Wednesday, February 13, 2013

L'Affaire VA-OM, Skandal Sepakbola Terbesar di Prancis

Marseille Golden Era

Tulisan ini pernah saya publikasikan di footballfandom.net

Tragedi Sang Raja Eropa

Olympiastadion Munich, 26 Mei 1993. Pertandingan final Liga Champions antara Olympique Marseille melawan AC Milan memasuki menit ke 43. Marseille mendapatkan sepak pojok di sisi kiri pertahanan Milan yang dieksekusi oleh legenda hidup Ghana, Abedi “Pele” Ayew. Bola dilambungkan ke tiang dekat kepada Rudi Völler yang terlepas dari penjagaan Alessandro Costacurta, namun bola terlalu tinggi bagi keduanya. Tepat di belakangnya, Basile Boli mengalahkan double marking dari Frank Rijkaard dan Franco Baresi untuk kemudian mengarahkan heading akurat ke tiang jauh. Kiper Sebastiano Rossi mati langkah, terdiam melihat bola meluncur masuk gawangnya. Lautan biru putih di stadion langsung gegap gempita menyambut gol Boli, yang menjadi gol tunggal di pertandingan tersebut.

Marseille menasbihkan diri menjadi klub Perancis pertama—dan satu-satunya—yang pernah menjadi juara Eropa. Sang legenda Didier Deschamps yang baru berusia 25 tahun juga memecahkan rekor sebagai kapten termuda yang mengangkat trofi Champions. Tengoklah nama-nama yang menghuni skuat Marseille saat itu: Fabien Barthez berdiri di bawah mistar, mungkin tidak anda kenali karena saat itu dia masih berambut. Lini belakang L’OM diisi oleh palang pintu langganan Les Bleus seperti Manuel Amoros, Jocelyn Angloma, Basile Boli, Eric De Meco, dan Marcel Desailly. Mereka memiliki midfielder sekelas Deschamps, Dragan Stojkovic, Franck Sauzee, Jean-Marc Ferreri, dan Jean-Phillippe Durand. Sedangkan trio lini depan mereka juga sangat menakutkan: Völler, Ayew, dan Alen Bokšić yang saat itu menjadi top skorer liga. Tidak ada yang meragukan kualitas tim asuhan  Raymond Goethals tersebut.


Euforia luar biasa tidak hanya menyelimuti fans Marseille, tetapi juga publik Prancis. Mereka telah merindukan gelar ini sejak lama, memberi bukti bahwa sepak bola Perancis juga bisa berbicara banyak di level Eropa. Lihatlah betapa emosionalnya selebrasi para pemain dan supporter di Munich, serta penuhnya jalanan dan Stade Vélodrome saat Marseille mengarak trofi untuk dipamerkan di kandang mereka. Presiden Marseille saat itu, Bernard Tapie, dipuji setinggi langit atas kepemimpinannya. Tapie melakukan segalanya untuk Marseille, dengan totalitas dan passion yang membuatnya diagung-agungkan di seluruh negeri. Dalam 7 tahun, Tapie dengan kebijakannya yang revolusiner telah berhasil mengangkat Marseille dari sekedar klub yang baru promosi hingga menjadi kebanggaan nasional. Salah satunya dengan mendatangkan para pemain top seperti Jean-Pierre Papin, Chris Waddle, Klaus Allofs, Enzo Francescoli, Eric Cantona, dan tentu saja skuat yang merajai Eropa di tahun 1993.

Pengaruh Tapie sendiri sangat besar di Prancis, dia dikenal sebagai businessman ulung dan politikus handal yang juga pernah duduk di pemerintahan. Mantan bos Adidas ini bahkan sempat disebut sebagai salah satu calon pengganti François Mitterand sebagai presiden Prancis. Di waktu luang dia juga pernah menjadi aktor dan penyanyi, bukti bahwa Tapie adalah publik figur papan atas di Prancis.

