![]() |
| Marseille Golden Era |
Tulisan ini pernah saya publikasikan di footballfandom.net
Tragedi Sang Raja Eropa
Olympiastadion Munich, 26 Mei 1993. Pertandingan final Liga
Champions antara Olympique Marseille melawan AC Milan memasuki menit ke 43.
Marseille mendapatkan sepak pojok di sisi kiri pertahanan Milan yang dieksekusi
oleh legenda hidup Ghana, Abedi “Pele” Ayew. Bola dilambungkan ke tiang dekat
kepada Rudi Völler yang terlepas dari penjagaan Alessandro Costacurta, namun bola
terlalu tinggi bagi keduanya. Tepat di belakangnya, Basile Boli mengalahkan double marking dari Frank Rijkaard dan
Franco Baresi untuk kemudian mengarahkan heading
akurat ke tiang jauh. Kiper Sebastiano Rossi mati langkah, terdiam melihat bola
meluncur masuk gawangnya. Lautan biru putih di stadion langsung gegap gempita menyambut
gol Boli, yang menjadi gol tunggal di pertandingan tersebut.
Marseille menasbihkan diri menjadi klub Perancis pertama—dan
satu-satunya—yang pernah menjadi juara Eropa. Sang legenda Didier Deschamps
yang baru berusia 25 tahun juga memecahkan rekor sebagai kapten termuda yang
mengangkat trofi Champions. Tengoklah nama-nama yang menghuni skuat Marseille
saat itu: Fabien Barthez berdiri di bawah mistar, mungkin tidak anda kenali
karena saat itu dia masih berambut. Lini belakang L’OM diisi oleh palang pintu
langganan Les Bleus seperti Manuel
Amoros, Jocelyn Angloma, Basile Boli, Eric De Meco, dan Marcel Desailly. Mereka
memiliki midfielder sekelas Deschamps, Dragan Stojkovic, Franck Sauzee,
Jean-Marc Ferreri, dan Jean-Phillippe Durand. Sedangkan trio lini depan mereka
juga sangat menakutkan: Völler, Ayew, dan Alen Bokšić yang saat itu menjadi top
skorer liga. Tidak ada yang meragukan kualitas tim asuhan Raymond Goethals tersebut.
Euforia luar biasa tidak hanya menyelimuti fans Marseille,
tetapi juga publik Prancis. Mereka telah merindukan gelar ini sejak lama,
memberi bukti bahwa sepak bola Perancis juga bisa berbicara banyak di level
Eropa. Lihatlah betapa emosionalnya selebrasi para pemain dan supporter di Munich,
serta penuhnya jalanan dan Stade Vélodrome saat Marseille mengarak trofi untuk
dipamerkan di kandang mereka. Presiden Marseille saat itu, Bernard Tapie,
dipuji setinggi langit atas kepemimpinannya. Tapie melakukan segalanya untuk
Marseille, dengan totalitas dan passion
yang membuatnya diagung-agungkan di seluruh negeri. Dalam 7 tahun, Tapie dengan
kebijakannya yang revolusiner telah berhasil mengangkat Marseille dari sekedar
klub yang baru promosi hingga menjadi kebanggaan nasional. Salah satunya dengan
mendatangkan para pemain top seperti Jean-Pierre Papin, Chris Waddle, Klaus
Allofs, Enzo Francescoli, Eric Cantona, dan tentu saja skuat yang merajai Eropa
di tahun 1993.
Pengaruh Tapie sendiri sangat besar di Prancis, dia dikenal
sebagai businessman ulung dan
politikus handal yang juga pernah duduk di pemerintahan. Mantan bos Adidas ini
bahkan sempat disebut sebagai salah satu calon pengganti François Mitterand
sebagai presiden Prancis. Di waktu luang dia juga pernah menjadi aktor dan
penyanyi, bukti bahwa Tapie adalah publik figur papan atas di Prancis.
Namun siapa sangka setahun setelah menjadi juara Eropa, Tapie
berandil besar atas didegradasikannya Marseille ke Division 2 serta dicabutnya
gelar juara domestik mereka di tahun 92/93. Semuanya akibat skandal match fixing yang oleh publik Prancis
sering disebut sebagai l'affaire VA-OM.
