![]() |
| Arnau Riera, mantan kapten Messi & eks tandem Iniesta |
Tulisan ini pertama kali saya publikasikan di footballfandom.net
Apakah yang anda pikirkan ketika mendengar kata Barcelona B?
Mungkin langsung terlintas di benak anda sekelompok pemuda berbaju biru merah bertiki-taka
ria di sebuah kompleks akademi sepakbola yang konon terbaik di dunia. Ya, Barcelona
B adalah tahapan filter terakhir dari akademi legendaris La Masia sebelum
menembus skuat utama Barcelona. Tidak perlu saya sebutkan lagi rasanya siapa
saja jebolan La Masia melalui Barcelona B yang menjadi tulang punggung generasi
emas Blaugrana dekade ini. Begitu berjubelnya talenta di Barcelona B, banyak di
antara mereka yang tidak berhasil menembus skuat utama Barca memutuskan pindah
dan menjadi pemain andalan di tim lain. Tengoklah nama-nama seperti de la Pena,
Rufete, Arteta, Bojan Krkic, Luis Garcia, Thiago Motta, dan masih banyak lagi
yang lain.
Memiliki Barcelona B dalam curriculum vitae seolah menjadi
jaminan bahwa seorang pemain bisa bermain bola dengan benar. Tapi kadang
portofolio menjanjikan dan teknik bermain yang bagus belum tentu berujung
kesuksesan, nasib dan pengambilan keputusan juga sangat berpengaruh bagi karir
seseorang. Coba tanyakan itu kepada Arnau Riera, pemain yang digadang-gadang
sebagai salah satu alumnus terbaik Barcelona B. Arnau pernah berduet dengan
Iniesta di jantung lini tengah Barcelona B dan bahkan mengkapteni Messi. Ketika
dua mantan rekan setimnya tersebut berebut gelar Ballon d’Or tahun ini, Arnau
di usianya yang ke 31 justru terasing memperkuat CD Manacor yang bermain di Tercera
División atau divisi empat Liga Spanyol.
Sungguh kontras dan ironis.
Arnau Riera adalah putra asli Manacor, sebuah kota di pulau
Mallorca yang masuk kepulauan Balearic di sisi timur semenanjung Iberia, yang
juga merupakan tempat kelahiran Rafael Nadal, Miguel Angel Nadal, dan juga
Albert Riera. Sebagai putra daerah, karir juniornya dihabiskan di tim local
Manacor dan RCD Mallorca. Talentanya sebagai seorang gelandang tengah yang bisa
juga bermain di sisi kiri menarik minat Barcelona, yang merekrutnya di usia 19
tahun untuk kemudian ditempa terlebih dahulu di Barcelona B. Di sana dia diplot
mengisi lini tengah bersama pemuda pucat yang juga baru didatangkan dari
Albacete, Andres Iniesta. Kolaborasi keduanya begitu padu dan saling mengisi,
berujung pada keberhasilan Barca B meraih peringkat teratas di Segunda División
B grup 2 di musim 2001/2002.
Setelah keberhasilan tersebut, Iniesta ditarik ke skuat utama oleh Louis van Gaal. Arnau sendiri tetap berada di Barca B dan naik pangkat menjadi kapten tim. Arnau mengkapteni sekaligus menjadi penyuplai bola bagi si bocah alien Lionel Messi yang bergabung di tim pada tahun 2004. Performanya yang stabil membuat Arnau digadang-gadang oleh fans sebagai pemain selanjutnya yang akan sukses menembus skuat utama Blaugrana. Arnau sendiri sempat menjadi bagian skuat utama dalam tur pre-season menghadapi Shakhtar, Marseille, Saint Etienne, dan tim nasional China. Tapi kesempatan untuk unjuk gigi di kompetisi resmi tidak kunjung datang.
Akhirnya di musim panas 2006, Arnau Riera yang sudah berusia
24 tahun dihadapan pada sebuah pilihan. Bertahan di Barca B dan menunggu
kesempatan naik kelas yang entah kapan datangnya atau hijrah ke klub lain demi
peluang yang lebih besar. Kebetulan saat dia diminati beberapa klub asal
Britania Raya seperti Southampton, Sunderland, dan Heart of Midlothian. Hati
kecil Arnau ingin bertahan di Barca, tapi menyadari usianya yang sudah semakin
dewasa dia tentu menginginkan bermain di skuad utama. Akhirnya Arnau memilih
untuk pergi dengan free transfer dan menandatangani kontrak 3 tahun dengan gaji
3,000 pound per pekan bersama Sunderland. Manajer Niall Quinn yang memantaunya
selama 10 hari trial memuji Arnau sebagai “Gelandang yang komplit, kreatif tapi
juga efektif dalam melakukan tackling. Playmaker yang memiliki segala aspek
yang dibutuhkan tim.”
