Thursday, January 31, 2013

Arnau Riera, Kisah Tragis Calon Bintang Barcelona

Arnau Riera, mantan kapten Messi & eks tandem Iniesta

Tulisan ini pertama kali saya publikasikan di footballfandom.net

Apakah yang anda pikirkan ketika mendengar kata Barcelona B? Mungkin langsung terlintas di benak anda sekelompok pemuda berbaju biru merah bertiki-taka ria di sebuah kompleks akademi sepakbola yang konon terbaik di dunia. Ya, Barcelona B adalah tahapan filter terakhir dari akademi legendaris La Masia sebelum menembus skuat utama Barcelona. Tidak perlu saya sebutkan lagi rasanya siapa saja jebolan La Masia melalui Barcelona B yang menjadi tulang punggung generasi emas Blaugrana dekade ini. Begitu berjubelnya talenta di Barcelona B, banyak di antara mereka yang tidak berhasil menembus skuat utama Barca memutuskan pindah dan menjadi pemain andalan di tim lain. Tengoklah nama-nama seperti de la Pena, Rufete, Arteta, Bojan Krkic, Luis Garcia, Thiago Motta, dan masih banyak lagi yang lain.

Memiliki Barcelona B dalam curriculum vitae seolah menjadi jaminan bahwa seorang pemain bisa bermain bola dengan benar. Tapi kadang portofolio menjanjikan dan teknik bermain yang bagus belum tentu berujung kesuksesan, nasib dan pengambilan keputusan juga sangat berpengaruh bagi karir seseorang. Coba tanyakan itu kepada Arnau Riera, pemain yang digadang-gadang sebagai salah satu alumnus terbaik Barcelona B. Arnau pernah berduet dengan Iniesta di jantung lini tengah Barcelona B dan bahkan mengkapteni Messi. Ketika dua mantan rekan setimnya tersebut berebut gelar Ballon d’Or tahun ini, Arnau di usianya yang ke 31 justru terasing memperkuat CD Manacor yang bermain di Tercera División atau divisi empat Liga Spanyol.


Sungguh kontras dan ironis.

Arnau Riera adalah putra asli Manacor, sebuah kota di pulau Mallorca yang masuk kepulauan Balearic di sisi timur semenanjung Iberia, yang juga merupakan tempat kelahiran Rafael Nadal, Miguel Angel Nadal, dan juga Albert Riera. Sebagai putra daerah, karir juniornya dihabiskan di tim local Manacor dan RCD Mallorca. Talentanya sebagai seorang gelandang tengah yang bisa juga bermain di sisi kiri menarik minat Barcelona, yang merekrutnya di usia 19 tahun untuk kemudian ditempa terlebih dahulu di Barcelona B. Di sana dia diplot mengisi lini tengah bersama pemuda pucat yang juga baru didatangkan dari Albacete, Andres Iniesta. Kolaborasi keduanya begitu padu dan saling mengisi, berujung pada keberhasilan Barca B meraih peringkat teratas di Segunda División B grup 2 di musim 2001/2002.

Setelah keberhasilan tersebut, Iniesta ditarik ke skuat utama oleh Louis van Gaal. Arnau sendiri tetap berada di Barca B dan naik pangkat menjadi kapten tim. Arnau mengkapteni sekaligus menjadi penyuplai bola bagi si bocah alien Lionel Messi yang bergabung di tim pada tahun 2004. Performanya yang stabil membuat Arnau digadang-gadang oleh fans sebagai pemain selanjutnya yang akan sukses menembus skuat utama Blaugrana. Arnau sendiri sempat menjadi bagian skuat utama dalam tur pre-season menghadapi Shakhtar, Marseille, Saint Etienne, dan tim nasional China. Tapi kesempatan untuk unjuk gigi di kompetisi resmi tidak kunjung datang.

Akhirnya di musim panas 2006, Arnau Riera yang sudah berusia 24 tahun dihadapan pada sebuah pilihan. Bertahan di Barca B dan menunggu kesempatan naik kelas yang entah kapan datangnya atau hijrah ke klub lain demi peluang yang lebih besar. Kebetulan saat dia diminati beberapa klub asal Britania Raya seperti Southampton, Sunderland, dan Heart of Midlothian. Hati kecil Arnau ingin bertahan di Barca, tapi menyadari usianya yang sudah semakin dewasa dia tentu menginginkan bermain di skuad utama. Akhirnya Arnau memilih untuk pergi dengan free transfer dan menandatangani kontrak 3 tahun dengan gaji 3,000 pound per pekan bersama Sunderland. Manajer Niall Quinn yang memantaunya selama 10 hari trial memuji Arnau sebagai “Gelandang yang komplit, kreatif tapi juga efektif dalam melakukan tackling. Playmaker yang memiliki segala aspek yang dibutuhkan tim.”