Dinamai sesuai dengan nama klub yang terlibat, Union Sportive
Valenciennes-Anzin dan Olympique de Marseille.
Awal Bencana
Awal Bencana
Kontroversi tersebut bermula di tanggal 20 Mei 1993, Marseille
dijadwalkan menghadapi Valenciennes. Saat itu Marseille berada di ambang double winner, karena di saat yang sama
sedang memimpin klasemen berselisih 4 poin dari Paris Saint-Germain di posisi
kedua. Saat itu kemenangan masih dihargai 2 poin dan kompetisi menyisakan 3
pertandingan. Sialnya, Marseille mengalami jadwal neraka di akhir kompetisi.
Satu pekan setelah menghadapi Valenciennes, mereka akan menjalani laga final
Liga Champions melawan lawan AC Milan, untuk kemudian 3 hari selanjutnya
menjamu rival abadi mereka PSG dalam pertandingan yang sangat menentukan
perebutan gelar juara. Pertandingan terakhir Marseille adalah bertandang ke
kandang klub papan tengah, Toulouse.
Tapie sebagai presiden Marseille tentu pusing bukan main
dengan jadwal tersebut. Dua lawan tangguh dalam laga yang sangat menentukan berlangsung
hanya dalam rentang 3 hari. Ketakutan terbesarnya apalagi kalau bukan ancaman
kelelahan dan cedera yang bisa berujung pada memburuknya performa dan hilangnya
dua gelar sekaligus. Marseille memang saat itu mendominasi Division I dengan
empat gelar juara beruntun, tapi Tapie tentu tidak akan melepaskan begitu saja
kesempatan untuk meraih gelar kelima. Apalagi Marseille sangat berambisi meraih
gelar Champions setelah 2 tahun sebelumnya dikalahkan secara menyakitkan oleh
Red Star Belgrade di final.
Tapie disinyalir menempuh jalan kotor, tak mau mengambil
resiko dan ingin “mengamankan” dua gelar tersebut. Kabar yang beredar, Tapie
menawarkan suap agar Valenciennes mengalah pada pertandingan tersebut dan bermain
hati-hati agar pemain Marseille tidak mengalami cedera. Tapie konon
menginstruksikan General Manager Marseille Jean-Pierre Bernes dan gelandang Jean-Jacques
Eydelie, untuk bernegosiasi dengan 3 pemain kunci Valenciennes: Jacques
Glassmann, Christophe Robert, dan Jorge Burruchaga. Nama terakhir—yang
merupakan pencetak gol kemenangan Argentina di final Piala Dunia 1986—sempat
menyanggupi tawaran tersebut sebelum berubah pikiran di saat terakhir dan
menolak menerima uang.
Segalanya memang berakhir sesuai rencana. Marseille menang
1-0 lawan Valenciennes, kemudian merontokkan AC Milan dengan skor yang sama,
dan 3 hari kemudian memastikan gelar juara liga domestik setelah menghancurkan
PSG 3-1 pada laga Le Classique di
kandang sendiri. Target double winner
tercapai sudah, Marseille menjadi simbol keberhasilan sepakbola Prancis. Namun
ibarat kata pepatah “serapi-rapi bangkai dibungkus, baunya akan tercium juga”,
kegembiraan Marseille hanya bertahan sebentar sebelum akhirnya masalah match fixing mulai terkuak.
Glassman The Whistle-blower
Glassman The Whistle-blower
Adalah Jacques Glassmann yang menjadi whistle-blower dari kasus tersebut. Gelandang Valenciennes ini
menginformasikan kepada pelatih Boro Primorac bahwa ada upaya suap dari
Marseille. Laporan ini kemudian diteruskan ke pihak Ligue Nationale de Football (LNF). Pada awalnya, Presiden LNF Noël
Le Graët sendiri ragu atas kebenaran laporan tersebut. Untuk apa klub terkuat
di liga, yang bahkan cukut perkasa untuk menumbangkan The Dram Team AC Milan, menyuap klub papan bawah yang di atas
kertas mampu mereka kalahkan dengan mudah? Namun penyelidikan tetap dilakukan
mulai 4 Juni 1993. Titik terang mulai terlihat ketika ditemukan bungkusan
berisi uang senilai 250 ribu francs di pekarangan rumah dari bibi Christophe
Robert. Sejak saat itu, UEFA juga mulai menaruh perhatian atas kasus ini. FFF
selaku federasi sepakbola di Prancis berkoordinasi dengan UEFA dan tetap
menempatkan Marseille sebagai perwakilan Prancis di Liga Champions musim depan
sampai semuanya jelas.