Namun siapa sangka setahun setelah menjadi juara Eropa, Tapie berandil besar atas didegradasikannya Marseille ke Division 2 serta dicabutnya gelar juara domestik mereka di tahun 92/93. Semuanya akibat skandal match fixing yang oleh publik Prancis sering disebut sebagai l'affaire VA-OM. Dinamai sesuai dengan nama klub yang terlibat, Union Sportive Valenciennes-Anzin dan Olympique de Marseille.


Awal Bencana

Kontroversi tersebut bermula di tanggal 20 Mei 1993, Marseille dijadwalkan menghadapi Valenciennes. Saat itu Marseille berada di ambang double winner, karena di saat yang sama sedang memimpin klasemen berselisih 4 poin dari Paris Saint-Germain di posisi kedua. Saat itu kemenangan masih dihargai 2 poin dan kompetisi menyisakan 3 pertandingan. Sialnya, Marseille mengalami jadwal neraka di akhir kompetisi. Satu pekan setelah menghadapi Valenciennes, mereka akan menjalani laga final Liga Champions melawan lawan AC Milan, untuk kemudian 3 hari selanjutnya menjamu rival abadi mereka PSG dalam pertandingan yang sangat menentukan perebutan gelar juara. Pertandingan terakhir Marseille adalah bertandang ke kandang klub papan tengah, Toulouse.

Tapie sebagai presiden Marseille tentu pusing bukan main dengan jadwal tersebut. Dua lawan tangguh dalam laga yang sangat menentukan berlangsung hanya dalam rentang 3 hari. Ketakutan terbesarnya apalagi kalau bukan ancaman kelelahan dan cedera yang bisa berujung pada memburuknya performa dan hilangnya dua gelar sekaligus. Marseille memang saat itu mendominasi Division I dengan empat gelar juara beruntun, tapi Tapie tentu tidak akan melepaskan begitu saja kesempatan untuk meraih gelar kelima. Apalagi Marseille sangat berambisi meraih gelar Champions setelah 2 tahun sebelumnya dikalahkan secara menyakitkan oleh Red Star Belgrade di final.

Tapie disinyalir menempuh jalan kotor, tak mau mengambil resiko dan ingin “mengamankan” dua gelar tersebut. Kabar yang beredar, Tapie menawarkan suap agar Valenciennes mengalah pada pertandingan tersebut dan bermain hati-hati agar pemain Marseille tidak mengalami cedera. Tapie konon menginstruksikan General Manager Marseille Jean-Pierre Bernes dan gelandang Jean-Jacques Eydelie, untuk bernegosiasi dengan 3 pemain kunci Valenciennes: Jacques Glassmann, Christophe Robert, dan Jorge Burruchaga. Nama terakhir—yang merupakan pencetak gol kemenangan Argentina di final Piala Dunia 1986—sempat menyanggupi tawaran tersebut sebelum berubah pikiran di saat terakhir dan menolak menerima uang.

Segalanya memang berakhir sesuai rencana. Marseille menang 1-0 lawan Valenciennes, kemudian merontokkan AC Milan dengan skor yang sama, dan 3 hari kemudian memastikan gelar juara liga domestik setelah menghancurkan PSG 3-1 pada laga Le Classique di kandang sendiri. Target double winner tercapai sudah, Marseille menjadi simbol keberhasilan sepakbola Prancis. Namun ibarat kata pepatah “serapi-rapi bangkai dibungkus, baunya akan tercium juga”, kegembiraan Marseille hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya masalah match fixing mulai terkuak.

Glassman The Whistle-blower

Adalah Jacques Glassmann yang menjadi whistle-blower dari kasus tersebut. Gelandang Valenciennes ini menginformasikan kepada pelatih Boro Primorac bahwa ada upaya suap dari Marseille. Laporan ini kemudian diteruskan ke pihak Ligue Nationale de Football (LNF). Pada awalnya, Presiden LNF Noël Le Graët sendiri ragu atas kebenaran laporan tersebut. Untuk apa klub terkuat di liga, yang bahkan cukut perkasa untuk menumbangkan The Dram Team AC Milan, menyuap klub papan bawah yang di atas kertas mampu mereka kalahkan dengan mudah? Namun penyelidikan tetap dilakukan mulai 4 Juni 1993. Titik terang mulai terlihat ketika ditemukan bungkusan berisi uang senilai 250 ribu francs di pekarangan rumah dari bibi Christophe Robert. Sejak saat itu, UEFA juga mulai menaruh perhatian atas kasus ini. FFF selaku federasi sepakbola di Prancis berkoordinasi dengan UEFA dan tetap menempatkan Marseille sebagai perwakilan Prancis di Liga Champions musim depan sampai semuanya jelas.