Fans Sunderland sendiri tentu mengalami euforia atas
perekrutan Arnau tersebut. Kondisi Sunderland sungguh kacau saat itu, musim
sebelumnya mereka baru saja terdegradasi sebagai juru kunci Premier League
dengan rekor point terendah, hanya mencatatkan 15 angka di akhir kompetisi. Selain
itu Sunderland juga baru saja mengalami pergantian kepemilikan oleh Drumaville
Consortium yang diketuai sendiri oleh Quinn. Bahkan Quinn sendiri merangkap
jabatan sebagai CEO sekaligus manajer tim, menunjukkan betapa berantakannya
kondisi Sunderland saat itu. Kedatangan seorang kapten Barcelona B dengan
reputasi yang menjanjikan, apalagi didapatkan dengan free transfer, seolah menjadi
kado Natal yang datang terlalu cepat bagi para fans. Nama Arnau santer
dibicarakan dengan ekspektasi oleh suporter The Black Cats.
Arnau menjalani debutnya sepekan kemudian, sebagai pemain
pengganti ketika Sunderland dikalahkan 3-1 oleh Southend. Hanya bermain
setengah pertandingan, penampilan Arnau cukup menjanjikan walau gagal
memenangkan timnya. Arnau sendiri sangat terkesan dengan dukungan fans
Sunderland yang rela menempuh perjalanan away yang jauh dan bernyanyi sepanjang
pertandingan. Sesuatu yang tidak ditemui sebelumnya di Spanyol. Fans bahkan
menyanyikan nama Arnau, yang dibalasnya dengan melemparkan matchworn jersey
miliknya ke tribun penonton. Debut yang cukup istimewa bagi Arnau.
Quinn memutuskan untuk menjadikan Arnau sebagai starter pertandingan
Sunderland selanjutnya, di Piala Liga saat melawat ke Gigg Lane menghadapi
Bury. Arnau dipersiapkan menjadi pemain free role yang difokuskan mengawali
serangan, pembagi bola, sekaligus set piece taker untuk semua bola mati. Namun
siapa sangka, pertandingan tersebut menjadi titik balik kehidupan Arnau.
Keinginan untuk bermain bagus membuatnya gugup, perebutan bola di menit-menit
awal berujung pada mendaratnya siku Arnau di wajah Richie Baker dengan telak.
Tanpa ampun, wasit memberikan kartu merah langsung. Sunderland akhirnya kalah
0-2 di pertandingan tersebut.
“Kami mempersiapkan segalanya dalam empat hari, saya dan
Bobby Saxton menyusun semuanya dengan teliti, lalu Arnau membuat dirinya keluar
begitu saja hanya setelah tiga menit pertama,” Ujar Quinn dalam konferensi pers
setelah pertandingan.
Arnau sangat terpukul dengan debut starternya yang berakhir
bencana tersebut, dia mendapatkan larangan bermain 3 pertandingan. Tapi rupanya
takdir belum berhenti mempermainkan dirinya, dua hari setelah kekalahan
tersebut Quinn memutuskan mundur dari posisi manajer untuk fokus sebagai
chairman. Sebagai gantinya, dia menunjuk legenda MU dan Irlandia, Roy Keane,
untuk mengisi posisi manajer. Keane menjadi sosok yang paling berpengaruh dalam
kejatuhan karir Riera di Sunderland.Sejak awal menganggap Arnau tidak masuk
dalam rencana timnya, Keane memastikan partai melawan Bury adalah pertandingan
terakhir Arnau dengan seragam Sunderland.
Keane yang memang terkenal keras kepala dan tempramental
mengambil beberapa keputusan radikal di awal kepemimpinannya, salah satunya
dalam hal komposisi pemain. Yang paling kelihatan adalah keputusan Keane
mendatangkan 6 pemain sekaligus di hari terakhir jendela transfer. 4
diantaranya adalah kompatriotnya semasa bermain yaitu Dwight Yorke, Liam
Miller, Ross Wallace, dan Stanislav Varga serta duo Wigan, Graham Kavanagh dan
David Connolly. Sebagai konsekuensi dari banyaknya pemain baru yang datang,
Keane dengan tegas bahwa beberapa pemain tidak masuk dalam rencananya dan
dipersilahkan pergi. Pemain lama seperti Neil Collins, Jon Stead, Andy Welsh,
dan Kevin Smith sudah mendapat kabar bahwa mereka tidak akan dimainkan dalam
skema Keane. Tak terkecuali beberapa rekrutan Quinn yang bahkan belum sebulan
bergabung, seperti winger muda William Mocquet dan Arnau sendiri.