Di tengah suasana yang memanas, muncul tuduhan tambahan dari
pelatih CSKA Moskow, Gennadi Kostylev, yang curiga ada upaya suap yang
dilakukan Marseille di Liga Champions. Hal ini didasari fakta bahwa CSKA yang
berhasil menahan imbang Marseille 1-1 di kandang, justru digilas 6-0 saat
bertanding di Stade Vélodrome. Namun CSKA tidak memiliki cukup bukti untuk
diberikan kepada UEFA dan menarik tuduhan tersebut.
Gusar atas skandal tersebut, 2000 suporter Marseille
melakukan demo di Canebière. Mereka
membawa spanduk bertuliskan “Jangan ganggu OM kami!”, “Tanpa Marseille,
sepakbola Prancis bukanlah apa-apa!” sambil menyanyikan yel-yel anti
Valenciennes dan PSG. Kenapa PSG? Karena para suporter beranggapan bahwa
penyelidikan FFF yang berbasis di Paris juga turut membawa misi terselubung
milik PSG, musuh besar mereka yang bermarkas di kota yang sama. Selain itu, PSG
juga memiliki potensi diuntungkan mendapat limpahan apabila nantinya gelar
Marseille benar-benar dicopot.
Pada tanggal 4 Juli, Tapie akhirnya resmi menjadi tersangka
setelah menon-aktifkan salah satu aktor kunci, Jean-Pierre Bernes, dari jabatan
General Manager Marseille. Kasus ini semakin terungkap setelah Eydelie yang
merupakan tersangka utama mengatakan bahwa upaya suap adalah hal yang tidak
cuma sekali dua kali dilakukan Marseille. Segera setelah itu seluruh negeri
mulai mencurigai kredibilitas Marseille yang telah menjadi kebanggaan mereka.
Wacana untuk mencopot gelar serta jatah Liga Champions Marseille untuk diberikan
kepada PSG selaku runner up semakin santer terdengar.
PSG sendiri bungkam soal kemungkinan tersebut. Tapi salah
seorang pemain kunci yang kelak juga menjadi pelatih Les Parisiens, Paul Le Guen, secara tidak langsung menyuarakan
sikap PSG akan status gelar Marseille.
“Jika Marseille nantinya dihukum dan kami mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan gelar limpahan, kami akan menolaknya. Begitu juga
jika UEFA menawarkan jatah Champions untuk kami. Kami akan mendapatkan apa yang
seharusnya menjadi hak kami hanya dengan usaha kami sendiri. Bukan karena kasus
ini menyangkut Marseille (yang notabene musuh bebuyutan PSG) jika kami tidak
ingin menerima limpahan tersebut, tetapi kami memang tidak ingin mendapatkan
kepuasan di atas nasib buruk pihak lain.”
Meskipun tengah diterpa isu tak sedap, namun reputasi Tapie
sebagai publik figur tetap relatif baik di mata publik. Presiden Prancis
François Mitterand dalam sebuah pidatonya menyebut soal skandal VA-OM dan tetap
mengingatkan publik bahwa Tapie tetaplah seorang pria yang mewujudkan mimpi
nasional, salah satunya lewat Marseille yang menjuarai Eropa. Oleh jaksa Eric
de Montgolfier, pidato ini dianggap sebagai tindakan yang kelewatan dari
seorang presiden untuk membela Tapie. Namun bukan hanya presiden, perdana
menteri Edouard Balladur juga secara tidak langsung membela Tapie. Ada fakta
menarik lainnya, bahwa di akhir tahun 1993 Marseille dijerat hutang sebesar 19
Juta Euro. Namun menteri keuangan pada saat itu Nicolas Sarkozy (benar,
presiden Prancis periode kemarin itu) menutup mata atas keberadaan hutang
tersebut hingga 3 tahun selanjutnya. Hal tersebut menunjukkan kedekatan Tapie
dengan orang-orang pemerintahan.
