Well, setelah liat kiprah
timnas Indonesia secara menyeluruh dari awal sampe akhir, saya tergoda untuk
bikin review tentang AFF Cup kali ini. Review AFF Cup bukan hal baru juga sih
buat saya. 2 tahun lalu saya juga membuat review edisi AFF Cup tahun 2008 yang dijuarai oleh
Vietnam. Buat yang mau baca, silahkan lihat ke sini: Vietnam
Bisa, Kapan Indonesia?
Dari tulisan singkat saya 2 tahun lalu, jelas sudah ada perubahan berarti dari Timnas Indonesia, baik dari segi permainan maupun pencapaian. Setidaknya, di AFF kali ini kita masuk final dan selalu meraih kemenangan, kecuali satu partai di Kuala Lumpur melawan Malaysia (yang ternyata menghancurkan segalanya).
Sebenernya, Indonesia menyambut AFF Cup dengan pesimis. Persiapan kurang maksimal karena satu dan lain hal. Salah satunya adalah ketika striker terbaik timnas yang sedang on-fire dan menjadi topskor di liga, Boaz Solossa, terpaksa tidak masuk tim karena tak bisa ikut TC setelah anak-anaknya sakit keras. Ada tambahan darah baru memang dari El Loco Gonzales dan Irfan Bachdim, tapi mereka masih butuh waktu untuk bisa tune in dengan gaya bermain Indonesia. Selain itu, timnas juga kurang mantap dalam menjalani laga-laga persiapan. Masih ingat ketika Indonesia dipermak 7-1 oleh Uruguay di GBK? Setelah itu Timnas cenderung memilih lawan-lawan mudah seperti Taiwan, Timor Leste, dan Maladewa sebagai rekan tanding. Tentu saja mereka semua bisa dikalahkan dengan mudah. Secara mental pemain mungkin sedikit terangkat, tapi untuk teknik jelas kita belum teruji.
Karena itulah, banyak pihak yang terkejut dengan hasil luar biasa yang dicapai timnas di dua partai awal. Menang mutlak lawan Laos mungkin bukan hal baru, tapi membantai Malaysia 5-1 jelas jauh melebihi prediksi para pengamat. Segera, seluruh rakyat Indonesia tenggelam dalam euforia. Kacaunya persiapan timnas sebelum turnamen seolah tidak ada efeknya. Indonesia akhirnya lolos sebagai juara grup setelah menebas musuh bebuyutannya, Thailand, dengan skor 2-1. Saat menang atas Thailand yang notabene secara kualitas berada di atas ini sebenarnya sudah terlihat bahwa kualitas permainan timnas tidak sebagus pertandingan sebelumnya. Indonesia baru benar-benar 'bermain bola' di 15 menit terakhir dan tertolong oleh 2 penalti yang diberikan oleh wasit.
Bicara soal tolong menolong, kemenangan atas Thailand ini secara nggak langsung meloloskan Malaysia ke semifinal (dan ujung-ujungnya juara). Ironis, karena seandainya pertandingan lawan Thailand berakhir imbang, maka Malaysia dipastikan masuk kotak lebih awal.
Indonesia menghadapi Filipina di semifinal, negara yang sebelumnya selalu jadi lumbung gol tapi sekarang berubah menjadi kekuatan baru dengan 9 pemain naturalisasi menghuni skuad utama. Indonesia mendapat keuntungan dengan menjadi tuan rumah di 2 leg semifinal. Indonesia masing-masing hanya menang tipis 1-0, dua-duanya berkat kualitas individu dari seorang Christian Gonzalez, bukan dari skema serangan yang matang. Meskipun dominan, jelas ada spirit yang hilang dari permainan timnas jika dibandingkan dengan fase grup. Ada sesuatu yang salah, yang tidak terlihat oleh mata. Sesuatu telah mulai menggerogoti 'roh' Pasukan Garuda dari dalam. Tapi mayoritas masyarakat (dan terutama media massa) tidak menganggapnya sebagai hal yang serius karena hasil akhirnya tetep aja Indonesia menang.
