepadanya.
Dan satu yang tidak boleh ketinggalan adalah perbaikan kualitas wasit. Mukhlis memang tidak bisa mencegah insiden tersebut terjadi, tapi hanya memberikan kartu kuning untuk kejadian itu adalah sesuatu yang keterlaluan. Diperlukan wasit yang tegas untuk memberikan efek jera dan menarik garis batas yang jelas antara pelanggaran yang bisa ditoleransi dan terlarang dilakukan.
Peristiwa ini membuat shock segenap elemen di PKT Bontang dan Kalimantan Timur, terutama kiper Deni Marcel yang merupakan teman Jumadi sejak Sekolah Dasar. Skuat PKT sendiri sedang berada di Papua untuk menjalani partai tandang melawan Persipura. Entah apa yang terbayang di benak para pemain setelah mendengar kabar duka yang mendadak tersebut.
Selamat jalan Jumadi. Semoga kau damai di SisiNya. Kau akan selalu dikenang sebagai salah satu pahlawan bagi dunia sepakbola Indonesia. Semoga persepakbolaan Indonesia bisa berbenah dari kejadian ini, agar tidak ada lagi korban selanjutnya dan kau bisa tersenyum tenang di alam sana...
Selamat jalan, Jumadi Abdi...
No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.