Fans Sunderland sendiri tentu mengalami euforia atas perekrutan Arnau tersebut. Kondisi Sunderland sungguh kacau saat itu, musim sebelumnya mereka baru saja terdegradasi sebagai juru kunci Premier League dengan rekor point terendah, hanya mencatatkan 15 angka di akhir kompetisi. Selain itu Sunderland juga baru saja mengalami pergantian kepemilikan oleh Drumaville Consortium yang diketuai sendiri oleh Quinn. Bahkan Quinn sendiri merangkap jabatan sebagai CEO sekaligus manajer tim, menunjukkan betapa berantakannya kondisi Sunderland saat itu. Kedatangan seorang kapten Barcelona B dengan reputasi yang menjanjikan, apalagi didapatkan dengan free transfer, seolah menjadi kado Natal yang datang terlalu cepat bagi para fans. Nama Arnau santer dibicarakan dengan ekspektasi oleh suporter The Black Cats.

Arnau menjalani debutnya sepekan kemudian, sebagai pemain pengganti ketika Sunderland dikalahkan 3-1 oleh Southend. Hanya bermain setengah pertandingan, penampilan Arnau cukup menjanjikan walau gagal memenangkan timnya. Arnau sendiri sangat terkesan dengan dukungan fans Sunderland yang rela menempuh perjalanan away yang jauh dan bernyanyi sepanjang pertandingan. Sesuatu yang tidak ditemui sebelumnya di Spanyol. Fans bahkan menyanyikan nama Arnau, yang dibalasnya dengan melemparkan matchworn jersey miliknya ke tribun penonton. Debut yang cukup istimewa bagi Arnau.

Quinn memutuskan untuk menjadikan Arnau sebagai starter pertandingan Sunderland selanjutnya, di Piala Liga saat melawat ke Gigg Lane menghadapi Bury. Arnau dipersiapkan menjadi pemain free role yang difokuskan mengawali serangan, pembagi bola, sekaligus set piece taker untuk semua bola mati. Namun siapa sangka, pertandingan tersebut menjadi titik balik kehidupan Arnau. Keinginan untuk bermain bagus membuatnya gugup, perebutan bola di menit-menit awal berujung pada mendaratnya siku Arnau di wajah Richie Baker dengan telak. Tanpa ampun, wasit memberikan kartu merah langsung. Sunderland akhirnya kalah 0-2 di pertandingan tersebut.

“Kami mempersiapkan segalanya dalam empat hari, saya dan Bobby Saxton menyusun semuanya dengan teliti, lalu Arnau membuat dirinya keluar begitu saja hanya setelah tiga menit pertama,” Ujar Quinn dalam konferensi pers setelah pertandingan.

Arnau sangat terpukul dengan debut starternya yang berakhir bencana tersebut, dia mendapatkan larangan bermain 3 pertandingan. Tapi rupanya takdir belum berhenti mempermainkan dirinya, dua hari setelah kekalahan tersebut Quinn memutuskan mundur dari posisi manajer untuk fokus sebagai chairman. Sebagai gantinya, dia menunjuk legenda MU dan Irlandia, Roy Keane, untuk mengisi posisi manajer. Keane menjadi sosok yang paling berpengaruh dalam kejatuhan karir Riera di Sunderland.Sejak awal menganggap Arnau tidak masuk dalam rencana timnya, Keane memastikan partai melawan Bury adalah pertandingan terakhir Arnau dengan seragam Sunderland.

Keane yang memang terkenal keras kepala dan tempramental mengambil beberapa keputusan radikal di awal kepemimpinannya, salah satunya dalam hal komposisi pemain. Yang paling kelihatan adalah keputusan Keane mendatangkan 6 pemain sekaligus di hari terakhir jendela transfer. 4 diantaranya adalah kompatriotnya semasa bermain yaitu Dwight Yorke, Liam Miller, Ross Wallace, dan Stanislav Varga serta duo Wigan, Graham Kavanagh dan David Connolly. Sebagai konsekuensi dari banyaknya pemain baru yang datang, Keane dengan tegas bahwa beberapa pemain tidak masuk dalam rencananya dan dipersilahkan pergi. Pemain lama seperti Neil Collins, Jon Stead, Andy Welsh, dan Kevin Smith sudah mendapat kabar bahwa mereka tidak akan dimainkan dalam skema Keane. Tak terkecuali beberapa rekrutan Quinn yang bahkan belum sebulan bergabung, seperti winger muda William Mocquet dan Arnau sendiri.