Euforia dan ekspektasi semakin meninggi menjelang final lawan Malaysia. Kita seolah merasa sudah juara sebelum final digelar, seolah pertandingan sesungguhnya hanya formalitas belaka. Timnas semakin diekspos dan diobok-obok dengan acara yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola. Datang ke Bukit Jalil dengan jumawa, ternyata kelebihan teknik yang timnas miliki tidak dipergunakan dengan semestinya. Terlihat lelah secara mental, timnas dihempaskan lewat 3 gol yang tercipta hanya dalam waktu 15 menit. Kekalahan pertama Indonesia di Piala AFF terjadi di fase paling menentukan.
Indonesia masih berharap bisa membalik keadaan di GBK, tapi harapan itu sudah saya anggap musnah setelah eksekusi penalti yang buruk dari Firman Utina di menit-menit awal. Apalagi kemudian Indonesia kecolongan gol terlebih dahulu. Sayonara, AFF Cup.
Indonesia Secara Teknik Permainan...
Sekarang saya akan mencoba bahas kiprah timnas dari sudut pandang saya pribadi secara 'teknis'. Sejak ditangani Riedl, Indonesia bermain dengan formasi dasar 4-4-2 dengan sedikit modifikasi menjadi 4-4-1-1 ketika Irfan Bachdim masuk menjadi second striker di belakang Gonzalez yang menjadi target man. Formasi Riedl ini lebih menekankan serangan pada dua sayap (Okto dan Ridwan) yang saling bergantian mengisi posisi dengan dua fullback di masing-masing sisi (Zulkifli dan Nasuha), baik dalam bertahan maupun menyerang. Sedangkan untuk sentral pertahanan, setelah Nova dan Charis yang sudah menurun performanya nggak lagi masuk timnas, posisi duet palang pintu diisi oleh pasangan ideal Maman dan Hamka. Tidak hanya punya postur ideal, tapi mereka juga cukup punya speed dan offence abilty yang lumayan mumpuni.
Uniknya, meskipun alur serangan ditumpukan kepada sayap, tapi itu lebih kepada pengalih perhatian agar sisi tengah lawan lebih terbuka dan bisa diterobos dari tengah, baik lewat through pass, long pass, maupun pergerakan individu dari Bustomi dan Firman sebagai dinamo lini tengah. Terbukti, sebagian besar gol Indonesia justru tercipta lewat proses di area tengah, bukan sayap yang dominan mendapatkan suplai bola. Gonzalez stay di depan untuk mengacaukan koordinasi defender lawan, sedangkan Irfan diberikan free role, lebih leluasa mengeksplore daerah pertahanan lawan dari sisi manapun.
Skema ini berjalan dengan sangat sukses di 2 pertandingan pertama. Selain terjadi pesta gol, umpan-umpan yang terjalin antar pemain juga atraktif dan akurat. Peralihan antara menyerang dan bertahan berjalan dengan sempurna. Performa beberapa pemain terlihat menonjol dan banjir pujian, seperti misalnya Okto, Irfan, dan Firman. Titik baliknya ada di pertandingan ketiga lawan Thailand, permainan timnas menurun dan tidak mampu sepenuhnya pulih sampai akhir turnamen. Serangan lewat sayap jadi terasa monoton, begitu juga dengan umpan panjang langsung ke kotak penalti yang begitu mudah dipatahkan lini bertahan lawan. Kreatifitas yang menonjol di pertandingan awal tidak lagi muncul sejak saat itu, entah kenapa. Ketika melawan Thailand, Filipina, dan Malaysia, gol-gol yang diciptakan oleh Indonesia tidak lagi tercipta dari skema kerjasama dan umpan-umpan yang terencana dengan matang
Pertandingan lawan Thailand juga layak disebut sebagai turning point karena beberapa pemain mengalami perubahan performa yang signifikan sejak partai ini. Beberapa pemain sebelumnya tampil luar biasa, tapi sejak pertandingan lawan Thailand jadi melempem sampai final. Misalnya Okto, Maman, Irfan, dan Ridwan. Skill dribling dan crossing Okto tidak lagi terlihat, bahkan di Bukit Jalil dia melakukan pelanggaran yang konyol sehingga terkena akumulasi kartu. Ridwan kehilangan visi dan terlalu mudah kehilangan bola di saat-saat penting. Bahkan di final, satu-satunya kontribusi Ridwan hanya gol kedua karena selebihnya sayap kanan Indonesia nyaris disfungsional. Sedangkan Maman yang begitu kokoh di awal turnamen jadi mudah kehilangan fokus dan sering melakukan kesalahan elementer. Momen Maman kecolongan bola oleh Norshahrul di leg pertama final adalah blunder fatal yang seharusnya tidak terjadi di pertandingan final, melahirkan gol pertama Malaysia dan meruntuhkan moral Indonesia. Ketika bermain di GBK, giliran kesalahan umpan yang sangat mendasar dari Maman memudahkan Ashaari untuk mengirim assist yang berbuah gol untuk Malaysia.