Di tengah suasana yang memanas, muncul tuduhan tambahan dari pelatih CSKA Moskow, Gennadi Kostylev, yang curiga ada upaya suap yang dilakukan Marseille di Liga Champions. Hal ini didasari fakta bahwa CSKA yang berhasil menahan imbang Marseille 1-1 di kandang, justru digilas 6-0 saat bertanding di Stade Vélodrome. Namun CSKA tidak memiliki cukup bukti untuk diberikan kepada UEFA dan menarik tuduhan tersebut.

Gusar atas skandal tersebut, 2000 suporter Marseille melakukan demo di  Canebière. Mereka membawa spanduk bertuliskan “Jangan ganggu OM kami!”, “Tanpa Marseille, sepakbola Prancis bukanlah apa-apa!” sambil menyanyikan yel-yel anti Valenciennes dan PSG. Kenapa PSG? Karena para suporter beranggapan bahwa penyelidikan FFF yang berbasis di Paris juga turut membawa misi terselubung milik PSG, musuh besar mereka yang bermarkas di kota yang sama. Selain itu, PSG juga memiliki potensi diuntungkan mendapat limpahan apabila nantinya gelar Marseille benar-benar dicopot.

Pada tanggal 4 Juli, Tapie akhirnya resmi menjadi tersangka setelah menon-aktifkan salah satu aktor kunci, Jean-Pierre Bernes, dari jabatan General Manager Marseille. Kasus ini semakin terungkap setelah Eydelie yang merupakan tersangka utama mengatakan bahwa upaya suap adalah hal yang tidak cuma sekali dua kali dilakukan Marseille. Segera setelah itu seluruh negeri mulai mencurigai kredibilitas Marseille yang telah menjadi kebanggaan mereka. Wacana untuk mencopot gelar serta jatah Liga Champions Marseille untuk diberikan kepada PSG selaku runner up semakin santer terdengar.

PSG sendiri bungkam soal kemungkinan tersebut. Tapi salah seorang pemain kunci yang kelak juga menjadi pelatih Les Parisiens, Paul Le Guen, secara tidak langsung menyuarakan sikap PSG akan status gelar Marseille.

“Jika Marseille nantinya dihukum dan kami mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan gelar limpahan, kami akan menolaknya. Begitu juga jika UEFA menawarkan jatah Champions untuk kami. Kami akan mendapatkan apa yang seharusnya menjadi hak kami hanya dengan usaha kami sendiri. Bukan karena kasus ini menyangkut Marseille (yang notabene musuh bebuyutan PSG) jika kami tidak ingin menerima limpahan tersebut, tetapi kami memang tidak ingin mendapatkan kepuasan di atas nasib buruk pihak lain.”

Meskipun tengah diterpa isu tak sedap, namun reputasi Tapie sebagai publik figur tetap relatif baik di mata publik. Presiden Prancis François Mitterand dalam sebuah pidatonya menyebut soal skandal VA-OM dan tetap mengingatkan publik bahwa Tapie tetaplah seorang pria yang mewujudkan mimpi nasional, salah satunya lewat Marseille yang menjuarai Eropa. Oleh jaksa Eric de Montgolfier, pidato ini dianggap sebagai tindakan yang kelewatan dari seorang presiden untuk membela Tapie. Namun bukan hanya presiden, perdana menteri Edouard Balladur juga secara tidak langsung membela Tapie. Ada fakta menarik lainnya, bahwa di akhir tahun 1993 Marseille dijerat hutang sebesar 19 Juta Euro. Namun menteri keuangan pada saat itu Nicolas Sarkozy (benar, presiden Prancis periode kemarin itu) menutup mata atas keberadaan hutang tersebut hingga 3 tahun selanjutnya. Hal tersebut menunjukkan kedekatan Tapie dengan orang-orang pemerintahan.