"Kami memiliki banyak pemain bagus di sini, aku tidak akan mengeluh dan bersikap tidak hormat hanya karena aku tidak terpilih dalam tim. Aku merasa antusias saat Roy Keane menjadi manajer Sunderland. Aku sangat menghormatinya, juga Niall Quinn, dan tidak lupa para fans yang sangat luar biasa. Aku akan melakukan apapun untuk membayar kepercayaan mereka, begitu aku mendapat kesempatan untuk turun di lapangan." kata Arnau

Arnau tetap memperjuangkan posisinya dan berlatih keras di sesi latihan untuk mengambil perhatian Keane. Tapi semua orang tentu sudah mengenal watak Keane, pria keras kepala yang bahkan tidak merasa perlu meminta maaf setelah terang-terangan mengakui mencederai Alf-Inge Håland dalam autobiografinya. Arnau tidak pernah masuk skuat dan sempat dipinjamkan ke Southend selama sebulan di bursa transfer musim dingin. Selebihnya, Arnau tidak lebih dari pemain pengangguran di Sunderland. Di akhir musim, tangan dingin Keane ternyata terbukti mampu membawa The Black Cats promosi ke Premier League dengan menjuarai Championship. Keberhasilan tersebut menjadi justifikasi atas keputusan-keputusannya yang kontroversial.

Musim selanjutnya, Arnau yang mentalnya jatuh setelah semusim merantau di kompetisi yang masih asing tanpa diberi kesempatan bermain sama sekali, akhirnya bersedia dipinjamkan keluar dari Stadium of Light lagi. Tujuannya kali ini adalah Falkirk di Liga Skotlandia, dengan durasi semusim penuh. Di klub yang saat itu juga diperkuat oleh Tim Krul tersebut Arnau seolah mengalami reinkarnasi. Walau sempat diganggu cedera, Arnau menjadi pilihan utama oleh manajer John Hughes dan juga diidolai oleh para fans. Tendangan spektakulernya dari jarak 40 meter yang menembus gawang Allan McGregor di Ibrox Stadium dipilih sebagai goal of the year oleh para fans, walau pada pertandingan tersebut Falkirk dibantai 2-7 oleh Glasgow Rangers. Arnau memang sempat mendapatkan larangan bermain dua pertandingan, lagi-lagi karena sikutnya mendarat ke wajah Andy Dorman saat bertanding dengan St Mirren. Tapi secara keseluruhan masa pinjaman Arnau di Falkirk berjalan sukses. Ketika Sunderland dan Falkirk sepakat menambah masa peminjaman semusim berikutnya, Arnau tidak keberatan karena dia sudah merasa cocok dengan kehidupan di klub barunya tersebut. Selain bermain bola, Arnau juga menghabiskan waktunya dengan melakukan kegiatan social yang berhubungan dengan siswa autis.

“Aku menyukai kehidupan di Edinburgh dan sekarang sudah bisa berbicara bahasa setempat dengan fasih,” Ujar Arnau. “aku menemukan banyak teman baik dan menikmati waktuku di sini. Aku juga menyukai British dark comedy. Kami bertaruh untuk menembak bola mengenai tiang dari tengah lapangan, yang terakhir yang gagal melakukannya harus melepas seluruh pakaiannya dan melompat ke dalam lumpur musim dingin. Yang kalah selalu pemain belakang, karena mereka tidak bisa menembak dengan baik.”

Segalanya berjalan sempurna untuk Arnau di Skotlandia. Tapi semuanya berakhir buruk ketika Arnau membuka kotak Pandora bagi hidupnya sendiri. Begitu kontrak dengan Sunderland habis di musim panas 2009, Falkirk memintanya bergabung secara permanen. Arnau juga sempat menjalani trial di Blackpool dan manajer Ian Holloway sudah menawarinya bergabung. Di luar itu, datang juga tawaran dari klub Belanda. Seharusnya Arnau bisa memilih dengan bebas ke mana dia akan membuka lembaran baru. Namun alih-alih berpikir jernih, dia memutuskan menolak semuanya. Hubungannya dengan gadis asal Portugal membuatnya berkeinginan untuk kembali ke Iberia. Keputusan Arnau untuk menolak Blackpool membuat agennya, Craig Honeyman, murka dan memutus kontak dengan Arnau. Apalagi, seperti yang kita ketahui bersama, Blackpool pada musim itu akhirnya meraih tiket promosi ke Premier League.