Tapi selain mereka, ada juga pemain yang permainannya justru menanjak setelah pertandingan lawan Thailand, misalnya Bustomi, Bambang, dan Hamka. Bustomi tampil sangat heroik di sangat penuh determinasi dan tidak kenal lelah terutama di babak final, bahkan beberapa orang menganggap Bustomi lebih layak mendapatkan gelar pemain terbaik turnamen. Sementara Bambang yang sejak awal turnamen gagal mendapatkan tempat inti dan dihujani kritik dari masyarakat mampu membuktikan bahwa keberadaannya lebih dari sekedar non-playing captain, tapi sebagai pengobar semangat dan penjaga mental bagi tim. Sedangkan Hamka setelah membuat blunder fatal di pertandingan pembuka berhasil berbenah dan menjelma jadi benteng tangguh di sepanjang sisa turnamen.
Indonesia Secara (uhuk...) Non Teknis
Lebih dari event-event sebelumnya, bicara soal timnas di Piala AFF kali ini tidak akan lepas dari 'kiprah' PSSI dan sang ketua yang akhir-akhir ini makin sering menjadi bahan hujatan, Nurdin Halid. Sejak sempat tersangkut kasus korupsi beberapa tahun lalu, bisa dibilang bapak yang satu ini secara perlahan kehilangan simpati dari kalangan suporter. Tambah lagi, prestasi Indonesia belum menuai prestasi yang pasti dalam masa kepemimpinan beliau. Sempat muncul isu kudeta saat KSN di Malang, tekanan kepada beliau ini semakin kuat menjelang Piala AFF.
Masih ingat ketika Uruguay menghancurkan Indonesia 1-7 di GBK? Saat itu stadion sontak dipenuhi teriakan "Nurdin Turun". Banyak media yang percaya, faktor inilah yang membuat PSSI tidak berani memilih lawan tangguh di uji coba selanjutnya sebelum turnamen. Sempat muncul nama Pantai Gading, Honduras, dan Korea Utara (FYI, ketiganya lolos putaran final Piala Dunia) sebagai calon lawan, ternyata Indonesia akhirnya malah hanya beruji coba dengan tim seperti Timor Leste, Maladewa, dan Taiwan yang notabene jelas dibawah level timnas. Meskipun menang besar, muncul isu bahwa pelatih dan pemain kurang puas dengan pemilihan lawan tanding yang kualitasnya timpang tersebut.
Setelah 2 pertandingan awal turnamen dilalui dengan gemilang, gangguan non teknis muncul dari kalangan media. Pemain-pemain timnas yang seharusnya tetap fokus dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertandingan malah mendapak ekspose dan interview berlebihan dari berbagai media, termasuk anggota keluarga mereka. Secara nggak langsung, perlakuan media ini juga membuat ekspektasi masyarakat lebih tinggi dari seharusnya, menjadikan beban tambahan untuk skuad timnas.
Ketika timnas memastikan diri bakal melawan Filipina di semifinal, media semakin menggila. Mereka bersikap seolah timnas sudah juara. Bahkan program infotainment dan talkshow berlomba-lomba menjadikan timnas dan pemain-pemainnya sebagai artis dadakan yang selalu menghiasi pemberitaan setiap waktunya. Euforia yang terlalu dini dan benar-benar berpotensi buruk. Meskipun kita nggak menang meyakinkan atas Filipina, pemberitaan mulai menggila menjelang partai final.
Gangguan lain muncul dari dalam. Saya menyimak rangkaian tweet dari @hedi, seorang pengamat sepakbola yang sepertinya memiliki sumber dari orang dalam. Konon mulai banyak 'alien' bermunculan di ruang ganti timnas sejak semifinal. Mereka adalah para pejabat baik dari dalam maupun luar PSSI yang mendadak jadi menaruh perhatian lebih terhadap timnas (beberapa orang menyebutnya sebagai 'cari muka'). Dari sinilah mulai tercium bau-bau timnas dimanfaatkan untuk keperluan politik. Pelatih Riedl jelas terusik, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah keadaan. Kalah teritori.