"Kami memiliki banyak pemain bagus di sini, aku tidak
akan mengeluh dan bersikap tidak hormat hanya karena aku tidak terpilih dalam
tim. Aku merasa antusias saat Roy Keane menjadi manajer Sunderland. Aku sangat
menghormatinya, juga Niall Quinn, dan tidak lupa para fans yang sangat luar
biasa. Aku akan melakukan apapun untuk membayar kepercayaan mereka, begitu aku
mendapat kesempatan untuk turun di lapangan." kata Arnau
Arnau tetap memperjuangkan posisinya dan berlatih keras di
sesi latihan untuk mengambil perhatian Keane. Tapi semua orang tentu sudah
mengenal watak Keane, pria keras kepala yang bahkan tidak merasa perlu meminta
maaf setelah terang-terangan mengakui mencederai Alf-Inge Håland dalam
autobiografinya. Arnau tidak pernah masuk skuat dan sempat dipinjamkan ke
Southend selama sebulan di bursa transfer musim dingin. Selebihnya, Arnau tidak
lebih dari pemain pengangguran di Sunderland. Di akhir musim, tangan dingin
Keane ternyata terbukti mampu membawa The Black Cats promosi ke Premier League
dengan menjuarai Championship. Keberhasilan tersebut menjadi justifikasi atas
keputusan-keputusannya yang kontroversial.
Musim selanjutnya, Arnau yang mentalnya jatuh setelah
semusim merantau di kompetisi yang masih asing tanpa diberi kesempatan bermain
sama sekali, akhirnya bersedia dipinjamkan keluar dari Stadium of Light lagi.
Tujuannya kali ini adalah Falkirk di Liga Skotlandia, dengan durasi semusim
penuh. Di klub yang saat itu juga diperkuat oleh Tim Krul tersebut Arnau seolah
mengalami reinkarnasi. Walau sempat diganggu cedera, Arnau menjadi pilihan
utama oleh manajer John Hughes dan juga diidolai oleh para fans. Tendangan
spektakulernya dari jarak 40 meter yang menembus gawang Allan McGregor di Ibrox
Stadium dipilih sebagai goal of the year oleh para fans, walau pada
pertandingan tersebut Falkirk dibantai 2-7 oleh Glasgow Rangers. Arnau memang
sempat mendapatkan larangan bermain dua pertandingan, lagi-lagi karena sikutnya
mendarat ke wajah Andy Dorman saat bertanding dengan St Mirren. Tapi secara
keseluruhan masa pinjaman Arnau di Falkirk berjalan sukses. Ketika Sunderland
dan Falkirk sepakat menambah masa peminjaman semusim berikutnya, Arnau tidak
keberatan karena dia sudah merasa cocok dengan kehidupan di klub barunya
tersebut. Selain bermain bola, Arnau juga menghabiskan waktunya dengan
melakukan kegiatan social yang berhubungan dengan siswa autis.
“Aku menyukai kehidupan di Edinburgh dan sekarang sudah bisa
berbicara bahasa setempat dengan fasih,” Ujar Arnau. “aku menemukan banyak
teman baik dan menikmati waktuku di sini. Aku juga menyukai British dark
comedy. Kami bertaruh untuk menembak bola mengenai tiang dari tengah lapangan,
yang terakhir yang gagal melakukannya harus melepas seluruh pakaiannya dan
melompat ke dalam lumpur musim dingin. Yang kalah selalu pemain belakang,
karena mereka tidak bisa menembak dengan baik.”
Segalanya berjalan sempurna untuk Arnau di Skotlandia. Tapi
semuanya berakhir buruk ketika Arnau membuka kotak Pandora bagi hidupnya
sendiri. Begitu kontrak dengan Sunderland habis di musim panas 2009, Falkirk
memintanya bergabung secara permanen. Arnau juga sempat menjalani trial di
Blackpool dan manajer Ian Holloway sudah menawarinya bergabung. Di luar itu,
datang juga tawaran dari klub Belanda. Seharusnya Arnau bisa memilih dengan
bebas ke mana dia akan membuka lembaran baru. Namun alih-alih berpikir jernih,
dia memutuskan menolak semuanya. Hubungannya dengan gadis asal Portugal
membuatnya berkeinginan untuk kembali ke Iberia. Keputusan Arnau untuk menolak
Blackpool membuat agennya, Craig Honeyman, murka dan memutus kontak dengan
Arnau. Apalagi, seperti yang kita ketahui bersama, Blackpool pada musim itu
akhirnya meraih tiket promosi ke Premier League.