Dilema Publik Prancis

Sampai dengan pengadilan tinggi memberikan keputusan, sulit bagi FFF maupun LNF untuk memberikan sanksi kepada Marseille. Hal ini menimbulkan ketegangan tersendiri antara sepakbola Prancis dengan otoritas yang lebih tinggi. UEFA dan FIFA telah menyatakan bahwa mereka sangat tidak senang dengan penanganan lambat otoritas Prancis atas kasus ini. 

Sementara itu, Marseille melakukan persiapan untuk menjalani musim 1993/1994 seperti biasa. Mereka mulai mengadakan pre-season training sementara 12 pemain telah diinterogasi oleh pihak kepolisian. Akhirnya, pada tanggal 26 Juli 1993 Marseille melakukan kick off pertandingan pertamanya melawan Lens di kompetisi domestik.

UEFA terus menekan LNF dan FFF untuk menentukan pengganti Marseille di Liga Champions. Menurut pendapat UEFA yang juga diamini oleh FIFA, Marseille sudah dianggap sebagai pihak yang bersalah dan sepantasnya digantikan dengan klub lain. Pada 5 Agustus, LNF mengirim surat kepada UEFA yang berisi bahwa posisi Marseille sebagai wakil Prancis di Liga Champions tidak bisa diganggu gugat. Hal ini membuat Presiden FIFA Joao Havelange mengultimatum agar Marseille segera dihukum sebelum tanggal 23 September, sementara UEFA menegaskan sekali lagi bahwa Marseille tidak diperkenankan mengikuti Liga Champions dan nama klub pengganti harus segera ditentukan sebelum 27 Agustus. Lebih jauh lagi, Havelange juga menyebutkan bahwa sanksi bisa meluas sampai dengan pelarangan Prancis bermain di World Cup 1994, walau pada akhirnya memang Prancis tidak lolos kualifikasi. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa FIFA dan UEFA telah memiliki sejumlah fakta yang membuktikan keterlibatan Marseille dalam kasus tersebut. Meski begitu, UEFA menyatakan bahwa gelar Liga Champions yang diraih Marseille aman dan tidak akan dicabut, karena kasus match fixing hanya terjadi di level domestik.

Le Graët sendiri menyatakan kekhawatirannya atas kondisi finansial Marseille, Dengan hutang senilai 19 juta euro dan tanpa adanya pemasukan dari Liga Champions, Marseille bisa terancam bangkrut. Media dan masyarakat Prancis sendiri juga masih abu-abu dalam mengambil sikap terkait kasus ini. Marseille adalah klub terbesar di Prancis, dan mereka juga baru saja merasakan euforia nasional menjadi raja Eropa. Tentunya ada tanggung jawab moral tersendiri bagi publik Prancis untuk membuktikan bahwa Marseille—yang telah menjadi kebanggaan negara—meraih kesuksesan tersebut dengan cara yang bersih.

Akhirnya, tanggal 6 September di Zurich UEFA memutuskan untuk melarang Marseille berpartisipasi di Liga Champions musim selanjutnya serta menjadikan AC Milan sebagai pengganti untuk berpartisipasi di Piala Super Eropa dan Piala Interkontinental. LNF harus segera menentukan pengganti atau jatah Prancis dianggap hangus. PSG menegaskan sikap bahwa mereka tidak akan mengambil jatah lowong tersebut, memilih untuk tampil di Piala Winners selaku juara Piala Prancis di musim sebelumnya. LNF dan perwakilan klub Division I lainnya mengadakan rapat dan tetap mendorong PSG untuk mau menggantikan Marseille, tapi klub ibukota tersebut bergeming dengan keputusannya.