Puncaknya adalah sebelum partai final, di fase paling menentukan dimana harusnya pemain benar-benar harus bebas intervensi oleh urusan di luar lapangan. Pemain justru diajak sarapan di rumah salah satu ketua partai politik. Sampai saat ini saya bertanya-tanya, apa manfaatnya sarapan tersebut buat timnas? Kegiatan lain adalah kunjungan timnas ke suatu pesantren untuk melakukan istighosah, tentunya bersama pak ketua umum. Bukannya saya menafikkan kekuatan doa, tapi kegiatan tersebut benar-benar dilakukan di saat yang tidak tepat, terkesan dipaksakan ke dalam agenda timnas yang seharusnya dikontrol ketat.
Menjelang pertandingan pun masih ada hal-hal 'aneh' yang terjadi. Misalnya ketika skuad berganti rencana menggunakan pesawat yang dicarter oleh ketua partai politik yang tadi. Ada tambahan penumpang yang seharusnya tidak berada dalam pesawat tersebut, misalnya saja ada kru stasiun TV tertentu yang diperbolehkan melakukan wawancara kepada pemain di atas pesawat. Bahkan malam menjelang pertandingan, timnas masih harus menerima kunjungan Menpora seandainya saja Riedl tidak dengan tegas melarang. Yang paling mengenaskan, munculnya poster-poster dukungan raksasa dengan foto tokoh politik tertentu yang terpasang di Bukit Jalil. Memalukan.
Menurut saya pribadi, hal-hal ini jauh lebih mengganggu konsentrasi daripada sekedar permainan laser yang Malaysia yang sempat menjadi trending topic di Twitter. Benar-benar memalukan ketika kita menyalahkan laser sebagai penyebab kekalahan timnas di Bukit Jalil. Tanpa atau dengan laser, timnas memang bermain buruk hari itu. Selain itu, kita tidak sadar bahwa gangguan yang sebenarnya berasal dari orang Indonesia sendiri.
======================================================================
Ketika membaca lagi postingan saya dua tahun lalu tadi, saya menyadari ada beberapa kesamaan antar tim Vietnam yang juara tahun 2008 dengan Malaysia yang juara tahun ini. Yang pertama adalah kualitas pemain. Dua tahun lalu, Vietnam bisa dibilang merupakan tim terlemah di fase semifinal, begitu juga Malaysia tahun ini. Menurut saya, kualitas Malaysia sebenarnya masih dibawah semifinalis lain Indonesia, Vietnam, dan mungkin agak sejajar dengan Filipina. Sama seperti Vietnam yang 2 tahun lalu sangat bertumpu pada kiper Duong Hong Son dan forward Le Cong Vinh, kiprah Malaysia tahun ini juga terlihat sangat ditentukan oleh performa kiper Khairul Fahmi dan striker Safee Sali.
Dan persamaan yang paling menentukan gelar juara keduanya adalah: kerendahan hati, totalitas dan semangat nasionalisme. Indonesia memiliki 2 hal terakhir, tapi tidak dengan kerendahan hati. Faktor pertemuan pertama yang berakhir 5-1 bisa dibilang membawa efek psikologis yang besar, sehingga di pertemuan kedua di final Indonesia berada di posisi yang lebih diunggulkan dan sedikit jumawa, apalagi setelah serentetan hasil positif tak terkalahkan sampai semifinal. Sebaliknya, Malaysia yang hancur di partai pertama justru low profile karena pernah dipermak Indonesia dan selalu memandang tiap musuh berikutnya sebagai lawan tangguh.
Kalo boleh diibaratkan dengan final World Cup kemarin, Indonesia seperti Belanda yang dibanjiri pujian dengan rekor 100% menang sampai semifinal tapi justru anti-klimaks dengan kekalahan satu-satunya lawan Spanyol di final. Sebaliknya, nasib Malaysia mirip dengan Spanyol yang dihujani caci maki karena kalah di laga perdana, tapi berhasil bangkit dan menutup turnamen dengan hasil juara.
Penyesalan terbesar saya adalah karena seharusnya tahun ini adalah kesempatan terbesar buat Indonesia untuk meraih gelar juara. Selain menjadi tuan rumah, Indonesia juga terhindar dari 'penakluk' alami seperti Vietnam dan Singapura. Musuh bebuyutan, Thailand, juga sedang tampil buruk di turnamen. Tim lainnya seharusnya di atas kertas bisa diatasi.