Dilema Publik Prancis
Dilema Publik Prancis
Sampai dengan pengadilan tinggi memberikan keputusan, sulit
bagi FFF maupun LNF untuk memberikan sanksi kepada Marseille. Hal ini
menimbulkan ketegangan tersendiri antara sepakbola Prancis dengan otoritas yang
lebih tinggi. UEFA dan FIFA telah menyatakan bahwa mereka sangat tidak senang
dengan penanganan lambat otoritas Prancis atas kasus ini.
Sementara itu,
Marseille melakukan persiapan untuk menjalani musim 1993/1994 seperti biasa.
Mereka mulai mengadakan pre-season training sementara 12 pemain telah
diinterogasi oleh pihak kepolisian. Akhirnya, pada tanggal 26 Juli 1993
Marseille melakukan kick off pertandingan pertamanya melawan Lens di kompetisi
domestik.
UEFA terus menekan LNF dan FFF untuk menentukan pengganti
Marseille di Liga Champions. Menurut pendapat UEFA yang juga diamini oleh FIFA,
Marseille sudah dianggap sebagai pihak yang bersalah dan sepantasnya digantikan
dengan klub lain. Pada 5 Agustus, LNF mengirim surat kepada UEFA yang berisi
bahwa posisi Marseille sebagai wakil Prancis di Liga Champions tidak bisa diganggu
gugat. Hal ini membuat Presiden FIFA Joao Havelange mengultimatum agar
Marseille segera dihukum sebelum tanggal 23 September, sementara UEFA
menegaskan sekali lagi bahwa Marseille tidak diperkenankan mengikuti Liga Champions
dan nama klub pengganti harus segera ditentukan sebelum 27 Agustus. Lebih jauh
lagi, Havelange juga menyebutkan bahwa sanksi bisa meluas sampai dengan
pelarangan Prancis bermain di World Cup 1994, walau pada akhirnya memang
Prancis tidak lolos kualifikasi. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa FIFA dan
UEFA telah memiliki sejumlah fakta yang membuktikan keterlibatan Marseille
dalam kasus tersebut. Meski begitu, UEFA menyatakan bahwa gelar Liga Champions
yang diraih Marseille aman dan tidak akan dicabut, karena kasus match fixing
hanya terjadi di level domestik.
Le Graët sendiri menyatakan kekhawatirannya atas kondisi
finansial Marseille, Dengan hutang senilai 19 juta euro dan tanpa adanya
pemasukan dari Liga Champions, Marseille bisa terancam bangkrut. Media dan
masyarakat Prancis sendiri juga masih abu-abu dalam mengambil sikap terkait
kasus ini. Marseille adalah klub terbesar di Prancis, dan mereka juga baru saja
merasakan euforia nasional menjadi raja Eropa. Tentunya ada tanggung jawab
moral tersendiri bagi publik Prancis untuk membuktikan bahwa Marseille—yang
telah menjadi kebanggaan negara—meraih kesuksesan tersebut dengan cara yang
bersih.
Akhirnya, tanggal 6 September di Zurich UEFA memutuskan untuk
melarang Marseille berpartisipasi di Liga Champions musim selanjutnya serta
menjadikan AC Milan sebagai pengganti untuk berpartisipasi di Piala Super Eropa
dan Piala Interkontinental. LNF harus segera menentukan pengganti atau jatah
Prancis dianggap hangus. PSG menegaskan sikap bahwa mereka tidak akan mengambil
jatah lowong tersebut, memilih untuk tampil di Piala Winners selaku juara Piala
Prancis di musim sebelumnya. LNF dan perwakilan klub Division I lainnya
mengadakan rapat dan tetap mendorong PSG untuk mau menggantikan Marseille, tapi
klub ibukota tersebut bergeming dengan keputusannya.