Jadilah Arnau pulang ke rumah orang tuanya di Mallorca,
tanpa klub, tanpa agen, dan nyaris tidak memiliki kontak di Spanyol. Arnau
akhirnya bergabung dengan klub terbesar kedua di Mallorca, Atletico Baleares,
dengan gaji 1,000 Euro per pekan. Namun malapetaka masih belum selesai membully
Arnau. Setelah menjalani 10 pertandingan dia mengalami sobek di otot ACL-nya,
salah satu cedera yang menjadi momok bagi para pesepakbola. Cedera yang
membutuhkan biaya dan waktu penyembuhan yang tidak sedikit, yang tentu saja
tidak bisa ditangani oleh Atletico Baleares.
Arnau terpuruk dalam keadaan cedera parah dan tidak memiliki
klub, ketika Niall Quinn memberikan bantuan kepadanya. Quinn membebaskan Arnau
untuk memakai fasilitas latihan dan terapi milik Sunderland. Beberapa orang
mengatakan bahwa Quinn turut merasa bersalah terhadap hancurnya karir Arnau,
karena dia sudah tidak menjadi manajer tim hanya semingu setelah Arnau
bergabung. Bantuan juga datang dari Julio Arca, yang walau sudah lama pindah ke
Middlesbrough, mengijinkan Arnau untuk tinggal di rumahnya selama masa perawatan.
“Sepakbola dipenuhi dengan persahabatan, tapi Julio benar-benar teman
terbaikku. Sedangkan Niall Quinn adalah seorang gentleman, orang yang spesial.
Aku tidak bisa menilainya lebih tinggi lagi, dia luar biasa.” Kata Arnau.
Arnau berjuang sampai level kebugarannya kembali di
Sunderland pada Januari 2011. Tetapi seperti kisah sinetron Indonesia yang
kemalangannya tak kunjung habis, Arnau kembali menderita sobek di otot ACL
ketika sedang berlatih. Tragisnya, cedera kali ini diderita di lutut satunya,
bukan di lutut yang sudah cedera sebelumnya.
“Aku benar-benar tidak bisa mempercayai apa yang terjadi.
Aku langsung tahu ini cedera serius, tidak ada yang bisa menandingi rasa sakit
ketika ototku sobek. Aku berpikir, ‘Kenapa harus aku? Kenapa aku? Kenapa aku
lagi?.”
Di usia 29 tahun, setelah operasi pemulihan keduanya, Arnau
mengambil keputusan bahwa sepakbola bukan lagi menjadi prioritasnya dan dia
akan lebih mencurahkan perhatian di pekerjaan sosial. “Aku tidak akan pension
dari sepakbola. Tapi aku ragu bahwa aku akan menikmati bermain bola lagi,
seperti dulu ketika aku masih kecil.”
Nasib Arnau mulai membaik ketika tim dari kota kelahirannya,
CD Manacor, menginginkannya bergabung ke dalam tim. Arnau yang sudah berusia 30
tahun kala itu ditawari kontrak sebesar 9,000 Euro per tahun, yang merupakan
nominal terendah bagi pesepakbola professional di Spanyol. Harus dimaklumi,
karena Manacor adalah satu dari segelintir tim semi-profesional yang bermain di
liga dan memiliki budget sangat terbatas. Arnau menandai comeback-nya di
tanggal 23 Oktober 2011 dengan meraih kemenangan away di Valencia. Rutinitasnya
sebagai pemain bola secara berangsur kembali.
“Aku ingin menikmati permainan sepakbola kembali. Kesalahan
terbesarku adalah aku terlalu gugup dalam pertandingan. Aku tidak bisa rileks
karena aku menginginkan hasil yang terbaik, padahal seharusnya aku bisa meraih
yang terbaik jika bermain rileks. Dan mungkin jadinya aku akan bisa menikmati
permainanku juga.”
Itulah kisah dari Arnau Riera, pemain berbakat yang gagal
menemukan kesuksesan akibat kombinasi dari pengambilan keputusan yang buruk dan
juga nasib sial yang terus menghampiri. Sebuah cerminan dari kejam dan kerasnya
hidup dari seorang pemain bola. Semoga bisa membuat kita tersadar dan bisa
kembali melihat realita bahwa dunia sepak bola tidak hanya memiliki sisi glamor
yang sering diekspos media, tapi juga ada ribuan atau jutaan pemain yang
bernasib seperti Arnau Riera di seluruh dunia yang memandang sepakbola sebagai
tragedi.

No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.