Seharusnya... Ya, seandainya saja...
photo credit to gallerysepakbola
Dari tulisan singkat saya 2 tahun lalu, jelas sudah ada perubahan berarti dari Timnas Indonesia, baik dari segi permainan maupun pencapaian. Setidaknya, di AFF kali ini kita masuk final dan selalu meraih kemenangan, kecuali satu partai di Kuala Lumpur melawan Malaysia (yang ternyata menghancurkan segalanya).
Sebenernya, Indonesia menyambut AFF Cup dengan pesimis. Persiapan kurang maksimal karena satu dan lain hal. Salah satunya adalah ketika striker terbaik timnas yang sedang on-fire dan menjadi topskor di liga, Boaz Solossa, terpaksa tidak masuk tim karena tak bisa ikut TC setelah anak-anaknya sakit keras. Ada tambahan darah baru memang dari El Loco Gonzales dan Irfan Bachdim, tapi mereka masih butuh waktu untuk bisa tune in dengan gaya bermain Indonesia. Selain itu, timnas juga kurang mantap dalam menjalani laga-laga persiapan. Masih ingat ketika Indonesia dipermak 7-1 oleh Uruguay di GBK? Setelah itu Timnas cenderung memilih lawan-lawan mudah seperti Taiwan, Timor Leste, dan Maladewa sebagai rekan tanding. Tentu saja mereka semua bisa dikalahkan dengan mudah. Secara mental pemain mungkin sedikit terangkat, tapi untuk teknik jelas kita belum teruji.
Karena itulah, banyak pihak yang terkejut dengan hasil luar biasa yang dicapai timnas di dua partai awal. Menang mutlak lawan Laos mungkin bukan hal baru, tapi membantai Malaysia 5-1 jelas jauh melebihi prediksi para pengamat. Segera, seluruh rakyat Indonesia tenggelam dalam euforia. Kacaunya persiapan timnas sebelum turnamen seolah tidak ada efeknya. Indonesia akhirnya lolos sebagai juara grup setelah menebas musuh bebuyutannya, Thailand, dengan skor 2-1. Saat menang atas Thailand yang notabene secara kualitas berada di atas ini sebenarnya sudah terlihat bahwa kualitas permainan timnas tidak sebagus pertandingan sebelumnya. Indonesia baru benar-benar 'bermain bola' di 15 menit terakhir dan tertolong oleh 2 penalti yang diberikan oleh wasit.
Bicara soal tolong menolong, kemenangan atas Thailand ini secara nggak langsung meloloskan Malaysia ke semifinal (dan ujung-ujungnya juara). Ironis, karena seandainya pertandingan lawan Thailand berakhir imbang, maka Malaysia dipastikan masuk kotak lebih awal.
Indonesia menghadapi Filipina di semifinal, negara yang sebelumnya selalu jadi lumbung gol tapi sekarang berubah menjadi kekuatan baru dengan 9 pemain naturalisasi menghuni skuad utama. Indonesia mendapat keuntungan dengan menjadi tuan rumah di 2 leg semifinal. Indonesia masing-masing hanya menang tipis 1-0, dua-duanya berkat kualitas individu dari seorang Christian Gonzalez, bukan dari skema serangan yang matang. Meskipun dominan, jelas ada spirit yang hilang dari permainan timnas jika dibandingkan dengan fase grup. Ada sesuatu yang salah, yang tidak terlihat oleh mata. Sesuatu telah mulai menggerogoti 'roh' Pasukan Garuda dari dalam. Tapi mayoritas masyarakat (dan terutama media massa) tidak menganggapnya sebagai hal yang serius karena hasil akhirnya tetep aja Indonesia menang.
Euforia dan ekspektasi semakin meninggi menjelang final lawan Malaysia. Kita seolah merasa sudah juara sebelum final digelar, seolah pertandingan sesungguhnya hanya formalitas belaka. Timnas semakin diekspos dan diobok-obok dengan acara yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola. Datang ke Bukit Jalil dengan jumawa, ternyata kelebihan teknik yang timnas miliki tidak dipergunakan dengan semestinya. Terlihat lelah secara mental, timnas dihempaskan lewat 3 gol yang tercipta hanya dalam waktu 15 menit. Kekalahan pertama Indonesia di Piala AFF terjadi di fase paling menentukan.