Ketidakmampuan LNF untuk mengubah pendirian PSG menunjukkan lemahnya pengaruh dari organisasi tersebut. Akhirnya, Monaco yang menduduki peringkat ketiga ditunjuk untuk mewakili Prancis di Liga Champions. Monaco—yang saat itu diarsiteki oleh Arsène Wenger serta diperkuat Lilian Thuram, Gilles Grimandi, Emanuel Petit, Youri Djorkaeff, dan Jürgen Klinsmann—berhasil menembus semifinal Liga Champions sebelum kalah dari AC Milan. Klub Italia disebut akhirnya bablas menjadi juara tahun itu setelah menghancurkan Barcelona 4-0 di final. Wenger sendiri pindah ke Jepang di musim selanjutnya, beralasan sudah muak dengan skandal sepakbola di Prancis. Wenger belakangan mengungkapkan bahwa kecurangan seperti yang dilakukan Marseille itulah yang menyebabkan Monaco gagal meraih gelar di bawah asuhannya. Komentar Wenger tersebut membuatnya dimusuhi oleh publik Marseille sampai sekarang.

Keruntuhan Marseille Golden Generation

Penyelidikan sendiri semakin menemui titik terang hingga akhirnya pada tanggal 22 September,  FFF mencabut gelar juara Marseille di musim 1992/1993. Gelar juara dibiarkan kosong karena PSG menolak gelar limpahan. Hal ini didukung juga oleh stasiun TV Canal+, yang mendapat ancaman akan ada gerakan boikot dari pemirsa di daerah seandainya gelar juara dilimpahkan ke PSG.

Tapie sendiri baru diputuskan bersalah pada tanggal 10 Februari 1994 setelah diadakan penyelidikan lanjutan dan didukung dengan kesaksian memberatkan dari Primorac, Eydelie, dan Robert selaku penerima dana yang ditemukan menjadi barang bukti. Tapie sendiri sempat mengelak bahwa uang tersebut diberikan sebagai bantuan pinjaman bagi Robert yang berencana membuka restoran. Tapie akhirnya dijatuhi hukuman tahanan selama 3 tahun dan denda sebesar 20 ribu francs. Bernes dihukum 2 tahun penjara dan dijatuhi denda 15 ribu francs. Eydelie diskors 1 tahun dan sanksi 10 ribu francs. Burruchaga dan Robert dijatuhi skorsing 6 bulan serta denda sebesar 5 ribu francs.

Glassmann, yang menjadi whistle blower dibalik pengungkapan kasus ini, bebas dari hukuman namun mendapatkan tekanan yang sangat besar dari publik karena dianggap sebagai pengkhianat yang menghancurkan sepakbola Prancis. Glassmann kerap mendapatkan perlakuan yang kurang respek, baik dari suporter maupun pemain lawan ketika bertanding. Dia juga kesulitan mendapatkan klub di Prancis kontraknya habis di Valenciennes. FIFA memberikan penghargaan atas keberanian Glassmann mengungkap kebenaran dengan menganugerahinya FIFA Fairplay Award pada tahun 1995. Glassmann belakangan bergabung menjadi komite video yang bertugas memberikan hukuman berdasarkan rekaman ulang di Ligue 1.

Mimpi terburuk Marseille hadir pada 22 April 1994. Marseille yang saat itu finish di posisi 2 Division 1 di bawah PSG dihukum harus turun kasta ke Division 2. Valenciennes sendiri terdegradasi secara “natural” di musim sebelumnya dan turun kasta lagi di musim selanjutnya. Mereka mendapat sorakan dan hinaan di manapun tempat mereka bertandang. Valenciennes terus mengalamai kemunduran dan terdegradasi sampai National 2 atau setara dengan divisi 4, sampai akhirnya baru bisa kembali ke level tertinggi pada tahun 2006.