Ketidakmampuan LNF untuk mengubah pendirian PSG menunjukkan lemahnya
pengaruh dari organisasi tersebut. Akhirnya, Monaco yang menduduki peringkat
ketiga ditunjuk untuk mewakili Prancis di Liga Champions. Monaco—yang saat itu
diarsiteki oleh Arsène Wenger serta diperkuat Lilian Thuram, Gilles Grimandi,
Emanuel Petit, Youri Djorkaeff, dan Jürgen Klinsmann—berhasil menembus
semifinal Liga Champions sebelum kalah dari AC Milan. Klub Italia disebut
akhirnya bablas menjadi juara tahun itu setelah menghancurkan Barcelona 4-0 di
final. Wenger sendiri pindah ke Jepang di musim selanjutnya, beralasan sudah
muak dengan skandal sepakbola di Prancis. Wenger belakangan mengungkapkan bahwa
kecurangan seperti yang dilakukan Marseille itulah yang menyebabkan Monaco
gagal meraih gelar di bawah asuhannya. Komentar Wenger tersebut membuatnya
dimusuhi oleh publik Marseille sampai sekarang.
Keruntuhan Marseille Golden Generation
Penyelidikan sendiri semakin menemui titik terang hingga
akhirnya pada tanggal 22 September, FFF
mencabut gelar juara Marseille di musim 1992/1993. Gelar juara dibiarkan kosong
karena PSG menolak gelar limpahan. Hal ini didukung juga oleh stasiun TV
Canal+, yang mendapat ancaman akan ada gerakan boikot dari pemirsa di daerah
seandainya gelar juara dilimpahkan ke PSG.
Tapie sendiri baru diputuskan bersalah pada tanggal 10
Februari 1994 setelah diadakan penyelidikan lanjutan dan didukung dengan
kesaksian memberatkan dari Primorac, Eydelie, dan Robert selaku penerima dana
yang ditemukan menjadi barang bukti. Tapie sendiri sempat mengelak bahwa uang
tersebut diberikan sebagai bantuan pinjaman bagi Robert yang berencana membuka
restoran. Tapie akhirnya dijatuhi hukuman tahanan selama 3 tahun dan denda
sebesar 20 ribu francs. Bernes dihukum 2 tahun penjara dan dijatuhi denda 15
ribu francs. Eydelie diskors 1 tahun dan sanksi 10 ribu francs. Burruchaga dan
Robert dijatuhi skorsing 6 bulan serta denda sebesar 5 ribu francs.
Glassmann, yang menjadi whistle
blower dibalik pengungkapan kasus ini, bebas dari hukuman namun mendapatkan
tekanan yang sangat besar dari publik karena dianggap sebagai pengkhianat yang
menghancurkan sepakbola Prancis. Glassmann kerap mendapatkan perlakuan yang
kurang respek, baik dari suporter maupun pemain lawan ketika bertanding. Dia
juga kesulitan mendapatkan klub di Prancis kontraknya habis di Valenciennes.
FIFA memberikan penghargaan atas keberanian Glassmann mengungkap kebenaran
dengan menganugerahinya FIFA Fairplay Award pada tahun 1995. Glassmann belakangan
bergabung menjadi komite video yang bertugas memberikan hukuman berdasarkan
rekaman ulang di Ligue 1.
Mimpi terburuk Marseille hadir pada 22 April 1994. Marseille
yang saat itu finish di posisi 2 Division 1 di bawah PSG dihukum harus turun
kasta ke Division 2. Valenciennes sendiri terdegradasi secara “natural” di
musim sebelumnya dan turun kasta lagi di musim selanjutnya. Mereka mendapat
sorakan dan hinaan di manapun tempat mereka bertandang. Valenciennes terus
mengalamai kemunduran dan terdegradasi sampai National 2 atau setara dengan
divisi 4, sampai akhirnya baru bisa kembali ke level tertinggi pada tahun 2006.