Indonesia masih berharap bisa membalik keadaan di GBK, tapi harapan itu sudah saya anggap musnah setelah eksekusi penalti yang buruk dari Firman Utina di menit-menit awal. Apalagi kemudian Indonesia kecolongan gol terlebih dahulu. Sayonara, AFF Cup.
Indonesia Secara Teknik Permainan...
Sekarang saya akan mencoba bahas kiprah timnas dari sudut pandang saya pribadi secara 'teknis'. Sejak ditangani Riedl, Indonesia bermain dengan formasi dasar 4-4-2 dengan sedikit modifikasi menjadi 4-4-1-1 ketika Irfan Bachdim masuk menjadi second striker di belakang Gonzalez yang menjadi target man. Formasi Riedl ini lebih menekankan serangan pada dua sayap (Okto dan Ridwan) yang saling bergantian mengisi posisi dengan dua fullback di masing-masing sisi (Zulkifli dan Nasuha), baik dalam bertahan maupun menyerang. Sedangkan untuk sentral pertahanan, setelah Nova dan Charis yang sudah menurun performanya nggak lagi masuk timnas, posisi duet palang pintu diisi oleh pasangan ideal Maman dan Hamka. Tidak hanya punya postur ideal, tapi mereka juga cukup punya speed dan offence abilty yang lumayan mumpuni.
Uniknya, meskipun alur serangan ditumpukan kepada sayap, tapi itu lebih kepada pengalih perhatian agar sisi tengah lawan lebih terbuka dan bisa diterobos dari tengah, baik lewat through pass, long pass, maupun pergerakan individu dari Bustomi dan Firman sebagai dinamo lini tengah. Terbukti, sebagian besar gol Indonesia justru tercipta lewat proses di area tengah, bukan sayap yang dominan mendapatkan suplai bola. Gonzalez stay di depan untuk mengacaukan koordinasi defender lawan, sedangkan Irfan diberikan free role, lebih leluasa mengeksplore daerah pertahanan lawan dari sisi manapun.
Skema ini berjalan dengan sangat sukses di 2 pertandingan pertama. Selain terjadi pesta gol, umpan-umpan yang terjalin antar pemain juga atraktif dan akurat. Peralihan antara menyerang dan bertahan berjalan dengan sempurna. Performa beberapa pemain terlihat menonjol dan banjir pujian, seperti misalnya Okto, Irfan, dan Firman. Titik baliknya ada di pertandingan ketiga lawan Thailand, permainan timnas menurun dan tidak mampu sepenuhnya pulih sampai akhir turnamen. Serangan lewat sayap jadi terasa monoton, begitu juga dengan umpan panjang langsung ke kotak penalti yang begitu mudah dipatahkan lini bertahan lawan. Kreatifitas yang menonjol di pertandingan awal tidak lagi muncul sejak saat itu, entah kenapa. Ketika melawan Thailand, Filipina, dan Malaysia, gol-gol yang diciptakan oleh Indonesia tidak lagi tercipta dari skema kerjasama dan umpan-umpan yang terencana dengan matang
Pertandingan lawan Thailand juga layak disebut sebagai turning point karena beberapa pemain mengalami perubahan performa yang signifikan sejak partai ini. Beberapa pemain sebelumnya tampil luar biasa, tapi sejak pertandingan lawan Thailand jadi melempem sampai final. Misalnya Okto, Maman, Irfan, dan Ridwan. Skill dribling dan crossing Okto tidak lagi terlihat, bahkan di Bukit Jalil dia melakukan pelanggaran yang konyol sehingga terkena akumulasi kartu. Ridwan kehilangan visi dan terlalu mudah kehilangan bola di saat-saat penting. Bahkan di final, satu-satunya kontribusi Ridwan hanya gol kedua karena selebihnya sayap kanan Indonesia nyaris disfungsional. Sedangkan Maman yang begitu kokoh di awal turnamen jadi mudah kehilangan fokus dan sering melakukan kesalahan elementer. Momen Maman kecolongan bola oleh Norshahrul di leg pertama final adalah blunder fatal yang seharusnya tidak terjadi di pertandingan final, melahirkan gol pertama Malaysia dan meruntuhkan moral Indonesia. Ketika bermain di GBK, giliran kesalahan umpan yang sangat mendasar dari Maman memudahkan Ashaari untuk mengirim assist yang berbuah gol untuk Malaysia.