Setelah terlibat skandal dan dijatuhi hukuman, mayoritas pemain Marseille yang menjadi kunci double winner tahun 1993 hengkang dan meraih kesuksesan di klub lain. Bokšić hengkang ke Serie A dan meraih kesuksesan bersama Lazio dan Juventus. Desailly pindah ke AC Milan sebelum berlabuh ke Chelsea, menjadi tulang punggung generasi emas Les Bleus yang menjadi juara dunia dan Eropa. Ayew pindah ke Lyon bersama Amoros, kemudian bertualang ke Italia serta Jerman. Völler mudik ke Bayer Leverkusen sebelum akhirnya pensiun. Deschamps meraih kesuksesan besar bersama Juventus, kelak kembali sebagai pelatih dan memulihkan kehormatan Marseille. Boli—pencetak gol tunggal ke gawang Milan sekaligus konon mengakhiri karir Marco van Basten di pertandingan yang sama—bergabung bersama Glasgow Rangers sebelum akhirnya pindah ke Monaco menyusul De Meco dan Barthez. Nama terakhir menjadi kiper utama golden generation Timnas Prancis serta suksesor dari Peter Schmeichel di Manchester United. Dengan ini, berakhir sudah era kejayaan Marseille di dekade 90-an.

Marseille memasuki masa-masa suram setelahnya, terutama di bidang finansial. Memiliki hutang sebesar 407 juta francs, ditinggalkan presiden sehandal Tapie, dan harus berkompetisi di Division 2 membuat keuangan mereka sangat tidak stabil serta sempat dinyatakan bangkrut. Marseille dilarang melakukan pembelian pemain dan hanya bisa merekrut pemain dengan status bebas transfer. Dengan keterbatasan tersebut, mereka masih mampu menjadi juara di musim pertamanya di Division 2 walau gagal promosi akibat permasalahan finansial. Marseille baru bisa promosi di musim selanjutnya ketika menjadi runner up di bawah SM Caen.

Setelah promosi, Marseille seolah mendapatkan kutukan karena gagal memenangkan trofi bergengsi apapun (dengan asumsi Piala Intertoto bukanlah gelar bergengsi) selama satu dekade lebih. Kutukan itu baru putus di tahun 2010 ketika Marseille meraih gelar ganda di kancah domestik. Adalah sebuah kebetulan yang magis mengingat pelatih Marseille yang berhasil memupus dahaga gelar tersebut adalah Didier Deschamps, sosok yang mengkapteni L’OM di masa terakhir kali mereka memenangkan gelar prestisius, lebih dari satu dekade sebelumnya. Deschamps meraih 3 gelar Piala Liga beruntun bersama Marseille sebelum akhirnya ditarik menjadi pelatih kepala Timnas Prancis pada tahun 2012.

Tahun ini adalah peringatan 20 tahun keberhasilan Marseille menjuarai Liga Champions. Namun di saat yang sama, fans Marseille dan publik Prancis akan langsung teringat juga pada memori l'affaire VA-OM. Tidak sedikit fans Marseille yang sampai sekarang beranggapan bahwa skandal ini merupakan plot dari PSG dan orang-orang Paris untuk menjegal L’OM. Fans PSG menganggap bahwa tuduhan konspirasi ini tidak berdasar, mengingat LNF & FFF telah melakukan apapun yang mereka bisa untuk tetap menyertakan Marseille di Liga Champions serta kenyataan bahwa Les Parisiens menolak untuk menerima limpahan gelar serta jatah ke Eropa yang lowong ditinggalkan Marseille.

Sejarah selalu memiliki beberapa sudut pandang yang saling bertentangan, masing-masing sisi memiliki sejumlah massa yang mempercayainya sebagai fakta. Sampai sekarang, pendapat publik di Prancis sendiri masih terbagi mengenai kasus ini. Ada yang percaya bahwa Tapie bersalah dan Marseille layak dihukum, sebagian lainnya menganggap Tapie tidak terlibat dalam skandal namun Marseille tetap bersalah, sementara sisanya menganggap Tapie dan Marseille adalah korban konspirasi semata. Yang terpenting adalah mampu mengambil hikmah dari skandal tersebut terlepas dari fakta mana yang kita percaya, karena terkadang memang sulit menemukan kebenaran absolut dari sebuah sejarah. 


Seperti yang pernah diungkapkan oleh sejarawan Roy P. Basler, “To know the truth of history is to realize its ultimate myth and its inevitable ambiguity”.

No comments:

Post a Comment

Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.