Setelah terlibat skandal dan dijatuhi hukuman, mayoritas pemain
Marseille yang menjadi kunci double
winner tahun 1993 hengkang dan meraih kesuksesan di klub lain. Bokšić
hengkang ke Serie A dan meraih kesuksesan bersama Lazio dan Juventus. Desailly
pindah ke AC Milan sebelum berlabuh ke Chelsea, menjadi tulang punggung
generasi emas Les Bleus yang menjadi
juara dunia dan Eropa. Ayew pindah ke Lyon bersama Amoros, kemudian bertualang
ke Italia serta Jerman. Völler mudik ke Bayer Leverkusen sebelum akhirnya
pensiun. Deschamps meraih kesuksesan besar bersama Juventus, kelak kembali
sebagai pelatih dan memulihkan kehormatan Marseille. Boli—pencetak gol tunggal
ke gawang Milan sekaligus konon mengakhiri karir Marco van Basten di
pertandingan yang sama—bergabung bersama Glasgow Rangers sebelum akhirnya
pindah ke Monaco menyusul De Meco dan Barthez. Nama terakhir menjadi kiper
utama golden generation Timnas
Prancis serta suksesor dari Peter Schmeichel di Manchester United. Dengan ini,
berakhir sudah era kejayaan Marseille di dekade 90-an.
Marseille memasuki masa-masa suram setelahnya, terutama di
bidang finansial. Memiliki hutang sebesar 407 juta francs, ditinggalkan presiden
sehandal Tapie, dan harus berkompetisi di Division 2 membuat keuangan mereka sangat
tidak stabil serta sempat dinyatakan bangkrut. Marseille dilarang melakukan
pembelian pemain dan hanya bisa merekrut pemain dengan status bebas transfer.
Dengan keterbatasan tersebut, mereka masih mampu menjadi juara di musim
pertamanya di Division 2 walau gagal promosi akibat permasalahan finansial.
Marseille baru bisa promosi di musim selanjutnya ketika menjadi runner up di
bawah SM Caen.
Setelah promosi, Marseille seolah mendapatkan kutukan karena
gagal memenangkan trofi bergengsi apapun (dengan asumsi Piala Intertoto
bukanlah gelar bergengsi) selama satu dekade lebih. Kutukan itu baru putus di
tahun 2010 ketika Marseille meraih gelar ganda di kancah domestik. Adalah
sebuah kebetulan yang magis mengingat pelatih Marseille yang berhasil memupus
dahaga gelar tersebut adalah Didier Deschamps, sosok yang mengkapteni L’OM di
masa terakhir kali mereka memenangkan gelar prestisius, lebih dari satu dekade
sebelumnya. Deschamps meraih 3 gelar Piala Liga beruntun bersama Marseille
sebelum akhirnya ditarik menjadi pelatih kepala Timnas Prancis pada tahun 2012.
Tahun ini adalah peringatan 20 tahun keberhasilan Marseille
menjuarai Liga Champions. Namun di saat yang sama, fans Marseille dan publik
Prancis akan langsung teringat juga pada memori l'affaire VA-OM. Tidak sedikit fans Marseille yang sampai sekarang
beranggapan bahwa skandal ini merupakan plot dari PSG dan orang-orang Paris untuk
menjegal L’OM. Fans PSG menganggap
bahwa tuduhan konspirasi ini tidak berdasar, mengingat LNF & FFF telah
melakukan apapun yang mereka bisa untuk tetap menyertakan Marseille di Liga Champions
serta kenyataan bahwa Les Parisiens
menolak untuk menerima limpahan gelar serta jatah ke Eropa yang lowong
ditinggalkan Marseille.
Sejarah selalu memiliki beberapa sudut pandang yang saling bertentangan, masing-masing sisi memiliki sejumlah massa yang mempercayainya sebagai fakta. Sampai sekarang, pendapat publik di Prancis sendiri masih terbagi mengenai kasus ini. Ada yang percaya bahwa Tapie bersalah dan Marseille layak dihukum, sebagian lainnya menganggap Tapie tidak terlibat dalam skandal namun Marseille tetap bersalah, sementara sisanya menganggap Tapie dan Marseille adalah korban konspirasi semata. Yang terpenting adalah mampu mengambil hikmah dari skandal tersebut terlepas dari fakta mana yang kita percaya, karena terkadang memang sulit menemukan kebenaran absolut dari sebuah sejarah.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh sejarawan Roy P. Basler, “To know the truth of history is to realize its ultimate myth and its inevitable ambiguity”.

No comments:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan komentar anda di sini, tidak masalah walau menggunakan ID anonymous.