Tapi selain mereka, ada juga pemain yang permainannya justru menanjak setelah pertandingan lawan Thailand, misalnya Bustomi, Bambang, dan Hamka. Bustomi tampil sangat heroik di sangat penuh determinasi dan tidak kenal lelah terutama di babak final, bahkan beberapa orang menganggap Bustomi lebih layak mendapatkan gelar pemain terbaik turnamen. Sementara Bambang yang sejak awal turnamen gagal mendapatkan tempat inti dan dihujani kritik dari masyarakat mampu membuktikan bahwa keberadaannya lebih dari sekedar non-playing captain, tapi sebagai pengobar semangat dan penjaga mental bagi tim. Sedangkan Hamka setelah membuat blunder fatal di pertandingan pembuka berhasil berbenah dan menjelma jadi benteng tangguh di sepanjang sisa turnamen.
Indonesia Secara (uhuk...) Non Teknis
Lebih dari event-event sebelumnya, bicara soal timnas di Piala AFF kali ini tidak akan lepas dari 'kiprah' PSSI dan sang ketua yang akhir-akhir ini makin sering menjadi bahan hujatan, Nurdin Halid. Sejak sempat tersangkut kasus korupsi beberapa tahun lalu, bisa dibilang bapak yang satu ini secara perlahan kehilangan simpati dari kalangan suporter. Tambah lagi, prestasi Indonesia belum menuai prestasi yang pasti dalam masa kepemimpinan beliau. Sempat muncul isu kudeta saat KSN di Malang, tekanan kepada beliau ini semakin kuat menjelang Piala AFF.
Masih ingat ketika Uruguay menghancurkan Indonesia 1-7 di GBK? Saat itu stadion sontak dipenuhi teriakan "Nurdin Turun". Banyak media yang percaya, faktor inilah yang membuat PSSI tidak berani memilih lawan tangguh di uji coba selanjutnya sebelum turnamen. Sempat muncul nama Pantai Gading, Honduras, dan Korea Utara (FYI, ketiganya lolos putaran final Piala Dunia) sebagai calon lawan, ternyata Indonesia akhirnya malah hanya beruji coba dengan tim seperti Timor Leste, Maladewa, dan Taiwan yang notabene jelas dibawah level timnas. Meskipun menang besar, muncul isu bahwa pelatih dan pemain kurang puas dengan pemilihan lawan tanding yang kualitasnya timpang tersebut.
Setelah 2 pertandingan awal turnamen dilalui dengan gemilang, gangguan non teknis muncul dari kalangan media. Pemain-pemain timnas yang seharusnya tetap fokus dengan hal-hal yang berhubungan dengan pertandingan malah mendapak ekspose dan interview berlebihan dari berbagai media, termasuk anggota keluarga mereka. Secara nggak langsung, perlakuan media ini juga membuat ekspektasi masyarakat lebih tinggi dari seharusnya, menjadikan beban tambahan untuk skuad timnas.
Ketika timnas memastikan diri bakal melawan Filipina di semifinal, media semakin menggila. Mereka bersikap seolah timnas sudah juara. Bahkan program infotainment dan talkshow berlomba-lomba menjadikan timnas dan pemain-pemainnya sebagai artis dadakan yang selalu menghiasi pemberitaan setiap waktunya. Euforia yang terlalu dini dan benar-benar berpotensi buruk. Meskipun kita nggak menang meyakinkan atas Filipina, pemberitaan mulai menggila menjelang partai final.
Gangguan lain muncul dari dalam. Saya menyimak rangkaian tweet dari @hedi, seorang pengamat sepakbola yang sepertinya memiliki sumber dari orang dalam. Konon mulai banyak 'alien' bermunculan di ruang ganti timnas sejak semifinal. Mereka adalah para pejabat baik dari dalam maupun luar PSSI yang mendadak jadi menaruh perhatian lebih terhadap timnas (beberapa orang menyebutnya sebagai 'cari muka'). Dari sinilah mulai tercium bau-bau timnas dimanfaatkan untuk keperluan politik. Pelatih Riedl jelas terusik, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah keadaan. Kalah teritori.