Jadilah Arnau pulang ke rumah orang tuanya di Mallorca, tanpa klub, tanpa agen, dan nyaris tidak memiliki kontak di Spanyol. Arnau akhirnya bergabung dengan klub terbesar kedua di Mallorca, Atletico Baleares, dengan gaji 1,000 Euro per pekan. Namun malapetaka masih belum selesai membully Arnau. Setelah menjalani 10 pertandingan dia mengalami sobek di otot ACL-nya, salah satu cedera yang menjadi momok bagi para pesepakbola. Cedera yang membutuhkan biaya dan waktu penyembuhan yang tidak sedikit, yang tentu saja tidak bisa ditangani oleh Atletico Baleares.

Arnau terpuruk dalam keadaan cedera parah dan tidak memiliki klub, ketika Niall Quinn memberikan bantuan kepadanya. Quinn membebaskan Arnau untuk memakai fasilitas latihan dan terapi milik Sunderland. Beberapa orang mengatakan bahwa Quinn turut merasa bersalah terhadap hancurnya karir Arnau, karena dia sudah tidak menjadi manajer tim hanya semingu setelah Arnau bergabung. Bantuan juga datang dari Julio Arca, yang walau sudah lama pindah ke Middlesbrough, mengijinkan Arnau untuk tinggal di rumahnya selama masa perawatan. “Sepakbola dipenuhi dengan persahabatan, tapi Julio benar-benar teman terbaikku. Sedangkan Niall Quinn adalah seorang gentleman, orang yang spesial. Aku tidak bisa menilainya lebih tinggi lagi, dia luar biasa.” Kata Arnau.

Arnau berjuang sampai level kebugarannya kembali di Sunderland pada Januari 2011. Tetapi seperti kisah sinetron Indonesia yang kemalangannya tak kunjung habis, Arnau kembali menderita sobek di otot ACL ketika sedang berlatih. Tragisnya, cedera kali ini diderita di lutut satunya, bukan di lutut yang sudah cedera sebelumnya.

“Aku benar-benar tidak bisa mempercayai apa yang terjadi. Aku langsung tahu ini cedera serius, tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit ketika ototku sobek. Aku berpikir, ‘Kenapa harus aku? Kenapa aku? Kenapa aku lagi?.”

Di usia 29 tahun, setelah operasi pemulihan keduanya, Arnau mengambil keputusan bahwa sepakbola bukan lagi menjadi prioritasnya dan dia akan lebih mencurahkan perhatian di pekerjaan sosial. “Aku tidak akan pension dari sepakbola. Tapi aku ragu bahwa aku akan menikmati bermain bola lagi, seperti dulu ketika aku masih kecil.”

Nasib Arnau mulai membaik ketika tim dari kota kelahirannya, CD Manacor, menginginkannya bergabung ke dalam tim. Arnau yang sudah berusia 30 tahun kala itu ditawari kontrak sebesar 9,000 Euro per tahun, yang merupakan nominal terendah bagi pesepakbola professional di Spanyol. Harus dimaklumi, karena Manacor adalah satu dari segelintir tim semi-profesional yang bermain di liga dan memiliki budget sangat terbatas. Arnau menandai comeback-nya di tanggal 23 Oktober 2011 dengan meraih kemenangan away di Valencia. Rutinitasnya sebagai pemain bola secara berangsur kembali.

“Aku ingin menikmati permainan sepakbola kembali. Kesalahan terbesarku adalah aku terlalu gugup dalam pertandingan. Aku tidak bisa rileks karena aku menginginkan hasil yang terbaik, padahal seharusnya aku bisa meraih yang terbaik jika bermain rileks. Dan mungkin jadinya aku akan bisa menikmati permainanku juga.”

Itulah kisah dari Arnau Riera, pemain berbakat yang gagal menemukan kesuksesan akibat kombinasi dari pengambilan keputusan yang buruk dan juga nasib sial yang terus menghampiri. Sebuah cerminan dari kejam dan kerasnya hidup dari seorang pemain bola. Semoga bisa membuat kita tersadar dan bisa kembali melihat realita bahwa dunia sepak bola tidak hanya memiliki sisi glamor yang sering diekspos media, tapi juga ada ribuan atau jutaan pemain yang bernasib seperti Arnau Riera di seluruh dunia yang memandang sepakbola sebagai tragedi.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.