Puncaknya adalah sebelum partai final, di fase paling menentukan dimana harusnya pemain benar-benar harus bebas intervensi oleh urusan di luar lapangan. Pemain justru diajak sarapan di rumah salah satu ketua partai politik. Sampai saat ini saya bertanya-tanya, apa manfaatnya sarapan tersebut buat timnas? Kegiatan lain adalah kunjungan timnas ke suatu pesantren untuk melakukan istighosah, tentunya bersama pak ketua umum. Bukannya saya menafikkan kekuatan doa, tapi kegiatan tersebut benar-benar dilakukan di saat yang tidak tepat, terkesan dipaksakan ke dalam agenda timnas yang seharusnya dikontrol ketat.
Menjelang pertandingan pun masih ada hal-hal 'aneh' yang terjadi. Misalnya ketika skuad berganti rencana menggunakan pesawat yang dicarter oleh ketua partai politik yang tadi. Ada tambahan penumpang yang seharusnya tidak berada dalam pesawat tersebut, misalnya saja ada kru stasiun TV tertentu yang diperbolehkan melakukan wawancara kepada pemain di atas pesawat. Bahkan malam menjelang pertandingan, timnas masih harus menerima kunjungan Menpora seandainya saja Riedl tidak dengan tegas melarang. Yang paling mengenaskan, munculnya poster-poster dukungan raksasa dengan foto tokoh politik tertentu yang terpasang di Bukit Jalil. Memalukan.
Menurut saya pribadi, hal-hal ini jauh lebih mengganggu konsentrasi daripada sekedar permainan laser yang Malaysia yang sempat menjadi trending topic di Twitter. Benar-benar memalukan ketika kita menyalahkan laser sebagai penyebab kekalahan timnas di Bukit Jalil. Tanpa atau dengan laser, timnas memang bermain buruk hari itu. Selain itu, kita tidak sadar bahwa gangguan yang sebenarnya berasal dari orang Indonesia sendiri.
======================================================================
Ketika membaca lagi postingan saya dua tahun lalu tadi, saya menyadari ada beberapa kesamaan antar tim Vietnam yang juara tahun 2008 dengan Malaysia yang juara tahun ini. Yang pertama adalah kualitas pemain. Dua tahun lalu, Vietnam bisa dibilang merupakan tim terlemah di fase semifinal, begitu juga Malaysia tahun ini. Menurut saya, kualitas Malaysia sebenarnya masih dibawah semifinalis lain Indonesia, Vietnam, dan mungkin agak sejajar dengan Filipina. Sama seperti Vietnam yang 2 tahun lalu sangat bertumpu pada kiper Duong Hong Son dan forward Le Cong Vinh, kiprah Malaysia tahun ini juga terlihat sangat ditentukan oleh performa kiper Khairul Fahmi dan striker Safee Sali.
Dan persamaan yang paling menentukan gelar juara keduanya adalah: kerendahan hati, totalitas dan semangat nasionalisme. Indonesia memiliki 2 hal terakhir, tapi tidak dengan kerendahan hati. Faktor pertemuan pertama yang berakhir 5-1 bisa dibilang membawa efek psikologis yang besar, sehingga di pertemuan kedua di final Indonesia berada di posisi yang lebih diunggulkan dan sedikit jumawa, apalagi setelah serentetan hasil positif tak terkalahkan sampai semifinal. Sebaliknya, Malaysia yang hancur di partai pertama justru low profile karena pernah dipermak Indonesia dan selalu memandang tiap musuh berikutnya sebagai lawan tangguh.
Kalo boleh diibaratkan dengan final World Cup kemarin, Indonesia seperti Belanda yang dibanjiri pujian dengan rekor 100% menang sampai semifinal tapi justru anti-klimaks dengan kekalahan satu-satunya lawan Spanyol di final. Sebaliknya, nasib Malaysia mirip dengan Spanyol yang dihujani caci maki karena kalah di laga perdana, tapi berhasil bangkit dan menutup turnamen dengan hasil juara.
Penyesalan terbesar saya adalah karena seharusnya tahun ini adalah kesempatan terbesar buat Indonesia untuk meraih gelar juara. Selain menjadi tuan rumah, Indonesia juga terhindar dari 'penakluk' alami seperti Vietnam dan Singapura. Musuh bebuyutan, Thailand, juga sedang tampil buruk di turnamen. Tim lainnya seharusnya di atas kertas bisa diatasi.
Seharusnya... Ya, seandainya saja...
photo credit to gallerysepakbola

No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.